Kontestasi Kekuasaan dan Keteladanan Semu di Indonesia
00.40
Michael H.B. Raditya
Abstrak
Kepemimpinan di Indonesia merupakan
persoalan yang menarik untuk ditelaah. Jika bertolak dari tataran diakronis,
secara kronologis Indonesia telah mengalami pelbagai macam fase kepemimpinan
dan rezim.
Ihwal ini dapat menjadi stimulan positif jika masyarakat dapat
mengartikulasikan pengalaman bernegaranya dengan tepat. Kontestasi kekuasaan
pun tidak dapat terhindarkan, terlebih setiap pemimpin melakukan persaingan
dalam memperebutkan kekuasaan. Kontestasi ini tidak hanya merujuk pada tingkat
lokal, namun hingga tingkat nasional. Berbagai aspek pun turut menjadi faktor
utama dari kontestasi tersebut, seperti tipe kepemimpinan aristokrasi dan
demokrasi, hingga perbedaan gender pemimpinnya. Ihwal tersebut turut mengejewantahkan
bahwa keteladanan yang didasarkan atas beberapa kontekstual, bersifat pseudo, atau
semu. Dalam mengupas ihwal tersebut, telaah yang digunakan
merujuk pada pemahaman Barker akan agen, dan Gramsci akan hegemoni. Tidak hanya
itu, Kouzes dan Posner digunakan untuk menilik parameter keteladanan. Asumsi penulis,
keteladanan merupakan unsur yang tercipta untuk menghegomoni
agen di dalamnya. Bertolak dari mempertanyakan keteladanan, maka pembahasan
akan lebih mempertimbangkan aspek agen, hegemoni dan kuasa. Penulis menyadari bahwa tidak mungkin meneliti semua pola kepemimpinan yang
ada di Indonesia, maka rujukan contoh kepemimpinan didasarkan pada beberapa
contoh di era kolonial, orde lama, orde baru, dan pemerintahan kini. Penelitian
ini mencoba untuk mengupas persoalan keteladanan dalam kepemimpinan yang kerap
diunggulkan kepemimpinan yang ada di Indonesia.
Kata kunci: Kontestasi Kuasa,
Keteladanan, Hegemoni, Agent, Pemimpin
Abstract
Leadership
in Indonesia is an interesting issue to be discussed. If starting from the
diachronic things, chronologically of Indonesia has experienced various kinds
of phases of leadership and regime. These particulars are a positive stimulant
if the society realizes the experiences of their nation. Any contestation of
power cannot be avoided; especially every leader did competition for gaining power. This contestation does not only refer to the local
level, but to the national level. The type of leadership, such as: democracy and aristocracy; gender differences
leaders; etc, was stimulating as a main factor of contestation. This discussion realized the 'representative' is pseudo, or fake. In this article, i used
concept agent (Barker), hegemonic (Gramsci). Then, concept from Kouzes and
Posner used to discuss about leadership. I assume,
"representative" is elements that created to hegemonic every agent. The discussion will consider the
aspects of agents, hegemony and power. I recognized that leadership pattern in
Indonesia is too huge and impossible to research. The example of leadhership
based on, colonial era, orde lama, orde baru, and now. This article attempt to
explore the issue of leadership that often favored to discussed.
Keywords: Power Contestation, Representative, Hegemnoy, Agent,
Leadership.
PENDAHULUAN
Perihal tentang pemimpin merupakan
sebuah tema yang menarik untuk dibahas secara mendalam. Setiap lingkup yang
didasarkan pada pelbagai faktor seperti: teritori, sosial, agama, politik,
budaya, keamanan, yang terdiferensiasikan atas komunitas kecil dan besar, turut
membentuk mekanisme kepemimpinan. Dalam ihwal ini, pemimpin menjadi sosok yang sentral, yakni:
mengatur, mengorganisir, dan mempunyai kuasa dalam mengolah komunitasnya sesuai
dengan visi dan misi yang ditetapkan. Setiap komunitas dalam bingkai apa pun
membutuhkan pemimpin sebagai pengatur kuasa. Mengamini ihwal tersebut, Kartakusuma
(2006:5) menyatakan bahwa para pemimpin senantiasa muncul dan tetap dibutuhkan
oleh masyarakat di setiap tempat, waktu, serta dalam segala situasi dan
kondisi. Setiap pemimpin akan memimpin masyarakat dari komunitasnya masing-masing,
dan batas kepemimpinan dari sebuah komunitas adalah komunitas lainnya.
