Wayang Hip-Hop Hibriditas Sebagai Media Konstruksi Masyarakat Urban
00.57
Michael HB Raditya
Abstract
Nowadays,
Modernity joined into every culture in life. Many peoples leave traditional
cultures because they believed traditional cultrures wasn’t work anymore.
Modern Culture that has instant and more advanced are preferred. Become on
several aspects, such as art itself. Some art performance was left, but the
fact the art itself has intrinsic value in of existance. This article will
disscus about the problems of existance traditional art and try to find the
solution. “Wayang Hip Hop” is a new solution in art perspective. Cultured
hybridity did to maintain the traditional art, and creating a new art
performance and maintain the stabilty on cultural values. “Wayang Hip Hop”
created the wayang to keep exist and adapt with a moder culture, Hip Hop.
“Wayang Hip Hop” is solution to build character of society in the modern world.
“Wayang Hip Hop” accommoodate both cultural values and build a new performance
that is more favored by society. “Wayang Hip Hop” still show the performance
that provide guidance and establish arrangements for wider society.
Keywords: Wayang Hip Hop, Hybridity, Character Construction, Urban
Society
Abstrak
Dewasa ini, modernitas merasuk ke setiap
insan kebudayaan dalam kehidupan. Budaya-budaya lama dianggap usang dan mulai
ditinggalkan. Budaya baru yang lebih instan dan dianggap maju lebih diutamakan.
Tak luput pada beberapa aspek, seperti kesenian salah satunya. Beberapa
kesenian mulai ditinggalkan, padahal mempunyai nilai yang hakiki dalam
keberadaannya. Artikel ini akan menguak permasalahan eksistensi kesenian lama
dan solusi untuk dapat bertahan. “Wayang Hip Hop” merupakan sebuah terobosan
baru di ranah kesenian. Hibriditas kebudayaan dilakukan dalam menjaga
eksistensi kesenian lama, menciptakan kesenian baru dan menjaga stabliltas
nilai pada kebudayaan. Adanya “Wayang Hip Hop” membentuk wayang untuk tetap
dapat bertahan dan beradaptasi dengan kebudayaan baru yakni Hip Hop. “Wayang
Hip Hop” merupakan solusi dalam membentuk karakter kolektif masyarakat di dunia
yang serba modern. “Wayang Hip Hop” mengakomodasi kedua nilai budaya dan
membentuk sebuah pertunjukan baru yang lebih disenangi masyarakat. “Wayang Hip
Hop” tetap menjadi tontonan yang menjadi tuntunan dan membentuk tatanan untuk
masyarakat luas.
Kata Kunci: Wayang Hip Hop,
Hibriditas, Konstruksi Karakter, Masyarakat Urban
I.
PENDAHULUAN
Sejak
awal abad ke 19 para pengamat asing agaknya telah menaruh perhatian terhadap
wayang Jawa. Mereka menganggapnya suatu unsur dalam kebudayaan Jawa, sebagai
suatu compelling religious mythology,
yang menyatukan masyarakat Jawa secara menyeluruh, secara horizontal meliputi
seluruh daerah geografi di Jawa, dan secara vertical meliputi semua golongan sosial
masyarakat Jawa. Anderson[1]
Dalam
telaahnya, secara eksplisit Anderson menjelaskan bahwa abad 19 ketika Indonesia
menjadi komoditas objek penelitian para peneliti asing, wayang mendapat
perhatian yang cukup besar karena berkaitan dengan esensinya terhadap religi
masyarakat Jawa. Wayang dianggap sebagai media dalam menyatukan masyarakat yang
tidak terbatas pada jumlah masyarakat, tetapi pada unsur yang lebih mendalam,
yakni klasifikasi sosial masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan ketika sebuah pergelaran[2]
wayang digelar, di mana seluruh masyarakat menyaksikan tanpa terkecuali. Secara
implisit, konstelasi ini mengungkap bahwa pergelaran wayang membebaskan
individu dari sekelumit sistem yang dibentuk oleh masyarakat, seperti jenis
kelamin, umur, profesi, kedudukan dan kekayaan. Wayang merupakan sebuah
pergelaran yang bercerita tentang mitologi Ramayana, Mahabrata, Panji dan
beberapa mitologi lainnya. Cerita-cerita inilah yang membuat masyarakat melebur
dalam pergelarannya
Pada
dasarnya, pergelaran wayang mempunyai esensi yang kuat terhadap masyarakat,
karena keberadaannya tidak hanya menjadi tontonan semata, tetapi juga menjadi
tuntunan bagi masyarakat dan membentuk tatanan dalam berkehidupan. Selain itu
ketertarikan para peneliti asing atas wayang karena wayang dianggap “Compelling Religious Mythology”. Wayang
mempunyai kekuatan cerita yang religius, sehingga Wayang mempunyai pengaruh
yang besar terhadap masyarakat luas. Baik secara disadari ataupun tidak
disadari, wayang membentuk karakter masyarakat penontonnya. Secara implisit
wayang mempunyai nilai hegemonik yang kuat dalam pola pikir baik individu, juga
masyarakat. Wayang mengandung nilai-nilai agama dan falsafah hidup yang baik, dan
secara tidak langsung wayang menjadi
salah satu media pembentukan karakter baik secara individu, maupun
kolektif.
Kembali
pada telaah Anderson, pernyataan bahwa “wayang menyatukan masyarakat” dapat
dilihat beberapa dekade lalu. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingkat antusias
penonton yang tinggi dalam tiap pertunjukannya. Peristiwa ini tidak hanya
terjadi di lingkup pedesaan, tetapi juga perkotaan. Selain itu, menanggap
wayang pada acara-acara tertentu mempunyai prestige
tersendiri bagi para penanggapnya. Keberadaan nilai-nilai yang esensial tidak
hanya pada bentuk pertunjukannya, tetapi juga pada nilai yang terkandung dalam
setiap pertunjukannya. Menilik pernyataan Anderson di atas, pada dewasa ini
pernyataan Anderson sudah tidak dapat diacu lagi, dalam dunia yang lebih modern
dan majemuk wayang kini mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya. Para penonton
yang terbiasa menonton wayang disuguhkan oleh beberapa kesenian lain, seperti Ronggeng,
Tayub, dangdut dan televisi. Muncul kesenian-kesenian baru seiring dengan
kemajuan zaman, kondisional yang semakin berubah dan permintaan masyarakat yang
semakin majemuk. Pengaruh globalisasi, modernisasi dan westernisasi telah
merasuk ke dalam segala wujud budaya. Perkembangan yang masif membentuk
kesenian-kesenian baru yang lebih menghibur. Tatanan nilai mulai ditinggalkan,
tuntunan mulai dilupakan, dan tontonan lebih diutamakan.
Alhasil kesenian tradisi harus
mempertahankan eksistensinya agar tidak hilang. Menilik keberadaannya kini, wayang
merupakan wujud kesenian tradisi yang terjaga eksistensinya hingga kini. Dalam
menjaga eksistensinya, kesenian tradisi harus melakukan usaha adaptasi jika
ingin terus bertahan. Terkait dengan usaha seni tradisi itu sendiri, Umar Kayam
menjelaskan sebagai berikut:
Sebagai seni
pertunjukan, seni teater tradisional jelas tidak dapat bersaing dengan bentuk-bentuk
seni modern, karena seni tradisional berproduksi dalam jumlah dan jangkauan
penonton yang terbatas, sedangkan seni modern seperti film, video, dan
sebagainya berproduksi dalam jumlah dan jangkauan penonton yang massal. [3]
Pernyataan Kayam di atas menguatkan bahwasanya
seni modern ditujukan kepada tataran yang luas, dan itu menjadi persoalan yang
kompleks bagi seni tradisional jikalau ingin terus terjaga eksistensinya. Dalam
tulisannya, Kayam juga memberikan solusi dalam keberlangsungan seni tradisional
itu sendiri. Kayam menyatakan untuk mengatasi hal ini, terdapat dua jalan (1)
menghapuskan eksistensinya sebagai seni panggung, (2) memberikan kepada
penonton hal-hal yang tidak dapat diberikan oleh seni modern.[4]
Melihat solusi yang dilontarkan oleh Kayam, menghapuskan esksitensinya sebagai
seni panggung merupakan solusi terakhir jikalau sudah tidak terdapat cara lain.
