Dialita: Melalui Musik Mereka Kembali
00.36
Oleh Michael H.B. Raditya
Sudah 51 tahun silam sebuah paduan suara
yang beranggotakan para wanita, bernama Dialita, dibungkam. Paska tragedi 1965,
mereka turut dituduh sebagai salah satu pihak yang bertanggungjawab atas tindakan
yang mereka tidak rencanakan dan lakukan. Terpenjarakan tanpa mekanisme hukum
yang jelas, bahkan masih memikul beban sanksi sosial yang tidak seharusnya
mereka dapatkan paska dipenjara, telah mereka rasakan. Setelahnya mereka
dilarang melakukan pelbagai aktivitas berkelompok yang mencolok, bahkan untuk
bernyanyi sekalipun. Alhasil pelbagai lagu dari paduan suara tersebut dilarang
untuk diperdengarkan ataupun dinyanyikan secara bebas. ‘Lagu Bisu’, begitu
mereka menyebutnya, menyebut kreativitas yang telah dikubur sepihak.
Namun ada yang berbeda di malam itu (1/10),
tepat di hari Kesaktian Pancasila, mereka kembali menyanyikan sepuluh lagu
milik mereka. Tidak hanya itu, di bawah pohon Beringin yang ditanam oleh
Soekarno—di Universitas Sanata Dharma, Mrican, Yogyakarta—mereka kembali dengan
meluncurkan album perdana yang bertajuk Dialita:
Dunia Milik Kita. Sebuah album yang merekam sepuluh lagu yang diciptakan,
baik sebelum dipenjara, ataupun ketika dan setelah usai dipenjara. Berkerjasama
dengan pelbagai musisi muda, seperti: Frau, Sisir Tanah, Cholil Mahmud (ERK),
Lintang Raditya, Nadya Hatta, Prihatmoko Moki, dan Kroncongan Agawe Santosa,
pelbagai aransemen ulang dibuat untuk membumikan lagi lagu-lagu Dialita dengan
genre masa muda kini.
Bernyanyi Layaknya Tak
Ada Hari Esok
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling
indah bagi mereka, ibu-ibu yang telah dibuang dan tidak dianggap, kini dapat
kembali bertegur-sapa, bahkan dapat bernyanyi dalam format panggung terbuka.
Bernyanyi di hadapan lebih dari 200 penonton, ketujuhbelas ibu-ibu menyanyikan
keseluruhan lagu dari album perdana mereka. Dengan wajah gembira, mereka
bernyanyi lantang, penuh semangat, berenergi, dan bersinergi dengan para musisi
muda.
Membuka pertunjukan di malam itu, Frau membawakan
dua lagu yang berjudul “Tarian Sari” dan
“Salahku, Sahabatku.” Penempatan Frau sebagai pembuka pertunjukan di malam itu
juga dirasa tepat, lewat denting pianonya ia telah membuat mood penonton
semakin terasa hangat dan nyaman. Frau bermain dengan cakap. Setelah dua lagu
dari Frau, para ibu-ibu Dialita—yang notabene banyak dari mereka telah berumur
lanjut—mulai disambut untuk menaiki panggung. Secara perlahan, terlebih sempat
kesulitan ketika harus melewati beberapa anak tangga, mereka secara satu per
satu menempati posisi menjadi dua shaf
melebar.
Menyambut ibu-ibu Dialita, riuh rendah
tepuk tangan para penonton seakan menyambut mereka. Tepuk tangan tersebut cukup
berarti, di mana wajah grogi para ibu-ibu perlahan tanggal dengan
sendirinya—yang terlihat dari lambaian tangan, sapa, juga senyum yang mereka
balas. Seorang dirigen—mereka menyebutnya dengan Opa (penyebutan untuk
laki-laki lanjut usia)—memasuki panggung dan memberikan salam hormat sebelum
lagu dinyanyikan. Dalam menyambut penonton, lagu pertama yang mereka bawakan
berjudul “Salam Harapan”. Lagu ini diaransemen sekaligus diiringi oleh Frau.
Pada lagu berikutnya, ibu-ibu Dialita ditemani oleh musisi muda lainnya, yakni Sisir
Tanah, Frau, dan Lintang Raditya. Membawakan lagu yang berjudul “Di Kaki-kaki
Tangkuban Perahu”, Lintang Raditya sangat memberikan perbedaan dengan
menciptakan suara layaknya radar satelit yang bernada dan statis. Kesan dari
kerja musik Lintang Raditya membuat alunan gitar Sisir Tanah dan piano Frau
semakin terasa ‘kekinian.’