Keberadaan
antara satu komunitas dengan komunitas lainnya tidaklah pasif. Mereka saling
berkelindan, berhimpitan, hingga bersaing satu sama lain. Kekuasaan komunitas
tidaklah bersifat absolut atau tunggal, kekuasaan mereka adalah pseudo. Pseudo
di sini bermakna bahwa
kekuasaan pemimpin terbatas akan kepemimpinan lainnya. Ihwal ini dapat dilihat dari kontestasi partai
politik yang saling memperebutkan kekuasaan politik mereka di masyarakat, contoh: pemilihan umum Presiden 2014 yang lalu, di mana
kekuasaan setiap partai terbatas akan partai lainnya. Dalam ihwal ini Sangaji (2014:228) menjelaskan batas
politik Jokowi ada pada rivalnya, Prabowo. Alhasil sebuah komunitas sadar
atas keliyanan mereka, terlebih jika dikomparasikan. Keliyanan yang
dikonstruksi, baik secara individual dari pemimpin, maupun kolektif atas
partisipatoris anggota di dalamnya –contoh
paling dekat adalah pada era pemilihan presiden untuk Jokowi–,
menjadi daya pesona sebuah komunitas. Keliyanan dari komunitas turut membentuk
eksistensi sebuah komunitas semakin melonjak tinggi.
Selain ihwal tersebut, lazimnya
popularitas dari sebuah komunitas tidak hanya merujuk pada komunitas itu
sendiri, namun pada keberadaan pemimpin dari komunitas. Ihwal yang paling
kentara terkait pentingnya pemimpin adalah ketika pemilu presiden 2014 kemarin,
di mana setiap partai mencari nama beken untuk menjadi calon presiden mereka.
Seperti pada partai Partai Persatuan Pembangunan
(PPP)
yang turut mempromosikan penyanyi dangdut kenamaan Hj. Rhoma Irama, dan
pencalonan yang paling fenomenal, Jokowi oleh PDI Perjuangan. Menurut
pernyataan Jokowi sendiri, bahkan dirinya turut dipinang tiga partai, baik
sebagai calon presiden maupun wakil presiden.[1]
Ihwal ini menandakan bahwa sosok pemimpin turut diperlukan dalam sebuah
kontestasi kepemimpinan.
Jika seorang pemimpin terpilih,
keberhasilan sebuah komunitas turut dikaitkan pada otoritas pemimpin. Dalih “keteladanan”
kerap menjadi efek popularitas dari seorang pemimpin dalam mengatur
komunitasnya. Teladan diartikan sebagai implikasi positif yang kerap terjadi
ketika seorang pemimpin berhasil. Kecenderungan yang kerap kita temui adalah
keberhasilan acapkali dikaitkan dengan sebuah keteladanan, terlebih patut
dijadikan contoh untuk pemimpin selanjutnya. Namun apakah benar keteladanan
merupakan terma yang representatif dalam mengasosiasikan keberhasilan seorang pemimpin?
Hipotesa
yang terbangun adalah persoalan atas keteladanan dalam kepemimpinan inilah
yang acapkali kita temui. Secara praksis
masyarakat mendaulat seorang pemimpin mempunyai jiwa teladan yang perlu ditiru.
Pembahasannya pun kerap kali hanya mempersoalkan kepemimpinan yang berujung
pada sifat dasar dan psikologi pemimpin. Padahal, perihal kepemimpinan tidak
hanya dilihat sebagai wujud moral atau pembagian dari jenis sifat dasar manusia
semata, terdapat pemahaman yang lebih mendalam terkait kepemimpinan itu
sendiri. Sebagai pertimbangan, kenyataannya setiap geo-kultur mempunyai pola
pikir dan pemahaman tersendiri atas pengertian dan ihwal ideal dari kepemimpinan.