Memberikan hal yang tidak diberikan seni modern merupakan jalan keluar yang
lebih visioner untuk menjaga stabilitas dari eksistensi kesenian tradisi. Kesenian
yang beradaptasi dengan keadaan merupakan salah satu usaha dalam menjaga
eksistensinya.
Dalam perkembangannya,
pergelaran wayang sebenarnya sudah melakukan adaptasi. Hal ini dapat dilihat
semisal dari pergelaran wayang oleh Ki Gondo Suharno yang memadukan wayang
kulit dan wayang golek, tidak hanya itu Ki Gondo Suharno juga mengkreasikan
tokoh-tokoh wayang baru yang masih berkorelasi dengan cerita terkait mitologi
yang dibawakan. Contoh lainnya adalah dari pergelaran Kelompok Wayang Kampung
Sebelah (WKS) yang sedang naik daun. WKS memainkan tokoh-tokoh baru dalam
cerita pewayangannya, seperti halnya Rhoma Irama, Inul Daratista, dsbnya. Hal
ini merupakan wujud adaptasi dari pelaku pergelaran wayang terhadap kemajuan
zaman yang semakin majemuk.
Usaha-usaha
seperti yang dilakukan oleh Ki Gondo Suharno, WKS, dan beberapa penggiat wayang
lainnya merupakan solusi yang baik dalam menjaga eksistensinya. Tetapi dalam
perfomanya tetap mengikuti pola dan aturan pergelaran wayang yang konvensional.
Mereka melakukan kreasi pada tokoh dan cerita pewayangan, tetapi bentuk
pertunjukan tetap mengarah pada pergelaran wayang yang semestinya. Hal ini
berbeda dengan apa yang dilakukan oleh “Wayang Hip Hop”. “Wayang Hip Hop”
merupakan perpaduan antara wayang dan Hip
Hop dalam pertunjukannya. Dalam hal ini tulisan akan mengarah pada “Wayang Hip Hop” sebagai studi kasus dari pembahasan, karena “Wayang Hip Hop” tidak
hanya merupakan wujud adaptasi, tetapi juga wujud hibriditas budaya yang ada.
Perpaduan budaya antara nilai lokal dan nilai global, dengan tidak menanggalkan
salah satu kebudayaan, tetapi lebih pada mengkombinasikan kebudayaan yang ada.
II. “WAYANG HIP-HOP” = WAYANG + HIP HOP
A.
Wayang
Dalam Keberlangsungan
Salah
satu alasan wayang masih diacu dalam pertunjukan karena eksistensinya yang masih
terjaga hingga kini karena wayang masih mempunyai masyarakat pendukungnya.
Masyarakat yang terbagi atas patron, maecenas[5]
dan penikmat itu sendiri membentuk stabilitas pada kuantitas wayang semakin
terjaga. Selain alasan kultural, sebenarnya bukan tanpa alasan mengapa
eksistensi wayang masih terjaga. Pergelaran wayang mempunyai esensi yang lebih
dalam artiannya, seperti yang diungkap oleh Koentjaraningrat bahwa kesenian wayang kulit—sebagaimana suatu
kebudayaan, adalah ciptaan dari segala pikiran dan prilaku manusia yang
estetis, fungsional dan mengandung nilai-nilai (makna) yang dapat dinikmati
dengan pancaindera.[6]
Dalam artian ini, Koentjaraningrat menegaskan bahwasanya wayang kulit merupakan
wujud estetis yang terkait dengan fungsi dan makna dari pertunjukannya. Wayang
merupakan bentuk kreasi dari manusia yang mempunyai implikasi nilai berdasarkan
makna dan filosofi hidup. Secara implisit, Sunarto menyatakan artian yang lebih
mendalam terkait dengan wayang. Sunarto menyatakan bahwa:
Wayang bukanlah sekedar
bentuk yang indah dan menyenangkan, tetapi mempunyai nilai khusus bagi bangsa
Indonesia umumnya dan masyarakat Jawa pada khususnya, atau mengandung
maksud-maksud yang lebih mendalam, yaitu memberikan suatu gambaran tentang
hidup dan kehidupan. Wayang merupakan karya seni rupa yang mempunyai makna atau
merupakan lambang, simbol bagi falsafah hidup bagi anggota-anggota masyarakat
pendukungnya.[7]
Sunarto
menegaskan terdapat nilai-nilai tentang kehidupan yang bisa diacu oleh
masyarakat. Wayang merupakan representasi simbol dari filosofi hidup manusia.
Sehingga dalam pergelarannya, banyak masyarakat yang menantikan pertunjukannya
tidak hanya berdasarkan tontonannya saja, tetapi nilai tuntunan dan tatanan
yang dikedepankan. Senada dengan Sunarto, Walujo juga menyatakan bahwa cerita
wayang masyarakat Jawa memberi gambaran kehidupan mengenai bagaimana hidup
sesungguhnya (das sein) dan bagaimana hidup itu seharusnya (das
sollen).[8]
Pergelaran wayang merupakan tuntunan masyarakat dalam bersikap karena
terkandung pesan edukasi dalam setiap pergelarannya. Secara lebih mendalam,
Mulyono menyatakan bahwa Wayang dipandang sebagai suatu bahasa simbol dari
hidup dan kehidupan yang lebih bersifat rohaniah daripada lahiriah. Orang melihat
wayang seperti melihat kaca rias.[9]
Dari beberapa pernyataan di atas, dapat ditarik sebuah asumsi,
bahwa nilai wayang berfokus pada unsur batiniah dari para penonton, seperti
halnya wayang mengajarkan hal-hal baik sebagai pembelajaran nilai untuk masyarakat.
Dalam artian lain, wayang merupakan representasi makna dari bentuk keteraturan
sikap, tingkah laku dan kelakuan yang lebih bersahaja.
Dalam
mengakomodasi nilai tuntunan dan tatanan terhadap masyarakat, wayang sebagai
tontonan menjadi hal yang menarik untuk ditilik kembali. Merunut kembali bentuk
wayang menjadi hal yang penting dalam melihat permasalahan wayang yang lebih
kompleks. Pada beberapa telaah tentang wayang, beragam persepsi dan asumsi
terbentuk berdasarkan bentuk dari wayang itu sendiri. Mulyono menyatakan bahwa:
Wayang adalah sebuah
kata bahasa Indonesia (Jawa) asli, yang berarti bayang-bayang, atau bayang yang
berasal dari akar kata “yang” mendapat tambahan “wa” yang menjadi wayang. Kata
wayang di dalam bahasa Indonesia mempunyai akar kata ‘yang’. Akar ini
bervariasi dengan yung, yong, antara lain terdapat dalam kata”layang” atau
terbang, “doyong” atau miring, tidak stabil, “royong” yang berarti selalu
bergerak dari satu tempat ke tempat lain, “Poyang payingan” ”berjalan
sempoyongan tidak tenang”, dan lainnya.[10]
Berbeda dengan telaah Mulyono yang mengartikan
wayang sebagai bentuk dari wayang dan bentuk penyajiannya, Sunarto menyatakan
bahwa Wayang adalah bayangan angan-angan, yaitu menggambarkan nenek moyang
(leluhur) menurut angan-angan, karena terciptanya segala bentuk wayang
disesuaikan dengan adat kelakukan tokoh yang dibayangkan dalam angan-angan.[11]
Pernyataan lebih gamblang diutarakan oleh Kusumajadi, beliau menyatakan bahwa
Wayang ialah bayangan orang yang sudah meninggal, jadi orang yang digambar itu
sudah meninggal. Kata wayang tadi dari suku kata wa dan yang. Wa = trah yang
berarti turunan, yang = hyang yang berarti eyang kakek, atau leluhur yang telah
meninggal.[12] Jika
Sunarto dan Kusumajadi mengartikan wayang sebagai representasi dan komunikasi
terhadap leluhur. Suharyoso mengartikan wayang sebagai “bayangan” yang jika
ditinjau dari arti filsafatnya “wayang” dapat diartikan sebagai bayangan atau
merupakan pencerminan dari sifat-sifat yang ada dalam jiwa manusia, seperti
angkara murka, kebajikan, serakah dan lain-lain.[13]
Pada artian yang telah diungkap oleh beberapa peneliti sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa penamaan wayang didasarkan dari pelbagai perspektif, seperti
halnya bentuk wayang, bentuk penyajian, bentuk representasi dan makna dari
pertunjukan yang dikaitkan dengan falsafah kehidupan manusia.