Nomor ketiga dari lagu yang mereka
nyanyikan berjudul “Ujian”, berbeda dengan dua lagu sebelumnya yang dinyanyikan
satu suara (unison), lagu ketiga tersebut
dinyanyikan berbalasan antara solo dan koor. Kesan emosional dalam lagu ini
semakin terbentuk, terlebih konon lagu tersebut dibuat dari balik jeruji besi
Bukit Duri, dan terasa sangat terwakili dengan suara lirih sang penyanyi solo.
Sedangkan nomor keempat dari lagu mereka berjudul “Lagu untuk Anakku”. Diiringi
dengan suara gitar dan harmonika, kesan emosional yang tersemat masih sangat tertanam
dan kentara di lagu ini.
Alih-alih pertunjukan musik berjalan tanpa
jeda, setelah lagu keempat para penonton diberikan waktu untuk rehat. Sembari
istirahat para penonton dapat mencicipi dua jenis makanan racikan yang diolah
dari tanaman liar oleh Bakudapan—Food
Study Group, dengan menukarkan kupon yang diberikan ketika menukar tiket. Kendati pendistribusian makanan
terlihat sesak menumpuk di satu sisi dan memakan waktu, namun satu per satu
dari penonton dapat menikmati sajian secara merata. Tidak hanya untuk penonton,
waktu jeda pertunjukan pun turut digunakan oleh para ibu-ibu Dialita
melonggarkan pita suara.
Beberapa menit setelahnya, komunitas Agawe
Santosa kembali menghangatkan suasana dengan memainkan dua lagu pilihan mereka.
Komunitas Agawe Santosa besutan Erie Setiawan turut mengaransemen dan
mengiringi paduan suara Dialita pada lagu “Taman Bunga Pelantungan”. Salah satu
hal yang menarik dari kerja album ini adalah keikutsertaan komunitas Agawe
Santosa yang notabene mempunyai genre
yang berbeda dari Frau dan pemusik lainnya. Alhasil keberagaman suasana ketika
pertunjukan, juga pada album cukup terasa ketika mendengarkan ibu-ibu Dialita
bernyanyi.
Hal yang menarik lainnya ada pada dua lagu berikutnya,
yakni “Asia Afrika Bersatu”. Pada lagu tersebut aransemen dibuat seperti lagu
Nasional dengan adanya nuansa perkusi—atau khayalnya ketukan atau tempo ‘drum
band’. Dalam hal ini Frau dan Nadya Hatta berkolaborasi pada iringan piano,
sedangkan Prihatmoko Catur mengisi suara genderang serta bass drum. Alhasil
kesan lebih semangat terbentuk pada lagu tersebut. Namun euforia tersebut
membutuhkan energi yang lebih, sehingga ibu-ibu Dialita perlu beristirahat
sejenak setelahnya.
Sementara ibu-ibu Dialita rehat, Sisir
Tanah adalah kolaborator terakhir untuk pertunjukan malam itu. Dua lagu dengan
lirik yang mendalam dari Sisir Tanah seakan membawa penonton pada suasana yang
menenangkan, terlebih suara Danto—vokalis—terdengar ‘empuk’ di telinga.
Penempatan Sisir Tanah pada bagian akhir agaknya dirasa tepat untuk
mengantarkan empat lagu terakhir yang dibawakan Dialita. Selain memang saatnya
giliran Sisir Tanah untuk mengiringi paduan suara tersebut, namun lagu berpesan
macam “Padi untuk India” dirasa senada dengan Sisir Tanah dalam menyampaikan
pelbagai pesan moral, baik kepekaan sosial, ataupun kemanusiaan.
Satu nomor sebelum penutupan, ibu-ibu
Dialita menyanyikan sebuah lagu yang turut menjadi judul album perdana mereka,
“Dunia Milik Kita”. Lagu ini cukup terdengar emosional, terlebih mengingat
sikap yang diderita oleh ibu-ibu Dialita selama ini. Dalam sesi sambutan pun,
Ibu Uchi mengatakan bahwa lewat musisi muda yang terlibat, akhirnya
diputuskanlah “Dunia Milik Kita” juga menjadi nama album mereka. Pemilihan nama
album Dunia Milik Kita pun turut
dirasa representatif. “Dunia bukan milik Dialita saja, dunia juga bukan milik
Lani (Frau) saja, tetapi dunia milik kita semua”, ucap Ibu Uchi seakan
menegaskan bahwa sudah saatnya mengikis perbedaan dan hidup berdampingan.
