Antara Estetika dan Komoditisasi Komik Sebagai Wujud Eksistensi
00.41
Michael HB Raditya
Comics are usually attractive to look at, easy to read, and
never boring, targetly because several technical features old the ease of
reading and of comprehension.
Komik biasanya menarik
untuk dilihat, mudah dibaca, dan tidak pernah membosankan, secara target karena
beberapa tekniks fitur memberikan kemudahan dalam membaca dan pemahaman
Margaret R. Marshall[1]
Marshall
dalam telaahnya menekankan bahwa perkembangan komik yang masif dan sporadic
dapat dikaitkan dengan esensi-baik mengalami transformasi yang berbentuk
repetitif ataupun inovasi-dari komik itu sendiri. Penekanannya terletak pada beberapa poin yang melandasi alasan
ketertarikan terhadap komik, seperti halnya: kemudahan dalam membaca, tidak
membosankan, terlihat atraktif dan sebagai pembaharuan. Komik memang mempunyai
daya tarik lebih, beberapa penulis yang mempunyai ketertarikan yang lebih pada
komik seperti: Lopes dengan telaah komik yang didasarkan pada budaya dan stigma
(2014), Haryanto dengan telaah kartun (2010), Rohaeni dengan telaah minat baca
anak pada komik (2005), Palmer dengan telaah pornographic comic (1979) dan McCloud dengan telaah Komik Indonesia
(1993). Telah banyak yang mengulas tentang keberadaan komik dari berbagai macam
perspektif, tetapi ide utama ketertarikan tetap pada korelasi antara teks dan
gambar pada komik yang menjadi sebuah harmoni dan kesatuan.
Sarumpaet (1976:44) mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan komik adalah suatu penyuguhan visual cerita dalam
rangkaian gambar yang berbingkai dengan disertai balloon dialogues. Sedangkan Arswendo (1982:109) menyatakan bahwa
setiap adegan atau peristiwa disajikan secara jelas melalui gambar, karena
penyajian cerita dalam komik menempuh cara berkisah dengan menggunakan gambar
sebagai bahasanya, seringkali dikatakan bahwa bahasa komik adalah bahasa
gambar. Penggabungan antara teks (balloon
dialogues) dan gambar (bahasa gambar) dianggap sebagai manifestasi yang
membentuk keterjalinan. Tidak hanya berbentuk kartun atau karikatur, tetapi
lebih dari itu, terjalin sebuah cerita yang diperkuat dengan gambar dan teks,
dan setiap gambarnya terhubung menjadi sebuah tema cerita yang lebih besar dan
membentuk kesatuan.
Keberadaan
komik-dalam ranah produksi dan distribusi-yang semakin meningkat tidak dapat
dipungkiri. Komik dianggap dapat memenuhi leisure
time para masyarakat yang terbagi dalam kelas, umur dan jenis kelamin.
Dalam anggapan leisure time, sebuah
aktifitas tidak hanya dilakukan dalam mengisi waktu, tetapi ada pemuasan hasrat
atas kebosanan. Terjadi peningkatan terhadap minat baca masyarakat atas komik. Terteranya
gambar dan teks yang lebih dominan daripada novel atau buku literature lainnya,
membuat masyarakat mengkonsumsi komik sebagai bahan bacaan mereka. Biasanya,
novel atau bacaan tanpa gambar menstimulasi masyarakat dalam berimajinasi
terhadap bacaan. Telaah yang lebih dalam pada gambar komik adalah wujud konstruksi
imajinatif terhadap pembaca. Sehingga imajinasi pembaca dituntun untuk mencapai
makna cerita dari sang pembuat. Pembentukan keseragaman imajinasi terhadap
bacaan merupakan manifestasi pada komik.