Dalam konten pertunjukannya, pergelaran wayang, seorang dalang bertugas
memimpin pertunjukan secara keseluruhan. Secara lebih jelas, segala kendali
dalam pertunjukan ada pada kuasa dalang. Tanpa ada Dalang, pertunjukan ini
tidaklah menjadi sebuah pergelaran wayang. Dalang seperti halnya conductor dalam sebuah concert music classic, yang bertugas
memimpin, menghentikan, memanjakan telinga dan pikiran para audience. Menilik artian dalang itu
sendiri, Groenendael menyatakan bahwa:
Dalang ialah tokoh utama
dalam semua bentuk teater wayang. Dia adalah penutur kisah, penyanyi lagu
(suluk), yang mengajak memahami suasana pada saat tertentu, pemimpin suara
gamelan yang mengiringi, dan di atas segalanya, dia adalah pemberi jiwa pada
boneka atau pelaku-pelaku manusianya itu.[14]
Dalang merupakan pemeran utama
dalam pertunjukannya, Dalang adalah orang yang mempunyai kiprah paling besar
dalam pergelaran wayang. Implikasi yang terjadi pada kehidupan sosial dari Dalang
itu sendiri, Dalang mempunyai posisi penting dalam bermasyarakat karena
dianggap sebagai seorang yang bijaksana dan dapat menuntun masyarakat. Masyarakat
terkonstruksi dengan profesi Dalang yang mempunyai esensi yang kompleks.
Pernyataan Groenendael terkait pemberi jiwa terwujud karena mitologi serta
pertunjukan wayang (tekstual) dan hegemoni Dalang di kehidupan bermasyarakat
(kontekstual), sehingga jiwa pada pergelaran semakin kuat. Senada dengan
Groenendael, Suharyoso menyatakan bahwa:
Dalang mengatur jalannya
pertunjukan secara keseluruhan. Dia memimpin semua crewnya untuk luluh
dalam alur ceritera yang disajikan. Bahkan sampai pada adegan yang
kecil-kecilpun harus ada kekompakan di antara semua crew kesenian
tersebut. Dengan demikian, di samping dituntut untuk bisa menghayati
masing-masing karakter dari tokoh-tokoh yang ada dalam pewayangan, seorang
dalang juga harus mengerti tentang gending (lagu).[15]
Dari pernyataan Suharyoso di atas, secara
implisit menjelaskan bahwa kerja Dalang pada pergelaran wayang telah
berintegrasi dengan beberapa unsur lain seperti halnya karawitan yang memainkan
alunan musik, dan sindhen yang menyanyikan
beberapa repertoar. Alunan karawitan pada pergelaran wayang digunakan untuk
mengiringi secara keseluruhan dari pertunjukan. Alunan karawitan berasal dari
gamelan Jawa baik pelog dan slendro. Sinden yang menyanyikan
biasanya disebut waranggono untuk
perempuan dan penggerong atau wirasuara[16] untuk laki-laki. Integrasi antara Dalang,
karawitan dan penyanyi ini membentuk satu keutuhan dalam pergelaran wayang.
Pergelaran wayang dalam pertunjukannya bisa dilakukan pada siang ataupun malam
hari, tetapi tak jarang pergelaran digelar semalam suntuk. Biasanya sebuah
pergelaran wayang digelar dengan durasi tujuh hingga delapan jam.
Pada
dasarnya sebuah pergelaran wayang digelar dalam konstelasi tertentu, dalam
pertunjukannya, pergelaran wayang
mempertimbangkan konteks acara yang akan digelar. Selain pada lingkup audience dari pertunjukan, adapun
penentuan sebuah lakon oleh seorang Dalang. Pada dasarnya seorang Dalang tidak
secara random memilih sebuah tema, Dalang menentukan lakon yang akan disajikan.
Faktor-faktor yang menjadi pemikiran seorang Dalang dalam memilih tema, adalah
(1) jenis wayang yang dipergunakan sebagai alat peragaan; (2) kepercayaan
masyarakat sekitarnya dan (3) keperluan diadakannya pertunjukan tersebut. Jenis
wayang akan mempengaruhi lakon yang bisa disajikan lewat wayang-wayang
tersebut.[17]
Secara eksplisit pernyataan Suharyoso menegaskan bahwa faktor konteksutal
sangat penting dalam sebuah pergelaran, yakni kesediaan alat dan konteks
pergelaran digelar. Hal tersebut dilakukan agar sebuah lakon tepat sasaran,
serta pesan dan makna dapat tersampaikan kepada khalayak umum. Wayang merupakan
media pembentukan karakter masyarakat yang efektif.
B. Hip Hop dan Perkembangannya
Dalam
perkembangannya, terdapat jenis kesenian yang tertuang pada musik yang diacu
tidak hanya pada lingkup penikmat musik Indonesia, tetapi juga penikmat musik dunia.
Konstelasi ini dibuktikan dengan berlomba-lombanya para composer kini menciptakan sebuah lagu dengan genre tertentu, genre
tersebut adalah Hip Hop. Hip Hop diadopsi sedemikian rupa dan
dipadukan dengan unsur lokal yang ada, seperti halnya bahasa, budaya, jenis beat, isi, makna lagu, dan beberapa
unsur lainnya. Hip Hop semakin
berintegrasi dengan masyarakat, dan secara implisit integritas tersebut
membentuk sebuah jalur dan arah yang diacu oleh khalayak umum. Hip Hop merupakan kebudayaan asing yang
membentuk negosiasi penyesuaian dengan unsur lokal di seluruh macam kebudayaan.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Forman yang menyatakan bahwa:
Hip Hop sebagai budaya yang pertama kali
berkembang di Amerika Serikat khususnya di daerah Bronx meluas ke seluruh
dunia. Meskipun daya tarik dan perkembangan Hip Hop melintasi batasan budaya
dan ras, Hip Hop merupakan fenomena cultural dari kebudayaan Afrika-Amerika
yang muncul bersamaan dengan kompleksitas campuran dari pengaruh sosial hybrid.[18]
Hip Hop tidak mempunyai batasan
terhadap massanya, bahkan melewati budaya dan ras. Hip Hop membentuk pembauran kebudayaan dalam menjaga eksistensinya.
Sebenarnya eksistensi Hip Hop dapat
terjaga karena terdapat modal sosial pada Hip
Hop itu sendiri. Pada awalnya Hip Hop
merupakan sebuah gerakan, Rabaka menyatakan bahwa:
Hip Hop generation is employed to conceptually capture not
only black popular culture and black popular music after the Black Arts and
Feminist Art movements, but also African American sociopolitical traditions and
movements after the Civil Rights, Black Power, Women’s Liberation, and
Homophile movements of the 1960s and 1970s.[19]
Dalam telaahnya, Rabaka menjelaskan bahwa, musik
Hip Hop terbentuk secara kontekstual.