Alasan konkret dari persoalan
ini adalah negara merupakan komunitas besar yang mengakomodasi kepentingan
komunitas kecil (lokal), hingga komunitas terkecil (basis masyarakat). Tidak
dapat dipungkiri bahwa di bawah kepemimpinan negara terdapat
kepemimpinan-kepemimpinan yang lebih kecil dalam cakupan kelompok, baik
bersifat teritori ataupun kepentingan. Tidak berhenti sampai tataran tersebut, lalu
bagaimana kita mengklasifikasikan kepemimpinan lokal dengan basis mandiri? Apakah
kepemimpinan hanya diartikan secara harafiah? Bagaimana seorang pemimpin yang
melingkupi masyarakat dalam sebuah tradisi tertentu? Sudah barang tentu jika
pelbagai daerah memiliki pola dan mekanisme kepemimpinan yang bertolak dari
konstelasi sekitar. Bertolak dari ihwal
ini, kontekstual dari kekuasaan sebuah kelompok merujuk pada pola-pola
kehidupan, seperti kelompok agama, cendekia, sosial, politik, budaya, dan
pendidik. Kelompok tersebut mempunyai pola dan mekanismenya masing-masing.
Jika seperti itu, apakah
konstelasi yang beragam tidak dikategorikan sebagai faktor dalam kepemimpinan pada
saat itu? Memang jika kita mengurai kembali perihal kepemimpinanan dalam
diakronis waktu tertentu akan terlihat sangat paradoks. Acapkali kepemimpinan kerap menjadi akomodasi politik kekuasaan dalam sebuah
teritori. Terbetik dari ihwal di atas, penulis akan turut mengkomparasi
beberapa contoh yang
tujuannya menjadi pemantik dalam mencermati kepemimpinan baik secara lokal, maupun
lingkup yang lebih luas. Contoh terapan yang bertolak di Indonesia akan
memberikan pemahaman yang setidaknya sudah teralami dan ketahui baik secara
menyeluruh ataupun perbagian. Alhasil dari ihwal tersebut, logika yang ingin
ditawarkan adalah pemetaan atas kepemimpinan yang terdapat di sekitar kita.
Penelusuran yang akan penulis lakukan adalah wacana alternatif dalam melihat
posisi kepemimpinan, sekaligus mempertanyakan kepemimpinan.
METODE
PENELITIAN
Dalam mengurai kepemimpinan
lokal secara artikulatif, metode yang diterapkan dalam artikel ini adalah
kajian pustaka. Kajian pustaka dianggap tepat dalam membantu penulis
menganalisis konstelasi yang terjadi. Lazimnya kajian pustaka disertai dengan
data deskripsi yang rinci dan sistematis. Data ini dapat membantu penulis dalam
mengkonstruksi kembali tajuk penelitian. Elaborasi dari kajian pustaka dapat
membantu penulis dalam mempertajam data yang didapat. Data kajian pustaka yang
digunakan adalah data historis, baik yang bersifat deskriptif, maupun analitik.
Alhasil pemahaman berbeda dengan telaah mendalam menjadi tawaran pada artikel
dalam mencermati pola dan mekanisme kepemimpinan di Indonesia.
Pada artikel ini, tujuan dari
pembahasan adalah artikulasi dari pola-pola kepemimpinan yang ada. Pandangan
dari sub bab tersebut adalah artikel akan diarahkan pada beberapa contoh
terapan dari kepemimpinan yang dirangkum dalam satu sub bab. Setelah
menegetahui berbagai macam pola kepemimpinan yang ada, maka analisa selanjutnya
adalah mengurai pola dari berbagai macam kepemimpinan. Tidak berhenti sampai
pola kepemimpinan, penulis mencoba mengintepretasikan kepemimpinan dengan
konsep agen dari Barker, konsep hegemoni
pada negara dari Antonio Gramsci, dan Kouzes
dan Posner terkait praktik keteladanan. Telaah ini akan mengejewantahkan
bahwa keteladanan perlu disikapi dengan cermat, serta dikritisi secara cakap.