Komik
pada dasarnya dibentuk sebagai sebuah media hiburan bagi masyarakat. Marshall
(1982:67) menegaskan bahwa terbentuknya komik pada awalnya bersifat hiburan
yang ditujukan untuk mengundang tawa, dalam perkembangannya, komik banyak
mengangkat kisah-kisah yang serius, seperti halnya petualangan, fiksi, biografi,
detektif, percintaan, perang, dan politik. Menekankan korelasi atas pernyataan
Marshall dan nilai seni itu sendiri, Gustami (2007:127) menyatakan bahwa
berkembangnya seni budaya berangkat dari tangkapan ide dasar yang bersumber
dari fenomena sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama yang kemudian
membentuk perilaku, tata nilai dan norma sosial kemasyarakatan. Komik dalam
perkembangannya terbentuk berdasarkan fenomena yang terjadi pada masyarakat,
baik tercipta dengan gaya yang jenaka atau lebih serius.
Bila halnya konten tema dan
gambar menjadi alasan utama ketertarikan masyarakat pada komik. Sarumpaet
(1976:48) menenkankan, bahwa ada dua hal yang menyebabkan komik menarik,
pertama, dari segi intrinsik, komik menggunakan bahasa gambar sehingga penyajian
cerita dengan bentuk komik memungkinkan disajikannya peristiwa-peristiwa dan
sebab-sebabnya dengan jelas, dinamis, dan hidup. Kedua diliha dari segi
ekstrinsiknya komik lebih banyak tersedia di pasaran. Menambahkan Sarumpaet,
Marshall (1982:67-68) menyatakan bahwa, alasan komik menarik perhatian adalah:
pertama gambar yang menarik perhatian pembaca karena sangat informatif. Kedua
adalah isi atau konten dari tema. Ketiga adalah Happy ending sebagai bagian akhir cerita, Keempat, frekuensi dari
kuantitas kemunculan komik, yang sebabkan pembaca penasaran dan menunggu
sambungan cerita. Ketertarikan masyarakat akan komik terjadi lebih kompleks
dari awal kemunculannya, terjadi transformasi nilai pada komik itu sendiri.
Berhubungan dengan transformasi
itu sendiri, adapun pengaplikasian fungsi seni terhadap perkembangan komik yang
terjadi pada lingkup nasional. Setyawati (2004:49) mengungkapkan bahwa:
Perbedaan komik terbitan
zaman dahulu dengan sekarang ada pada frekuensi penerbitan, panel, narasi,
visual, riset, kontinuitas komik, pengaruh budaya asing. Komik dulu : terbit
mingguan, satu halaman berisi dua panel besar, narasi dialog panjang–panjang,
hitam putih dan digambar manual, blocking dengan arsiran, riset terhadap
latar belakang kuat, kontinuitas komik kuat dengan munculnya serial bersambung
dan terus diminati pembaca, pengaruh budaya asing tetap ada namun tidak lebih
kuat dari budaya asli Indonesia. Sedangkan komik modern : terbit bulanan, lebih
bervariasi jenis halaman dan panel sesuai keinginan penulis, narasi lebih minim
dan gambar lebih banyak berbicara, diolah dengan komputer, kebanyakan membahas
masalah melalui permukaan saja, dominasi budaya asing sangat kuat.
Transformasi
komik dalam ranah perkembangan terjadi pada pada konten, teknis, frekuensi
kuantitas dari terbitan komik itu sendiri. Membicarakan tentang terbitan komik,
Bonneff (1998:76) menceritakan bahwa:
Penerbitan
didirikan setelah tahun 1968 oleh pengusaha keturunan Cina. Perusahaan besar
yang turut berperan dalam sejarah komik adalah Keng Po dan Tjahaya Kumala di
Jakarta, Melodi di Bandung, Abadi di Surabaya, serta Casso dan Haris di Medan…Modal
kurang dari seratus ribu rupiah seseorang dapat menerbitkan komik pertama, yang
akan menghasilkan keuntungan bersih antara sepuluh hingga tiga puluh persen.
Telah adanya penerbit yang dapat memproduksi rangkaian komik
membuat meningkatnya pembuat komik di Indonesia. Keuntungan yang didapatpun
membuat segelintir masyarakat menempuh jalan komik sebagai penghidupan mereka.