Menutup konser malam itu, Agung Kurniawan
selaku eksekutif produser mengundang tim kerja yang terlibat pada pembuatan
album Dialita, baik dari tim produksi, tim pelaksana di atas panggung, dan para
musisi yang terlibat. Bersama-sama ibu-ibu Dialita, mereka memberikan salam
hormat tidak hanya kepada para penonton, tetapi juga para ibu-ibu Dialita, tim
kerja, dan pertunjukan di malam itu. Selanjutnya dalam menutup pertunjukan,
Agung Kurniawan memohon penonton untuk berdiri menyanyikan nomor terakhir di
list lagu yang dibawakan ibu Dialita dalam peluncuran album perdana tersebut.
Dengan semangat yang kental, ibu-ibu Dialita menyanyikan lagu yang berjudul “Viva
Ganefo” yang diaransemen oleh Sisir Tanah. Di dalam lagu ini, Sisir Tanah turut
diperbantukan oleh beberapa musisi lain yang masih berkumpul di sisi panggung.
Alih-alih pertunjukan usai ketika semangat
masih tinggi, ibu-ibu Dialita memutuskan untuk menyanyikan lagu tambahan. Tidak
berada di dalam album perdana mereka, lagu tambahan yang dinyanyikan berjudul
“Persahabatan”. Lagu terakhir ini seakan menyematkan sebuah pesan dramatis
bahwa sudah saatnya menjalin persahabatan dan menerima mereka sebagai bagian
penting dari sejarah, dan dalam berkehidupan bermasyarakat. Lagu tersebut
terkesan emosional membuat kerapkali bulu kuduk merinding, bahkan mberebes mili, terlebih ketika melihat
senyum dari tiap wajah ibu-ibu yang semangatnya tidak lagi dapat dibendung.
Mereka Telah Kembali
Salah satu
alasan mengapa banyak terma emosional di dalam uraian pertunjukan yang saya buat
adalah, karena kesan itulah yang sangat tersemat ketika menyaksikan ibu-ibu
Dialita bernyanyi. Kesan emosional tidak hanya didapat ketika membaca lirik
lagu dari beberapa nomor yang dibawakan, tetapi kesan itu didapat ketika
lirik-lirik tersebut dinyanyikan. Kendati paduan suara tersebut telah strategis
menentukan lagu dengan cara bernyanyi yang tidak tunggal, seperti beberapa lagu
yang dinyanyikan dengan cara unison
(satu suara), pecah suara, atau adanya solo, tetapi nuansa blero atau tune suara
yang kerap turun dari para ibu-ibu paduan suara cukup terasa.
Mungkin bagi sebagian orang dengan telinga
yang cermat akan terasa cukup mengganggu, namun hal tersebut tidak menjadi
masalah bagi para penonton, terlebih pertunjukan tersebut tidak ditempatkan
layaknya sebuah kompetisi yang membutuhkan tune
atau harmoni yang tepat di setiap
bagiannya. Justru dari sinilah kita dapat sadari bahwa sebuah pertunjukan tidak
hanya membutuhkan kemampuan musikal yang baik dari penampilnya, namun emosi dan
pesan yang dikemas dengan begitu matang, serta kontekstual pertunjukan yang
turut berkelindan membuat pertunjukan terasa utuh, juga tidak kalah penting.
Dan rasanya pertunjukan yang digelar sebagai peluncuran album perdana Ibu-Ibu
Dialita kemarin telah memberikan keutuhan itu.
Pada ihwal lagu, kerja kolaborasi dengan
musisi muda lintas genre ini turut memberi warna baru yang membuat pendengar
lintas generasi—bahkan satu, dua, atau tiga generasi setelahnya—dapat
diakomodasi. Hal itu terlihat dari rangkaian umur penonton yang datang cukup
beragam, seperti adanya generasi tua, dewasa, remaja, dan anak yang ikut
menyaksikan. Dari sini kita dapat melihat bahwa melalui musik, baik disadari
ataupun sebaliknya, nyanyian dan doa para Ibu-Ibu Dialita, “Namun yakin dan
pasti//Masa Depan akan Datang//Kita pasti kembali” (pada lirik lagu “Ujian”),
telah terjawab. Mereka, Ibu-Ibu Dialita, kini dapat menyanyikan lagu yang
selama ini ‘bisu’, namun tidak hanya sekedar bernyanyi, malam itu mereka
bergembira, merayakan masa depan yang telah ‘dijanjikan’. Dan kini mereka telah
kembali.[]
0 komentar