PEMBAHASAN
Jika pembahasan tentang
kepemimpinan mengarah pada pengertian secara harafiah dan typical dari kepemimpinan, sudah barang tentu pembahasan akan bersifat
sangat monoton. Oleh karena itu, penulis akan mengantarkan pada pembahasan atas
kepemimpinan dan polemiknya di Indonesia. Pembahasan dengan contoh terapan
merupakan wujud pengejewantahan atas pemahaman kepemimpinan yang holistik.
Beberapa
Kepemimpinan di Indonesia
Pembicaraan
mengenai kepemimpinan Indonesia sebenarnya persoalan yang sangat kompleks. Jika
merujuk pada tataran diakornis, Indonesia terbagi atas beberapa rangkaian
waktu. Rangkaian waktu yang paling nampak didasarkan pada sistem kepemimpinan
negara –atau disebut Pontoh sebagai rejim (2012:215)–, seperti: masa kolonial
Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, Demokrasi, dan sebagainya. Rangkaian
waktu yang lebih spesifik dapat didasarkan oleh pemimpin negara di kala itu.
Pengelempokan kepemimpinan berdasarkan kepala negara sebenarnya merupakan ihwal
yang cukup mudah untuk dilacak, alasannya setiap kepala negara mempunyai sistem
baru dalam pemerintahannya. Seperti pada zaman Soekarno dengan rejim
nasionalis-populisnya, lalu Suharto dengan rejim orde barunya, dan setelah Orba
tumbang muncul rejim electrical regime (Pontoh,
ibid).
Jika beranjak pada beberapa
dekade sebelumnya, persoalan kepemimpinan turut menjadi persoalan yang menarik
untuk dikaji. Sistematika persoalan pun berbeda dengan kini, walaupun jika
dibayangkan dalam tataran yang terwujud sebagai pola permainan beberapa agen
kuasa dalam memperebutkan teritori dan sumber daya, baik alam maupun manusia. Contoh perang suadara antar Kerajaan Jawa, hingga perang
antara masyarakat Indonesia melawan kolonial layaknya yang diungkapkan Charles
Brooke (2013:137). Bertolak dari ihwal tersebut, persoalan
kepemimpinan pada konstelasi yang berkembang beberapa saat lalu berbeda dengan
konstelasi yang terjadi kini. Jika dibedakan sebagai “homogen” dan “heterogen”,
ihwal ini mungkin dapat mewakili dalam melihat persoalan secara instan. Dapat
dibayangkan bersama jika zaman kolonial perebutan kepemimpinan diperebutkan
oleh masyarakat yang heterogen–didasarkan pada ras dan bangsa. Masyarakat lokal
bersaing dengan masyarakat barat. Berbeda
dengan sebelum masa kolonial dan kini yang diperebutkan oleh masyarakat
homogen–diartikan sebagai kesamaan jenis ras dan bangsa.
Walaupun
demikian perbedaan tersebut tidak menentukan kerumitan yang terjadi dalam
memperebutkan kekuasaan, bahkan lebih terasa rumit jika perebutan kekuasaan
dilakukan oleh sesama saudara (baca: masyarakat). Seperti ihwalnya pada perang
suci antara Aceh dan Batak pada tahun 1539 yang memperebutkan kekuasaan (Pinto,
2010:39). Dalam ihwal ini, Aceh dan Batak tidak mempunyai perbedaan ras yang
signifikan jika dikomparasikan dengan penjajah. Tidak hanya itu, gelagat perang
saudara pun turut terjadi di beberapa tempat, seperti perang Padri di Sumatera
Barat[2]
pada tahun 1821, perang antar suku di papua yang masih kerap terjadi hingga
kini, dan beberapa perang saudara lainnya.