Perwita (2003:6) mengungkap bahwa:
Era
1960–1980 banyak pendekar–pendekar komik diantaranya Jan Mintaraga, RA Kosasih,
Ganes TH, Teguh Santoso, TH Djair, Wid NS dan Hasmi dengan karya yang cukup
digemari, namun jejak kreativitas mereka sulit dilacak dengan mudah karena
kurangnya pendokumentasian karya–karya seninya bahkan sang kreator sekalipun.
Tataran
tahun 1960-1980, masyarakat sudah dapat mengkonsumsi komik, penerbit sudah
dapat memproduksi komik karya para komikus, dan distribusi dapat tersebar walau
terbatas. Berbeda dengan kini, jumlah penerbit sudah berangsur bertambah,
bahkan banyak para komikus yang menerbitkan secara independen. Secara eksplisit
menekankan bahwa perkembangan komik sedemikian marak, bahkan setiap individu
dapat membuat komiknya sendiri.
Dari hal ini, secara implisit terbesit atas transformasi
fungsi seni pada perkembangan komik kini. Serta menilik keterjalinan korelasi
antara estetika dan komoditisasi dari komik itu sendiri. Menilik kembali posisi
estetika ketika komoditisasi telah terjadi, dominasi estetika atau dominasi
pasar yang menjadi arah komik kini. Mengingat kembali setiap orang mempunyak
hak yang sama dalam memproduksi tanpa adanya filter dan kontrol atas kuantitas
dan kualitas produksi.
Keberadaan
Komik Terkait Fungsi
Kemunculan dan keberadaan komik
kini tidak semata-mata terjadi begitu saja. Adapun alasan yang tidak hanya
bersifat retoris, tetapi lebih mendalam yang mengakibatkan eksistensi komik
tetap terjaga. Dikorelasikan dengan sifat manusia yang dinamis, sebuah
hal-dalam tataran ini adalah komik-harus dapat beradaptasi dengan kondisional
yang ada. Secara implisit menegaskan bahwa sebuah hal akan mempunyai fungsi dan
guna terhadap kehidupan masyarakat, yang berimplikasi pada keberlansungan hal
itu sendiri. Berhubungan dengan keberadaan seni, Soedarso (2006:102) menyatakan
bahwa pada awalnya semua jenis seni itu selalu menyandang tugas untuk melayani
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Seni merupakan media dalam melayani
masyarakat dalam bentuk apapun, dan hal tersebut terkait dengan erat atas
fungsi dan guna seni itu sendiri.
Pada tataran fungsi, Feldman
(1967:5-60) menyatakan bahwa terdapat tiga fungsi seni, yakni fungsi seni
secara personal, secara sosial dan secara fisik. Fungsi seni menurut personal
terbagi kepada lima aspek, yakni seni dan ekspresi psikologis, kasih relasi dan
pernikahan, kematian, kerohanian, dan ungkapan ekspresi itu sendiri. Sedangkan
pada fungsi seni menurut sosial, terbagi kepada empat aspek yakni, ideology dan
politik, deskripsi sosial, lelucon satir dan informasi grafis. Bila halnya pada
tataran lingkup yang tidak dapat terlihat, fungsi seni secara fisik dibedakan
kepada empat aspek, yakni arsitektur dan tempat tinggal, rancangan berukuran
besar, masyarakat, kerajinan dan rancangan industri. Secara eksplisit dapat
diketahui bahwa fungsi seni terbentuk sebagai bagian dari masyarakat dan
masyarkat bagian dari seni itu sendiri. Seni berangkat dari kegelisahan
personal, sosial dan perubahan fisik yang ada. Menambahkan Feldman, Merriam
(1964:222-226) menyatakan bahwa fungsi lebih kepada kontur budaya sosial
masyarakat yang ada, sedangkan guna lebih kepada keberadaan seni pada kehidupan
sosialnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seni itu sendiri merupakan budaya
masyarakat, dibentuk dan membentuk masyarakat.