Kontekstual di sini terbentuk berdasarkan semangat perjuangan atas kekuasaan,
perlawanan dan pergerakan melawan dominasi kuasa. Senada dengan Rabaka, Watkins
menyatakan bahwa:
Hip hop movement was beginning to come to terms with itself:
its rise and the enormous influence it wielded in America and beyond. In his
assessment of the power of the moment, the music, and the movement, John Forte,
a successful rap producer, explained that hip hop has endure so many thing,
from being spit at by mainstream media and musicians to the deaths of Eazy-E,
TuPac, Scott La Rock, and Biggie. And here it is, still standing, still
powerful, having even more influence.[20]
Dari pernyataan di atas, secara implisit Watkins
menegaskan bahwa Hip Hop merupakan musik
percampuran yang terbentuk berdasarkan semangat dalam melawan, menentang dan
memberontak. Modal sosial yang sama inilah yang menciptakan rasa solidaritas
dan menjadi representasi dari perlawanan. Terlebih setiap tempat terdapat pola
kuasa, dominasi dan perlawanan.
Hip Hop itu sendiri membentuk satu
integritas dengan beberapa unsur lain yang membentuk satu keutuhan dalam
pertunjukannya. Terkait dengan integritas tersebut, Androutsopoulos menyatakan
bahwa:
Hip Hop
traditional “four elements”- breaking, dj-ing, rapping, and writing – a rely on
performance modes that go well beyond language, such as visual representation,
sound, movement, and technical manipulation of objects.[21]
Dalam telaah di atas, terdapat empat element
yang berintegrasi dalam satu integritas Hip
Hop, yakni, breaking (pada
pergerakan tubuh seperti salto, dan lain-lainnya), DJ-ing (musik yang tercipta dari piringan hitam), Rapping (mengisi lagu dengan bertutur)
dan Writing (menuliskan pesan-pesan
pada tembok dan beberapa media lain). Keempat hal ini yang membentuk Hip Hop sebagai satu kesatuan identitas.
Pada alunan musiknya, Rap merupakan entitas yang paling dominan dari Hip Hop,
Hoch menyatakan bahwa Rap adalah gaya menyanyi yang digunakan dalam seni
bercerita dan hadir di dalam situasi peperangan, kerusuhan. Gaya Rap digunakan juga untuk berbicara
tentang panggilan hati dan bagaimana menjawab panggilan tersebut.[22]
Rap merupakan kekuataan dari Hip Hop itu sendiri. Dengan bercerita
tentang hal yang melanda dan berkaca pada realitas, seorang rapper menggambarkan kegelisahannya
dalam sebuah teks. Rap merupakan
representasi gerakan dengan ideologi dari konteks sosial politik yang melanda.
Dalam
keberlangsungannya Hip Hop dan Rap merupakan musik yang digandrungi
oleh pendengarnya, pengalaman empiris penulis juga muncul ketika Eminem –seorang rapper kebangsaan Amerika–
dengan kritikannya terhadap sosial politik pada saat itu merajalela di blantika
musik dunia. Terkait dengan eksistensi dari rap itu sendiri. Watkins pun turut
menyatakan bahwa:
Rap was the biggest story of the year in the music industry.
Though the genre’s journey toward the mainstream began as far back as the
middle 1980’s, its most important and impressive gains came in the late
nineties. In 1998 proved to be a great year in hip hop. It was the year that
rap music’s ongoing flirtation with the mainstream became real and undeniable
for the players that really matter, the executives who run the major music
groups.[23]
Pernyataan Watkins di atas menjelaskan bahwa Rap merupakan musik yang diacu oleh
indsutri musik dunia. Dimulai sejak pertengahan 1980 dan terjaga eksistensinya hingga
kini. Musik Hip Hop dengan beat-beat statis dan tempo yang cepat,
dirasa mempunyai kesesuaian selera dengan para pendengar. Hal lain yang
mendukung Hip Hop tak asing didengar
adalah Hip Hop yang sedang mengalami titik
puncak pada musik industri. Hip Hop
menjadi musik yang paling sering didengar, dan secara tidak sadar realitas itu
menstimulasi seorang individu mengalami pembiasaan dan menubuh (menyatu dalam
tubuh).
Kebiasaan
yang terbentuk berdasarkan kuantitas dan frekuensi yang tinggi menjadikan potensi
penerimaan semakin besar. Terlebih pada sebuah genre lagu yang membawa kesamaan
modal sosial atau budaya untuk proses penerimaan yang lebih mudah. Proses resepsi
oleh para pendengar tidak akan sulit dibanding kesenian yang belum didengar
sebelumnya. Pada hal ini “Wayang Hip Hop” merupakan gabungan dari wayang dan musik
Hip Hop yang sedang melonjak tingkat
kegemarannya.
C. “Wayang Hip Hop” dan Pertunjukannya
Perjumpaan
penulis dengan pertunjukan “Wayang Hip Hop” adalah di sebuah acara musik di
bilangan kota Yogyakarta. Masyarakat yang didominasi anak muda berkumpul di
sebuah tempat dengan panggung di bagian depan. Beberapa menit kemudian “Wayang
Hip Hop” muncul dan mulai mempertunjukkan performance-nya. Para penonton ikut
bernyanyi dan menyerukan “Wayang Hip Hop”. Penonton juga turut menikmati
pertunjukan yang disajikan, balutan pergelaran wayang yang berpadu dengan
alunan Hip Hop dengan nada rapping, membuat decak kagum para
penonton. Inilah sebuah wujud kesenian tradisi yang telah terelaborasi dengan
kesenian global.
“Wayang
Hip Hop” merupakan perpaduan antara kedua bentuk kesenian barat (Hip Hop) dan timur (Wayang). Pada
dasarnya jenis percampuran ini merupakan hal yang baru, baik pada dunia
pewayangan, juga dunia musik. “Wayang Hip Hop” adalah wujud percampuran budaya
lokal dan global yang menjadi satu keutuhan dalam pertunjukan. Sesuai dengan
namanya, pertunjukan “Wayang Hip Hop” juga mempertunjukkan pergerlaran wayang.
Biasanya gelaran pewayangan yang diambil adalah adegan “gara-gara” dalam pementasan wayang kulit. Sosok yang ditampilkan
adalah tokoh Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong.[24]
Dalam penyampaiannya kepada masyarakat, “Wayang Hip Hop” menggunakan beberapa
bahasa, biasanya Indonesia dan Jawa, tetapi sesekali bahasa Inggris juga
digunakan. Pertunjukan dibawakan dengan balutan komedi. Cerita dalam “Wayang
Hip Hop” berbeda dengan wayang konvensional lainnya. Alur cerita wayang di sini
disesuaikan dengan isu-isu yang hangat dalam ranah sosial politik yang sedang
melanda dan menjadi perbincangan khalayak umum. Perbincangan tersebut
didasarkan pada isu-isu terkait problem kehidupan, yang direpresentasikan pada
permasalahan-permasalahan sehari-hari. Seperti halnya perbincangan terkait
kelonjakan ekonomi yang membahas kelonjakan harga cabai, permasalahan politik
seperti tidurnya pada rapat oleh para anggota DPR, dan beberapa isu lainnya.
Penyampaian cerita disampaikan secara jenaka, dengan sedikit lelucon santai nan
segar. Dalam perbincangan dengan Dalang “Wayang
Hip Hop”, Ki Dalang Catur Kuncoro, beliau menyerukan bahwa:
Wayang Hiphop hanya
merupakan kanalisasi dari keresahan rakyat kecil atas ulah elit yang kadang
sulit dipahami. Karena hanya merupakan ‘gerutu’ dari rakyat, Catur mengatakan,
pentas “Wayang Hip Hop” tidak
berpretensi memberikan solusi bagi persoalan sosial yang sedang diangkat.