Bertolak dari perang se-ras atau
saudara, berikut merupakan pemetaan kekuasaan dari sebelum masa kolonial hingga
kini. Pada dasarnya, era sebelum kolonial merupakan era kepemimpinan dari
kerajaan-kerajaan lokal yang didasarkan atas luas teritori kekuasaan. Merujuk
Hans Antlöv, ia menyatakan bahwa,
Jawa Tengah dan Timur
mendirikan kerajaan yang menyatu, sedangkan Jawa Barat tidak pernah mendirikan
satu kerajaan Sunda yang menyatu. Kerajaan Sunda terakhir Pajajaran, menguasai
Priangan pada abad ke 15 dan ke 17, hanya merupakan kerajaan simbolik di suatu
lingkup wilayah yang luas. Negara-negara vassal yang mengelilinginya merupakan
negara-negara otonom yang dipimpin oleh para bangsawan setempat sebagai
‘kepala-kepala wilayah yang mandiri’ dan para ‘panglima perang’ (Antlöv,
2002:26).
Telaah Antlöv pada
masyarakat pra-kolonial telah membentuk sistem komunal yang kuat. Sistem
komunal yang dipimpin oleh Raja membentuk sebuah kekuasaan otonom didasarkan
pada luas teritori yang menjadi konsensus antar kerajaan. Tidak hanya di Jawa,
beberapa teritori di tempat lain mengalami ihwal serupa. Seperti pada beberapa
tempat di Gayo di Sumatera[3], Jawa[4], Tolaki di Sulawesi[5] pun mempunyai pola kepemimpinan teritori yang serupa.
Setelah masuknya Belanda lewat jalur
perdagangan dengan VOC-nya, sistem kekuasaan sedikit demi sedikit turut
berubah. Perubahan pun tidak serta merta terjadi secara drastis, pihak VOC
mulai memasuki dengan perlahan. Antlöv (2002:27) menyatakan bahwa:
Pada tahun 1677 setelah
penaklukan Belanda, para bangsawan Sunda tetap memegang monopoli kekuasaan
mereka. Bahkan kekuasaan tersebut diperkuat oleh Belanda yang memerintah
Priangan melalui sistem pemerintah tidak langsung. Para penjajah ini memerintah
melalui para penguasa lokal (Bupati) yang memberi perintah lebih lanjut lewat
para bangsawan birokrat.
Dari telaah sejarah
yang dilakukan Antlöv, pihak kolonial memasuki kepemimpinan Indonesia secara
perlahan. Setelah para bangsawan semakin diuntungkan oleh pihak kolonial, lalu
mereka menyusun sebuah skema atas kolonialisasi yang lebih besar. Pihak
kolonial menyatakan kepada penduduk bahwa kepala desa dan bangsawan lokal
merupakan wakil pemerintah (Antlöv, 2002:30). Pada dasarnya Antlöv pun telah
menyadari bahwa ihwal tersebut merupakan wujud kekuasaan seseorang kepala
desa merupakan kekuasaan yang bergantung
terutama pada kekuasaan dari luar, dan pada ihwal ini adalah kekuasaan
kolonial. Pada era tersebut muncul sistem tanam paksa yang merugikan masyarakat
lokal, dan menguntungkan para kepala daerah yang ditunjuk, bangsawan, dan pihak
kolonial itu sendiri.
Tidak hanya di pulau Jawa,
konstelasi kolonial turut terjadi pada kepemimpinan masyarakat Minahasa, Godée
Molsbergen dalam Schouten (1998:44) menyatakan bahwa:
VOC
officials made several efforts to reorganize indigenous leadership. The
fragmentation of Minahasa into many political units, and the lengthy
deliberations that had to be held within each walak before any decision could
be taken, hindered the VOC in its communications. The Company thought it had
found a solution at the end of the seventeenth century when it placed the
leaders of a handful of walak above their colleagues in the other walak; these
more highly placed men were to act as representatives and spokesmen for the
whole of the Minahasan people, and were given the authority to settle legal
matters themselves, as long as they informed the Resident in advance.
Telaah Schouten menunjukan bahwa yang dilakukan
oleh pihak VOC kepada masyarakat Minahasa pun sangat politis. Mereka memberikan
sebuah sistem atas kepemimpinan pedalaman/tradisional (merujuk artian indigenous). Dari ihwal tersebut dapat
dipetakan bahwa kepemimpinan tradisional diatur oleh pihak kolonial. Schouten
pun turut menelaah pola yang terjadi pada konstelasi kolonial dan setelahnya.