Dalam hal ini, keberadaan komik
telah terpenuhi oleh fungsi dari seni itu sendiri. Bila dirunut denga asumsi
Feldman atas fungsi seni, Komik terbentuk berdasarkan ekspresi psikologis dalam
pembentukannya. Gambar dan teks merupakan formulasi dari ekspresi seni. Merunut
pada bagian konten komik, seperti yang sudah diungkap oleh Gustami (lihat 3
halaman ke belakang) sebelumnya, tema akan berdasarkan fenomena sosial yang
ada. Sehingga dalam persoalan ini, senada dengan fungsi seni, bahwa komik
berkontenkan lelucon, deskripsi sosial, politik dan ideologi sebagai pembahasan
cerita. Fungsi seni dalam ranah fisik, komik selalu menggunakan background view seperti arsitektur,
tempat tinggal, dll. Pada dasarnya fungsi seni dengan sifat personal, sosial
dan fisik terintegrasi menjadi satu kesatuan yang utuh, yang dapat dikatakan
sebagai kontur budaya oleh Meriiam. Komik menunjukan bahwasanya, keutuhan atas
keberadaan komik hingga kini didasarkan atas fungsi komik yang tetap menjadi
landasan utama dari pembuatan. Feldman (1967:8) menambahkan bahwa secara
periodic seni memiliki kekhasan sesuai dengan yang sedang terjadi dan
berkembang pada saat itu. Hal ini menegaskan bahwa variasi konten dari cerita
komik sebagai refleksi dari fenomena sosial yang ada, baik dulu, kini atau
menerawang masa depan.
Menilik keberadaan komik kini, tidak
dapat dipungkiri produksi komik sangat meningkat. Variasi cerita, media dari
komik, tokoh, alur, dan lainnya menjadi
satu bukti bahwa komik mengalami transformasi. Fungsi-fungsi tersebut secara
implisit menegaskan bahwa komik merupakan formulasi dalam menyampaikan pesan,
dan bahasa gambar dianggap lebih mudah diterima oleh masyarakat. Keberagaman
dalam memproduksi komik memang terjadi, tetapi setidaknya dalam pembuatannya
tetap menjunjung fungsi seni sebagai acuan dari komik itu sendiri, baik
disadari ataupun tidak disadari.
Estetika
dan Komoditisasi Komik
Kevariatifan
komik dalam perkembangannya merupakan bentuk kreatifitas dari para komikus.
Komik merupakan kembangan dari kartun dan karikatur, dan dalam hal ini masuk
dalam tataran seni. Seni merupakan sebuah aktifitas yang lebih menekankan pada
estetika dan intuitif, senada dengan Soedarso (2006:54) mengutip Veron dan
Tolstoy menyatakan bahwa seni merupakan mengekspresikan keseluruhan emosi
manusia, baik yang menyenangkan ataupun yang menyedihkan. Dan di timur,
Sudjojono berpendapat bahwa seni adalah jiwa yang nampak. Kutipan dari Soedarso
menguatkan bahwa seni merupakan pembicaran emosi, jiwa, dan lebih kepada
perasaan. Adapun artian estetika itu sendiri
menurut Kant via Hobart dan Kapferer (2005:5):
Aestheticics does not merely concern art
but rather lies at the heart of the critical understanding of the human profect
as a whole. And its about embodied and sensory. Art or what is defined as art
engages aesthetic processe but is not their necessary or ultimate expression.
The aesthetic is primary. The aesthetics forms are what human beings are
already centered within as human beings.
estetika
tidak hanya menyangkut seni melainkan terletak di hati dari pemahaman kritis
oleh manusia secara keseluruhan. dan tentang perwujudan dan sensorik. seni
didefinisikan sebagai seni yang melibatkan proses estetika, tetapi tidak hanya
pada kebutuhan dan ekspresi mereka. estetika itu utama. estetika merupakan
bentuk dari kehidupan manusia yang berpusat sebagai aktifitas manusia
Kant dalam kajiannya
menyatakan bahwa, estetika lebih mengenai penubuhan dan pengalaman sensorial
manusia. Sebuah hal yang dikaitkan sebagai seni, mengalami proses estetik yang
penuh dengan ekspresi. Melanjutkan dari pernyataan Kant, Estetika menurut
Eagleton (1990:3) merupakan:
Aesthetic is thus always a contradictory,
self-undoing sort of project, which in promoting the theoretical value of its
object risks emptying it of exactly that specificity or ineffability which was
thought to rank among it most precious features. The very language which
elevates art offers perpetually to undermine it.