Pentas sekadar ingin mengajak penonton tertawa, menertawakan semua peristiwa
yang ternyata hanyalah dagelan hidup.
Secara eksplisit dapat diketahui bahwa stimulant
munculnya “Wayang Hip Hop” adalah kegelisahan terhadap elit atas rakyat kecil.
Kemunculan yang terbentuk berdasarkan kebosanan dan kegelisahan terhadap wujud
ketidakadilan. Tetapi di sisi lain dalang mengatakan keresahan yang dituangkan
pada lagu tidak mempunyai implikasi yang besar dalam menyelesaikan perkara
sosial yang ada.
Secara implisit tetapi akan
berbeda walaupun dalang hanya berkeinginan mengajak penonton mentertawakan
keadaan sendiri, dikarenakan setelah menyaksikan pertunjukan, tontonan akan
menjadi stimulasi emosi dalam pergerakan baik dimulai secara individu maupun kolektif.
Pada iringan musik, “Wayang Hip Hop”
didominasi dengan alunan musik Hip Hop,
tetapi tidak jarang lagu jawa, pop, tembang kenangan dan dangdut juga
dibawakan. Dalam pertunjukannya, “Wayang Hip Hop” terdiri dari seorang dalang,
tiga orang pemusik (yang memainkan keyboard, laptop, gitar akustik, siter dan perkusi seperti terbang,
rebana, dll), tiga orang penyanyi dan seorang teknisi yang mengkordinir alat
musik dan sound control. Para pemain
tersebut mempunyai tugasnya masing-masing, seorang Dalang memainkan lakon dan
bernyanyi. Para pemusik memainkan alat musik dan membuat alunan hip hop
semakin terasa. Tiga orang penyanyi lainnya terbagi atas dua rapper dan seorang sinden. Dalam
pertunjukannya, biasa juga membutuhkan beberapa talent untuk memainkan lakon wayang orang.
Bentuk
pertunjukannya, layaknya sebuah pergelaran wayang, “Wayang Hip Hop” selalu
diawali oleh Dalang dengan memainkan sebuah lakon. Kehadiran dalang seperti
halnya intro dalam sebuah lagu. Lakon yang dibawakan dalang biasanya memakan
waktu tiga hingga lima menit. Setelah itu dilanjutkan oleh alunan musik hip hop dan para penyanyi. Para penyanyi
akan melakukan rapping pada bagian verse lagu, terkadang sinden dan dalang
ikut menyanyikan. Pada bagian chorus
semua penyanyi ikut menyanyi. Biasanya setelah chorus, bagian intro kedua diisi kembali oleh dalang yang
melanjutkan lakonnya. Setelah intro kedua, verse
dan chorus kembali diulang dan
diakhiri dengan outro. Busana dalam
pertunjukan disesuaikan dengan tema yang diangkat, dan tak jarang para penyanyi
mengenakan busana wayang.
Selain dalam jenis musik dan
alur cerita, hal yang membedakan antara “Wayang Hip Hop” dengan wayang dan
pertunjukan lainnya adalah pada pergelarannya. Pergelaran yang dimaksud ada
pada teks “Wayang Hip Hop” dan alur drama cerita mereka. Seperti pada salah
satu contoh syair yang dibawakan oleh “Wayang Hip Hop” dalam tembang jawa dan
syair yang berbahasa Indonesia dan berbahasa jawa, ngelmu iku (berilmu itu)[25],
sebagai berikut:
Ela-elo si kebo numpak
sekute-er,
Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinte-er.
Ela-elo si kebo numpak sekute-er, Nah ,mulane dadi bocah sing sregep sinau, Ben pin? Pinter
Sapa bodho dadi pangane wong pinter. Ning nek wis pinter yo aja terus nggo minteri kancane ya?
Kudu tetep nyekel piwulang luhur lan budi pekerti
Ela-elo si kebo numpak sekute-er, Supaya pinter ning ora keblinger
Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinte-er.
Ela-elo si kebo numpak sekute-er, Belajarlah engkau sampai ke negri cina
Sapa bodho dadi pangane wong pinter. Menuntut ilmu tak terbatas ruang dan usia.
Gantungkan cita - cita mu setinggi langit,
Jangan pernah menyerah walau berawal pahit.
Ela-elo si kebo numpak sekute-er, Slagi muda hey kawan jangan sia-siakan waktumu.
Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinte-er. Teruslah brusaha kejar impianmu jangan ragu.
Ela-elo si kebo numpak sekute-er, Singsingkan lengan baju yo terus maju,
Sapa bodho dadi pangane wong pinter. Dunia berharap cemas masa depan menunggu.
Aja gelem kaya kebo thela-thelo merga bodho,
Ora kasil gampang nglokro ngalor ngidul di plekotho, Ela-elo si kebo numpak sekuter,
Jamane saya maju, kudu banter le mlayu, Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinter.
Jamane saya canggih aja ingah ingih. Ela-elo si kebo numpak sekuter,
Bocah enom kudu sing wani waton bener ra usah wedi, Sapa bodho dadi pangane wong pinter
Kendel bandel tur mrantasi,
Nanging aja ninggal marang piwulang budi pekerti. Jangan pernah menyerah hapuskan rumus kalah,
Tiada kata akhir meski semua mencibir.
Katakan Juara meski semua menatap hina
Ela-elo si kebo numpak sekuter, ku sang pemenang Semua rintangan ku terjang.
Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinter. Ngelmu iku kelakone kanthi laku.
Ela-elo si kebo numpak sekuter, Lekase lawan kas.
Sapa bodho dadi pangane wong pinter. Tegese kas nyantosani.
Ela-elo si kebo numpak sekuter, Setya budya pangekese dur angkara.
Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinter.
Ela-elo si kebo numpak sekuter,
Sapa bodho dadi pangane wong pinter
Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinte-er.
Ela-elo si kebo numpak sekute-er, Nah ,mulane dadi bocah sing sregep sinau, Ben pin? Pinter
Sapa bodho dadi pangane wong pinter. Ning nek wis pinter yo aja terus nggo minteri kancane ya?
Kudu tetep nyekel piwulang luhur lan budi pekerti
Ela-elo si kebo numpak sekute-er, Supaya pinter ning ora keblinger
Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinte-er.
Ela-elo si kebo numpak sekute-er, Belajarlah engkau sampai ke negri cina
Sapa bodho dadi pangane wong pinter. Menuntut ilmu tak terbatas ruang dan usia.
Gantungkan cita - cita mu setinggi langit,
Jangan pernah menyerah walau berawal pahit.
Ela-elo si kebo numpak sekute-er, Slagi muda hey kawan jangan sia-siakan waktumu.
Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinte-er. Teruslah brusaha kejar impianmu jangan ragu.
Ela-elo si kebo numpak sekute-er, Singsingkan lengan baju yo terus maju,
Sapa bodho dadi pangane wong pinter. Dunia berharap cemas masa depan menunggu.
Aja gelem kaya kebo thela-thelo merga bodho,
Ora kasil gampang nglokro ngalor ngidul di plekotho, Ela-elo si kebo numpak sekuter,
Jamane saya maju, kudu banter le mlayu, Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinter.
Jamane saya canggih aja ingah ingih. Ela-elo si kebo numpak sekuter,
Bocah enom kudu sing wani waton bener ra usah wedi, Sapa bodho dadi pangane wong pinter
Kendel bandel tur mrantasi,
Nanging aja ninggal marang piwulang budi pekerti. Jangan pernah menyerah hapuskan rumus kalah,
Tiada kata akhir meski semua mencibir.
Katakan Juara meski semua menatap hina
Ela-elo si kebo numpak sekuter, ku sang pemenang Semua rintangan ku terjang.
Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinter. Ngelmu iku kelakone kanthi laku.
Ela-elo si kebo numpak sekuter, Lekase lawan kas.