estetika
selalu berkontradiksi, semacam kemelut pada diri, yang dalam mempromosikan
nilai teoritis dari objek dalam
membongkar resiko sebagai kekhususan dan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan,
tetapi menjadi fitur yang berharga. Bahasa yang mengedapankan seni dalam
menawarkan hal yang terus-menerus dan kuat
Pernyataan Egleton, dapat dimaksudkan bahwa estetika merupakan
sesuatu yang intuitif, tetapi sudah terjadi pada habitus manusia sebagai
individu.
Estetika merupakan sebuah nilai
keindahan dari sebuah karya dan ciptaan. Ciptaan yang menggunakan sesuatu yang
disebut intuitif, tidak menggunakan logika. Semua berdasarkan kenikmatan akan
seni itu sendiri, sesuatu yang lebih mengedepankan emosi, jiwa dan perasaan
dalam melihat sebuah hal. Meneruskan Engleton, Mary Kelly (1946:143) menyatakan
bahwasanya All my material comes from popular sources or more exactly, what
has been called the everyday (keseluruhan
material berasal dari sumber yang populer atau selalu, yang disebut sebagai
kesetiapharian) . Sehingga estetika juga terbentuk dari hal-hal yang
terjadi sehari-hari, dan menubuh. Dalam tataran ini komik terbentuk berdasarkan
fenomena sosial dan berlatarbelakangkan kehidupan sehari-hari. Terlebih pada
komik yang bersifat politik atau berada di surat kabar. Estetika tidak hanya
menggambarkan kebaikan, juga keburukan, serta tidak melulu kejadian yang diluar
akal (seperti suryalis), tetapi realis juga mempunyai estetika tersendiri. Gambar
pada komik tidak hanya digambarkan begitu saja, tetap ada satu gambar yang
dapat mewakili sebuah kejadian, dan dilengkapi dengan teks sebagai penjelas.
Kembali pada realitas, apakah
semua gambar pada komik dapat mewakili dan mempunyai estetika ketika sudah
terbenturkan dengan komoditas. Sebelum beranjak lebih jauh, adapun pengertian
komoditas itu sendiri menurut Appadurai (1986:4) adalah:
Economic exchange creates value. Value is embodies in
commodities that are exchanged. Focusing on the things are exchanged, rather
than simply on the forms or functions of exchange, make it possible to argue
that what creates the link between exchange and value is politics, construed
broadly. Commodities like persons, have social lives.
Pertukaran ekonomi menciptakan nilai. Nilai adalah diujudkan dalam
komoditas yang dipertukarkan. Fokus
pada hal-hal yang dipertukarkan,
bukan hanya pada bentuk
atau fungsi pertukaran, membuatnya mungkin untuk menyatakan bahwa
apa yang menciptakan hubungan antara
pertukaran dan nilai politik, ditafsirkan secara
luas. Komoditas seperti orang,
memiliki kehidupan sosial.
Seperti halnya yang
dikatakan Appadurai bahwa komoditas sama seperti manusia, dimana mempunyai
“kehidupan sosial”. Pada hal ini Appadurai menekankan tentang nilai pertukaran
pada komoditas, ada nilai yang terdapat pada pertukaran. Seperti halnya barter
di zaman sekarang, ketika membeli sesuatu dengan harga mahal, barang itu memang
mempunyai nilai yang mahal juga. Appadurai juga dalam bukunya mengangkat
pernyataan Marx bahwa adanya perputaran pada komoditas selalu berhubungan
dengan uang. Appadurai melihat adanya hal diluar uang yang terdapat pada
komoditas seperti halnya sosial arena pada sebuah hal.
Membicarakan komik dalam ranah komoditas, tidak dapat
dipungkiri dengan masifnya para komikus memproduksi komik. Bahkan lebih beragam
lagi, terdapat komik yang berasal dari barat (seperti Mickey Mouse, Donal
Bebek, Spiderman, Asterix, Tintin, dll), Jepang (seperti Doraemon, Naruto, One
Piece, Blitz, dll), dan gaya Indonesia (yang mengangkat banyak tema seperti
budaya, wayang dll). Dalam keberagamannya, diyakini tidak hanya proses produksi
tetapi ada proses komiditisasi yang terjadi, dimana komik dipertukarkan dengan
harga yang sesuai, dan didistribusikan ke konsumen, keberlangsungan sebuah
komik didasarkan pada konsumsi sebuah komik oleh konsumen. Dalam ranah ini
proses komoditisasi terus berputar seperti halnya sebuah circle dan menjadi gaya hidup.
Lalu, dari sinilah dapat direfleksikan kembali, estetika
macam apa yang terbentuk pada komik, terlebih jika terbalut komoditas dalam
produksi komik itu sendiri. Estetika juga terbentuk dalam nilai keseharian, dan
jikalau keseharian menjadi gaya dari komik itu sendiri. Terdapat
batasan-batasan atas estetika yang diacu oleh komoditas. Secara implisit dapat
dijelaskan bahwa dalam komoditas tetap terbentuk estetika yang diacu, tetapi
semua didasarkan kembali kepada filter produsen komik dan tingkat konsumsi para
konsumen. Komoditisasi memang selalu berhubungan dengan pasar, tetapi di dalam
ranah itu, terbentuk dasar-dasar estetika yang ada sebagai acuan. Walaupun kini
tidak dapat dipastikan bahwa banyak pengejawatahan atas nilai tersebut. Berhubungan
dengan keberadaan estetik dan komoditas itu sendiri, Feldman (1967:8)
menyatakan bahwa setiap periode memilki ciri khas sesuai dengan apa yang sedang
terjadi dan berlaku pada saat itu. Pengkategorian seni pada umunya berdasarkan
sifat dan kualitas, seperti bentuk dan unsur yang mengandung kesamaan tertentu
dan sekaligus juga memperlihatkan sifat kualitas yang berbeda. Komik mempunyai kriteria
atas itu, dan bahasa gambar dianggap sebagai sebuah artian yang lebih luas yang
menjadi refleksi kita semua. Senada dengan pernyataan tersebut, Enberg (1999:8)
menyatakan:
Art
is still, in my opinion, one of the most effective and meaningful measurements
of the pulse of life. By its own complecity and search for meaning among
metaphors it delivers to us a synthesis of thought and outcome that reflects
our sense of humanity as we contemplate the reasons of existence.
Art masih, menurut pendapat saya, salah
satu pengukuran yang paling efektif dan bermakna dari denyut
kehidupan. Dengan keterlibatan
sendiri dan mencari makna di antara metafora
ini memberikan kepada kita sebuah sintesis pemikiran dan hasil yang mencerminkan rasa kemanusiaan kita
sementara kita merenungkan alasan
keberadaan.
Sehingga
dapat diperjelas bahwa komik-merupakan jenis seni yang mempunyai
estetika-memenuhi unsur seni itu sendiri sebagai alat ukur dari refleksi
keseharian. Komik yang lebih banyak mengedepankan metafora dengan pilihan diksi
kata yang tepat sebagai penceriminan atas kehidupan manusia yang semakin
majemuk. Bahkan mengingat sifat komik yang semakin berkembang dan beragam,
salah satu contohnya adalah beberapa komik yang menggunakan media dalam melihat
sebuah permasalahan. Salah satunya adalah penggunaan komik dalam Koran.