Sapa bodho dadi pangane wong pinter. Tegese kas nyantosani.
Ela-elo si kebo numpak sekuter, Setya budya pangekese dur angkara.
Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinter.
Ela-elo si kebo numpak sekuter,
Sapa bodho dadi pangane wong pinter
Pada teks di atas berisikan pesan terkait moral
pendidikan masyarakat, di mana masyarakat harus mengenyam pendidikan agar tidak
“dibodohi”. Teks secara eksplisit menjelaskan bahwa masyarakat harus mengenyam
pendidikan setinggi-tingginya, dan jikalau sudah mengenyam setidaknya saling
menghormati kepada seluruh masyarakat tanpa memandang status pendidikan. Secara
berulang-ulang mereka memberikan pesan untuk terus belajar dan berusaha, tanpa
terkecuali. Terdapat pesan sosial untuk masyarakat dalam lagu di atas. Terkait
dengan teks, lakon yang dibawakan Dalang juga berisikan tentang pendidikan,
semisal seorang guru dan murid. Busana para penyanyi juga mengikuti, bila
halnya terkait pendidikan, mereka akan mengenakan pakaian seragam. Pertunjukan
yang disajikan akan didasarkan pada kontekstual yang mengikat.
Dalam keberlangsungannya, pesan
dan makna pada lagu tidak hanya tertera pada lagu di atas saja, pada lagu-lagu
lain juga tetap tersurat dan tersirat makna dan pesan-pesan yang baik. Hal ini
merupakan bentuk adaptasi dari pergelaran wayang yang tidak hanya menjadi
tontonan, tetapi juga menjadi tuntunan dan membentuk tatanan untuk menghadapi
tantangan. “Wayang Hip Hop” menarik satu garis kesamaan pada pergerlaran wayang
dan pertunjukan Hip Hop, yakni
menyampaikan pesan. Wayang yang tetap menjadi tuntunan dalam setiap
pergelarannya, mempunyai kesamaan dengan Rapping
Hip Hop yang berisikan kritik dan pesan terhadap keadaan yang ada untuk
segenap masyarakat.
D.
Hibriditas
sebagai Jalan Keluar
Pada
telaah di atas, dapat ditarik asumsi bahwa percampuran pada “Wayang Hip Hop”
merupakan sebuah bentuk hibriditas kebudayaan. Terjadi percampuran antara satu
kebudayaan dan kebudayaan lain. Pada dasarnya, perpaduan merupakan wujud
pembentukan budaya yang berintegrasi menciptakan sesuatu yang baru. HB Raditya
menyatakan bahwa:
Global dan lokal
bercampur menjadi satu kesatuan membentuk nilai baru yang tidak meninggalkan
kedua nilai percampuran, tetapi memperkaya. Hibriditas atas semua unsur musikal
membuat kekuata pertunjukan semakin kuat.[26]
Perpaduan pada “Wayang Hip Hop” merupakan sebuah
solusi dalam memanfaatkan setiap unsur untuk
berintegarsi dan saling berkorelasi. Hasil perpaduan menjadi variatif dan
menawarkan pembaruan. Pembaruan yang terjadi sangat memperkaya musik Hip Hop, dan wayang sebagai sebuah
kesenian yang adiluhung.
Menilik hibriditas itu sendiri,
pada dasarnya hibriditas adalah sebuah proses penciptaan identitas kultural
menjadi jelas. Hibriditas lebih mengarah kepada perubahan identitas yang
berujung pada perubahan subjektif.[27]
Telaah Bhaba tersebut merupakan pendeskripsian terhadap bercampurnya dua bentuk
budaya yang memunculkan entitas-entitas tertentu dari tiap kebudayaan yang
bercampur. Percampuran entitas baru tersebut merupakan perpaduan dari sifat
keduanya. Senada dengan Bhabha, Young menekankan bahwa:
The use of
the term ‘hybridity’ to describe the offspring of humans of different races
implied, by contrast, that the different races were different species: if the
hybrid issue was successful through several generations, then it was taken to
prove that humans were all one species, with the different races merely
subgroups or varieties—which meant that technically it was no longer hybridity
at all.[28]
Young secara eksplisit menjelaskan adanya
perbedaan ras yang berbeda menyatu dengan proses perpaduan. Perpaduan antara
satu unsur dengan unsur lain menjadi kunci terjadinya hibriditas.
Pada pengaplikasiannya, hibriditas dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga jenis, yakni percampuran dua budaya karena adanya pemaksaan seperti halnya
penjajahan yang menciptakan dominasi terhadap yang dijajah, hibriditas yang
terealisasi tanpa paksaan dan tekanan akibat dialektika antar budaya, dan
hibriditas yang terbentuk sebagai sebuah perlawanan.[29]
Pada cara pemaksaan karena kolonialisme, terjadi hibriditas antara budaya
setempat dan budaya kolonial. Pada cara tanpa paksaan, hibriditas berlaku
secara sendirinya, sedangkan pada bentuk perlawanan, hibriditas terbentuk
dengan reaksi budaya dalam melawan yang terkadang menciptakan hal yang baru.
Dalam
penerapannya, langkah-langkah yang dilakukan dalam proses perpaduan (baca: hibriditas).
Langkah tersebut dimulai dengan adanya proses mimesis. Proses mimikri menjadi proses dalam penerapan
hibriditas. Bhabha menyatakan bahwa mimikri
adalah proses peniruan yang terjadi antara dua identitas berbeda dan juga tanda
dari yang tidak teraproproasi, dan mimikri
merupakan suatu tindakan yang sengaja atau tanpa sadar dilakukan pada interaksi
atau hubungan sosial dalam pertahankan dominasi.[30]
Proses imitasi yang terjadi pada percampurannya. Mimikri teraplikasikan dengan dua cara, yakni tanpa sadar dan
disengaja. Secara implisit menjelaskan bahwa mimikri dapat terjadi secara tidak sengaja ketika ‘penubuhan’ atas
sebuah budaya sudah menghegemoni. Proses imitasi akan berpadu dengan
intepretasi dan penubuhan yang sudah ada, dan bercampur dengan kebudayaan
lainnya. Imitasi inilah yang mengawali terjadinya proses hibriditas. Setelah
itu, budaya yang diimitasi berbaur dengan budaya lain dan membentuk sebuah
kebudayaan baru yang mempunyai entitas dari kedua kebudayaan.
Secara implisit, hibriditas memunculkan sebuah ruang baru. Hibriditas
menstimulasi peluang hadirnya ruang ketiga (the third space) dari dua
budaya. Dalam proses hibriditas asal budaya tidak menjadi permasalahan, yang
menjadi penting adalah ruang ketiga peleburan budaya. Ruang ketiga ini merupakan ranah kesempatan
pembentukan budaya baru yang mempunyai peluang tidak sesuai dengan budaya asli.
Bhabha mengungkap bahwasanya Proses hibriditas budaya memungkinkan terbentuknya
sesuatu yang berbeda, baru, bahkan belum dikenal sebelumnya, yang merupakan
area baru tempat terjadi negosiasi makna dan representasi.[31]
Dalam hal ini, hibriditas merupakan ranah di mana kelak terjadinya negosiasi
kebudayaan dalam pembentukan budaya baru yang diacu secara kolektif.
Dalam hal ini “Wayang Hip Hop”
merupakan hasil dari hibriditas kebudayaan. Lagi Terlebih jikalau kita menilik
dari namanya, “Wayang Hip Hop” merupakan perpaduan kebudayaan lokal yakni
wayang, dan kebudayaan asing yakni Hip Hop. Perpaduan sebuah kebudayaan yang
sangat berbeda jauh dalam bentuk dan performancenya. Terhibridasinya sebuah
kebudayaan bisa terlaksana jikalau ada suatu nilai yang dapat dinegosiasikan.