Maraknya perkembangan komik disadari
oleh berbagai kalangan, hal tersebut dapat dilihat bahwa penggunaan komik yang
begitu masif sebagai media komunikasi. Penggunaan komik sebagai media
komunikasi sudah terjadi sejak lama, seperti halnya komik di Koran. Sifat komik
dalam Koran pun mengandung pesan-pesan khusus sebagai metafora atas
permasalahan sosial, politik, budaya, agama dan unsur lainnya. Koran merupakan
tempat terapan komik yang fungsional. Selain sebagai penggagas, tetapi juga
menjadi pemicu dalam memandang
fenomena-fenomena atas realitas yang ada. Dalam beberapa observasi yang
dilakukan oleh penulis kepada para pembaca komik di Koran, ada masyarakat
dengan tipe berita Koran sebagai yang utama, dan komik sebagai yang utama.
Salah satu contoh dari pecinta komik Koran bahkan membuat pameran karya atas
komik sukribo pada tahun 2014 ini. Komik dalam Koran dianggap sebagai
manifestasi cerdas dalam memetaforkan sebuah fenomena yang terjadi pada bangsa.
Salah satu contoh dari komik tersebut adalah:
(diakses
pada tanggal 12 Juni 2014 dari davefile.blogspot.com)
Dari gambar diatas bisa terlihat bagaimana komik tersebut
memetaforkan pemerintahan Presiden RI periode 2009-2014 dengan fenomena yang
ada. Tidak hanya diperkuat oleh gambar, tetapi juga diperkuat oleh tulisan.
Kekuataan komik atas gambar dan tulisan tetap menjadi garis utama dalam
penciptaan sebuah komik. Tetap ada yang diacu dalam pembuataanya, tidak
sembarangan dan bersifat metafora dari sebuah kejadian. Sebenarnya perkembangan
Koran di komik tidak terjadi hanya di satu surat kabar, beberapa surat kabar
bahkan membuat tokoh-tokoh tertentu yang digunakan menjadi icon dari surat
kabar tersebut. Tokoh komik yang kerap diposisikan sebagai kritikus atau karakter
lainnya menjadi lambang tersendiri pada komik tersebut, bahkan menjadi
identitas dari Koran tersebut. Kekuataan komik dengan metafora dengan pilihan
diksi kata dan penerangan atas gambar tertentu menjadi pemahaman baru dalam
melihat sebuah fenomena.
Daftar
Pustaka
Arswendo Atmowiloto, 1982. Komik
dan Kebudayaan Nasional, dalam Analisis Kebudayaan Nomer II, Januari, Jakarta.
Appadurai, Arjun. 1986. The
Social Life of Things: Commodities in Cultural Perspective. Cambridge:
Cambridge University Press.
Eagleton, Terry. 1990. The
Ideology of The Aesthetic. Cambridge: Basil Blackwell
Engberg, Juliana, 1999. Sign of Life : Cataloque
Melbourne International Biennale. City of Melbourne : Art of Victoria
Feldman, Edmund Burke. 1967. Art as Image and Idea. New
Jersey: Prentice Hall, Inc
Gustami,SP. 2007. Butir-Butir Mutiara Estetika Timur. Yogyakarta
: Prasista.
Kelly, Mary.1996. Imaging Desire. USA : Massachusetts
Institute of Technology.
Kapferer, Bruce dan Hobart,
Angela. 2005. Aesthetic In Performance. New York: Berghagn Books
Marcell Bonneff, 1998. Komik Indonesia. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Marshaal, Margaret R. 1982. An
Introduction to the World of Children’s Books. Great Britain: Gower Publishing
Company Limited
Merriam, Allan P. 1964 The Anthropology of Music.
Northwestern: University Press.
Perwita, Hapsari Arini."Komik Kurang
Terdokumentasi", Bernas, Sabtu 18 Januari 2003,
Setyawati, Nina."Komik Doeloe versus Komik
Sekarang", Kompas,Jumat 3 Desember 2004.
Soedarso. 2006. Trilogi Seni.
Yogyakarta: Badan Penerbit Institut Seni Indonesia Yogyakarta
[1] Margaret R. Marshall.
1982: 67. An Introduction to the World of Children’s Books. Great Britain:
Gower Publishing Company Limited
0 komentar