Nilai tersebut setidaknya berbentuk nilai, makna, fungsi ataupun guna dari
kesenian. Ada suatu hal yang mempunyai kesamaan dalam keberlangsungannya. Dalam
hal ini “Wayang Hip Hop” tetap menjunjung sifat hakiki dari wayang sebagai
tontonan, tuntunan dan tatanan, sedangkan Hip Hop sebagai media berekspresi
dalam menyampaikan kritik, saran dan kenyataan untuk menuntun. Kesamaan nilai
ini yang mengakomodir sekaligus merepresentasikan “Wayang Hip Hop” sebagai agen
dalam nilai tuntunan masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada teks dari lagu “Wayang
Hip Hop” yang berisikan pesan dan makna yang mengandung tuntunan dan tatanan.
Terlebih dalam keberlangsungan masyarakat urban yang tingkat kebosanannya
tinggi.
“Wayang Hip Hop” merupakan bentuk
budaya baru yang tetap mempertahankan kesenian adiluhung dan memunculkan cara
penyebaran yang baru. Hal ini baik karena wayang dapat tetap dikenal luas di
masyarakat, serta dilestarikan. Menilik masyarakat urban yang mempunyai tingkat
ketertarikan terhadap Hip Hop, maka hal ini merupakan hal yang tepat untuk
tetap menjadikan wayang sebagai acuan. Dalam dunia yang modern, “Wayang Hip
Hop” menjadi pembentukan karakter anak-anak bangsa dengan cara yang lebih
modern. Dengan demikian, tidak ada kata bosan, ketinggalan zaman, atau
kampungan pada nilai budaya lama. Budaya bisa bernegosiasi dalam menjaga
kelestariannya. “Wayang Hip Hop” merupakan wujud hibriditas kebudayaan yang
menghasilkan sebuah terobosan baru dalam pelestarian dan pengembangan pada
kesenian, serta penciptaan, pembentukan dan pengkonstruksian karakter bangsa
dalam menjalani hidup yang lebih modern.
E.
PENUTUP
Masyarakat
urban kini mengacu pada modernitas karena dianggap sebagai lumbung kemajuan.
Kebudayaan tradisional dianggap ketinggalan zaman dan mulai dilupakan. Sebuah
kesenian yang adiluhung “Wayang”, merupakan sebuah kesenian yang tidak hanya
memberikan tontonan, tetapi memberikan tuntunan dan terdapat tatanan dalam
setiap pergelarannya. Pergelaran Wayang setidaknya merupakan tontonan yang
cerdas dalam pembentukan masyarakat pada beberapa dekade lalu. Kemajuan zaman
yang begitu pesat tidak dapat dielakkan, tontonan semakin tidak terkontrol dan
tidak sedikit yang mengandung pesan moril. Hal yang profan dianggap lebih
menyenangkan dan ditonton. Dalam dunia modern, muncul sebuah wujud seni baru
milik barat, Hip Hop. Masyarakat
menggandrungi jenis musik tersebut. Pada Hip
Hop terdapat sebuah pesan kritik dan moril yang terkandung. Untuk
mengakomodasi kesenian lama untuk dapat lestari, munculah sebuah wujud kesenian
baru, “Wayang Hip Hop”. Perpaduan wayang dengan musik Hip Hop menjadi solusi dalam menjaga kelestarian kesenian tradisi
di era modern, dan tak lupa tetap memberikan pesan tuntunan dan tatanan kepada
masyarakat, tidak hanya tontonan semata.
“Wayang
Hip Hop” merupakan wujud hibriditas kebudayaan, percampuran dua kesenian yang
berbeda asal. Adanya “Wayang Hip Hop” dapat menjadi model untuk kesenian
tradisi lainnya untuk tetap menjaga eksistensinya. Dengan tetap menjunjung
nilai kedua kebudayaan yang dilebur dengan menciptakan sebuah kebudayaan baru
yang lebih efektif dalam pertunjukannya, sehingga karakter masyarakat yang
modern tetap dapat terakomodasi pada nilai tuntunan dan tatanan dari hakikinya
kesenian wayang. Secara Implisit, “Wayang Hip Hop” merupakan tempat pembentukan
karakter masyarakat muda oleh sebuah kesenian tradisi dengan gaya baru. “Wayang
Hip Hop” menjadi media baru yang tidak membosankan, mengikuti zaman, dan
memegang teguh nilai tradisi. Oleh karena itu, dengan kemunculan “Wayang Hip
Hop”, kesenian dapat turut menentukan pembentukan karakter bangsa di tengah
kemajemukan modernitas yang semakin masif.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,
dalam Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa.
Jakarta: Balai Pustaka. 1994.
Androutsopoulos,
J., 2009. Global, Linguistic Flows: Hip
Hop Cultures, Youth Identities, and the politics of language. New York:
Routledge.
Bhaba,
Homi. K., 2007. The Location of Culture. Cetakan ke-5. London, New York:
Routledge.
Forman,
M., 2002. The Hood Comes Fisrt: Race
Space, and Place in Rap and Hip Hop. Middletown, CT: Wesleyan University
Press.
Groenendael,
Victoria M. Clara van, 1987. Dalang di
Balik Wayang. Jakarta: Pustaka Utama Grafis.
HB
Raditya, Michael, 2013. “Hibriditas
Musik Dangdut dalam Masyarakat Urban,” dalam Journal of Urban Society’s Arts. Vol. 13. No.1 April 2013, hlm. 1-14.
Hoch,
Danny, 2006. Journal Towards A Hip-Hop
Aesthetic: A Manifesto for the Hip Hop Arts Movement. New York: Routledge.
Kayam, Umar, 2000. “Pertunjukan Rakyat Tradisional Jawa dan
Perubahan,” dalam Heddy Shri Ahimsa Putra (Ed.), Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galangpress.
Koentjaraningrat,
1994.
Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat,
2005. Pengantar Antropologi II:
Pokok-pokok Etnografi. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Kusumajadi,
1970. “Wayang Kulit Buto Terong Gaya Yogyakarta,” dalam Majalah Mahasiswa SANI, Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia
(ASRI) Yogyakarta.
Mulyono,
Sri, 1979. Simbolisme dan Mistikisme
dalam Wayang. Jakarta: Gunung Agung.
Rabaka,
Reiland, 1972. Hip Hop’s Inheritance: From the Harlem Renaissance to the Hip Hop Feminist
Movement. Maryland: Lexington Books.
Suharyoso
SK, 2000. “Teater Tradisional di Sleman, Yogyakarta: Jenis dan Persebarannya,”
dalam Heddy Shri Ahimsa Putra (Ed.), Ketika
Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galangpress.
Sunarto,
1989. Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta:
Sebuah Tinjauan tentang Bentuk, Ukiran,
Sunggingan. Jakarta: Balai Pustaka.
Watkins,
Craig S., 2005. Hip Hop Matters.
Boston: Beacon Press.
Young,
Robert J.C., 1995. Hybridity in Theory,
Culture and Race. London, Routledge.
Webtografi
Biodata
Lengkap
Michael HB Raditya, seorang penikmat seni dan
budaya yang lahir pada tahun 1988. Ia seorang penulis yang berlatarbelakang
pendidikan Kesarjanaan di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada, dan
Master di Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada.
Kini ia mengelola JURNAL KAJIAN SENI, Universitas Gadjah Mada. Ia bergabung
dengan Komunitas LARAS, sebuah komunitas yang membahas Musik dan Masyarakat
dengan menghelat sekali dalam sebulan sebuah diskusi tentang musik dan
terapannya di PKKH, UGM. Ia tergabung dengan komunitas SENREPITA, sebuah
komunitas kritik tari kontemporer yang turut menghelat tari-tari kontemporer di
kediaman Sal Murgiyanto. Ia tergabung dengan kelompok CCMP yang terseleksi dari
setiap Universitas di Indonesia, Kelompok CCMP ini adalah kelompok kritik dan
menuliskan seni pertunjukan di Indonesia, besutan Sal Murgiyanto, dkk. Ia juga
kerap menjadi pembicara, moderator dan penghelat acara seni di Yogyakarta.
Tulisan-tulisan yang sudah diterbitkan adalah: “Dinamika
Persawahan” dalam Rumah Tangga Petani
di Tengah Arus Pasar Dunia yang diterbitkan oleh Antroplogi Budaya, UGM pada
tahun 2007. “Potret Pendidikan Nek Sawak” dalam Penelitian Producing Wealth and Poverty in Indonesia’s New Rural
Economies diterbitkan oleh Antropologi Budaya, UGM, diterbitkan 2010. “Komunitas
Model United Nations di UGM, Sebuah Studi Organisasi Sosial lingkup Mahasiswa”,
dalam Skripsi Jurusan Antropologi Budaya, UGM pada tahun 2011. “Strategi
Masyarakat Gambut dalam Bertahan Hidup di Sungai Kampar dan Bukit Batu” untuk
Fakultas Kehutanan UGM dan LSM MITRA Insani, Riau, pada tahun 2013. “Inventarisasi
dan Kajian Komunitas Adat ‘Sedulur Sikep’ Desa Sumber Kecamatan Kradenan
Kabupaten Blora”. Diterbitkan oleh BPNB Yogyakarta, pada tahun 2013. “Esensi
Senggakan Pada Dangdut Koplo Sebagai Identitas Musikal” dalam Tesis Program
Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM, 2013. “Hibriditas Musik
Dangdut dalam Masyarakat Urban”, dalam Journal of Urban Society’s Arts vol 13
no. 1 April 2013 (1-14). “Komik: Estetika, Komoditisasi, dan Eksistensi”, dalam
Majalah Mata Jendela Seni Budaya Yogyakarta. Volume IX Nomor 2/2014, Taman
Budaya Yogyakarta. “Mengolah Danais Seni Dengan Tepat”, Opini dalam Koran Cetak
Kedaulatan Rakyat Tanggal 18 September 2014. “Musik sebagai wujud Eksistensi
dalam Gelaran World Cup”, dalam Jurnal Resital Juni 2014. “Antara Rasa dan
Estetika, Komodifikasi Nilai Konsumsi pada Pangan Sebagai Wujud Eksistensi”, dalam
Jurnal Kawistara Oktober 2014. “S.Sudjojono, Representasi Revolusi Pemikiran
Seni terhadap Pembentukan Identitas Budaya”, dalam Lomba
Karya Tulis Ilmiah: Pemikiran Budaya Tokoh-Tokoh Di Indonesia, dan menjadi
Nominasi Pertama pada 28 Juli 2014. “Mengkaji Ulang Estetika pada Pendidikan Seni:
Estetika Nusantara Sebagai Haluan Pendidikan Seni Indonesia Masa Depan”, dalam
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Seni #2, Reorientasi Pendidikan Seni di
Indonesia. Jurusan Pendidikan Seni Rupa FBS UNESA 2014.. “Analisis Hibriditas
dalam Seni Pertunjukan Dangdut Sebagai Representasi Perkembangan Seni”, dalam
Prosiding Seminar Pendidikan Seni Pertunjukan Indonesia Masa Kini. Jurusan
Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni, UNESA 2014.
Kontak: 08568780707, michael.raditya@gmail.com
[1] Anderson dalam Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. (Jakarta: Balai
Pustaka,1994), hlm. 288.
[2] Penggunaan kata Pergelaran ditujukan
pada pergelaran wayang. Oleh karena itu, setiap kata pergelaran selalu diikuti
kata wayang. Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas pertunjukan wayang atau
memperlihatkan view yang lebih spesifik, sedangkan kata pertunjukan ditujukan untuk
pergelaran wayang secara umum sebagai sebuah kesenian-kesenian pada umumnya. Pertunjukan
mengarah ke arah nilai pertunjukan umum.
[3] Umar Kayam, “Pertunjukan Rakyat
Tradisional Jawa dan Perubahan,” dalam Heddy Shri Ahimsa Putra, Ketika Orang Jawa Nyeni. (Yogyakarta:
Galangpress, 2000), hlm. 390.
[4] Umar Kayam, Ibid., hlm. 390.
[5] Maecenas adalah seseorang yang mempunyai
kedermawanan terhadap seni.
[6] Koentjaraningrat, Pengantar
Antropologi II: Pokok-pokok Etnografi. Cetakan Ketiga. (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2005), hlm. 19.
[7] Sunarto, Wayang
Kulit Purwa Gaya Yogyakarta: Sebuah Tinjauan
tentang Bentuk, Ukiran, Sunggingan. (Jakarta: Balai Pustaka, 1989,) hlm.
13.
[8] Kanti Walujo, Dunia
Wayang: Nilai Estetis, Sakralitas dan Ajaran Hidup. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 6-7.
[9] Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. (Jakarta:
Gunung Agung,1979), hlm. 15-16.
[10] Sri Mulyono, Simbolisme
dan Mistikisme dalam Wayang. (Jakarta: Gunung Agung, 1979), 9.
[11] Sunarto, Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta: Sebuah
Tinjauan tentang Bentuk, Ukiran,
Sunggingan. (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 15.
[12] Kusumajadi, “Wayang
Kulit Buto Terong Gaya Yogyakarta,” dalam Majalah Mahasiswa SANI. (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Seni Rupa
Indonesia (ASRI) Yogyakarta, 1970), hlm. 49.
[13] Suharyoso SK, “Teater
Tradisional di Sleman, Yogyakarta: Jenis dan Persebarannya,” dalam Heddy Shri
Ahimsa Putra (ed.), Ketika Orang Jawa Nyeni. (Yogyakarta: Galangpress, 2000), 49.
[14] Victoria M. Clara van Groenendael,
Dalang di Balik Wayang. (Jakarta:
Pustaka Utama Grafis,1987), hlm. 6.
[15] Suharyoso SK, Op. cit.
[16] Suharyoso SK, Op. cit., hlm. 50.
[17] Ibid.
[18] Murray Forman, The Hood Comes Fisrt: Race Space, and Place in Rap and Hip Hop. (Middletown,
CT: Wesleyan University Press, 2002), hlm. 9.
[19] Reiland Rabaka, Hip Hop’s Inheritance: From the Harlem
Renaissance to the Hip Hop Feminist Movement. (Maryland: Lexington Books, 1972),
hlm. 5.
[20] Craig Sm Watkins, Hip Hop Matters. (Boston: Beacon Press, 2005), hlm. 62.
[21] Janis Androutsopoulos, Global, Linguistic Flows: Hip Hop Cultures,
Youth Identities, and the politics of language. (New York: Routledge, 2009),
hlm. 43.
[22] Dany Hoch, Journal Towards A Hip-Hop Aesthetic: A
Manifesto for the Hip Hop Arts Movement. (New York: Routledge, 2006), hlm. 3.
[23] Craig S Watkins, Hip Hop Matters. (Boston: Beacon Press, 2005), hlm. 61.
[26] Michael HB Raditya, “Hibriditas Musik
Dangdut dalam Masyarakat Urban,” dalam Journal
of Urban Society’s Arts. Vol. 13. No. 1 April 2013, hlm. 13.
[27] Homi K. Bhaba, The Location of
Culture. (London, New York: Routledge, 2007), hm. 124-126.
[28] Robert J.C.Young, Hybridity in Theory, Culture and Race. (London:
Routledge, 1995), hlm. 9.
[29] Homi K. Bhaba, The Location of
Culture. (New York: Routledge, 2007), hlm. 4.
[30] Homi K Bhaba, The Location of Culture.
(London, New York: Routledge, 2007), hlm. 126.
[31]
Homi K Bhaba, The Location of
Culture. (London, New York: Routledge, 2007), hlm. 112-115.
0 komentar