Schouten (1998:271) dalam penelitian tentang masyarakat Minahasa-nya menyatakan
bahwa:
In
later generations district chiefs were further integrated into the colonial
administrative system. Their functioning, however, also showed paradoxes. While
assuming more and more of the features of bureaucrats, they still cherished
their hereditary privileges.
Kuasa kolonial yang membentuk sistem
administratif menjadi perangkat generatif yang sangat kuat dan berimplikasi
pada sistem masyarakat lokal.
Pada era selanjutnya,
kepemimpinan di era penjajahan Jepang tidak berubah banyak, bahkan lebih parah
dibanding kolonial Belanda. Jepang lebih berkonsentrasi pada penyusunan
kekuataan perang mereka. Alhasil pemerintahan Indonesia pada saat itu turut
porak poranda. Ihwal ini pun turut diperjelas oleh K’tut Tantri (2012:137), ia
menyatakan bahwa:
Jepang sudah sangat
dibenci di sini (Bali), jauh lebih dibenci daripada Belanda pada masa-masa
kekuasaan mereka. Mereka arogan dan sombong. Baik di Jawa maupun Bali mereka
telah
mengumpulkan ribuan orang Indonesia –laki-laki dan perempuan dari
kampung-kampung dan mengirim mereka sebagai budak pekerja bagi negara lain.
sejumlah besar telah pergi ke Malaya dan Burma. Dan ada pertanyaan mengenai
makanan. Di setiap tempat, Jepang menyita beras dan mengirimkannya untuk
menyokong pasukan mereka di penjuru Asia Tenggara. Penduduk Indonesia mulai
kelaparang. Lebih Jauh lagi, Jepang telah menutup semua hotel terbaik untuk orang
Indonesia, memperlakukan bahkan pejabat tinggi Indonesia seolah mereka rendah.
Gambaran dari Tantri pun turut menjelaskan
keadaan yang terjadi di kala itu. Secara etnografis Tantri telah mengemukakan
ihwal yang sebenarnya ketika itu, di mana Indonesia semakin menderita dalam
kolonial Jepang. Indonesia tidak mempunyai posisi tawar dalam keberadaannya.
Sekali lagi, masyarakat Indonesia menempati tingkatan stratifikasi yang paling
rendah.
Beranjak dari masa
kolonialisasi, kemerdekaan Republik Indonesia pun terjadi. Antlöv (2002:49)
turut berpendapat bahwa pada dekade ini desa sudah tersatukan sebagai lapis
administrasi terbawah negara Indonesia. Tugas utama mereka adalah menjalankan
urusan-urusan setempat. Menguasai teritori dan bermuara di pusat negara, ibukota.
Namun, tidak sejalannya pemikiran revolusi terhadap birokrasi Indonesia
menjadikan sistem kepemimpinan bergerak statis. Tidak terjadi perubahan yang
signifikan atas sistem pemerintahan. Pola-pola yang ditanamkan dari era
kolonial dalam mengontrol masyarakat dalam teritori terkecil turut digunakan. Walaupun
dalam ihwal ini Soekarno turut mengapropriasi konsep kolonial pada negara
buatannya, namun beberapa kepentingan (Pontoh, 2012:215) turut membuat
kepemimpinan Soekarno lengser.
Pada era selanjutnya merupakan
era Suharto dengan Orde Barunya. Barisan militer turut mengisi pos-pos
kekuasaan di lingkup masyarakat. Berbeda dengan Sukarno yang membawa ideologi
revolusi pada pemerintahan Orde Lama-nya, Suharto membawa ideologi pembangunan
pada pemerintahan Orde Baru-nya. Pontoh (2012), turut menyatakan bahwa Rejim
Orde Baru bergandeng mesra dengan negara, yang oleh Robinson, dikatakan,
‘negara Orba menjadi bagian integral dari perkembangan kapitalisme dan kelas
kapitalis Indonesia’. Tidak hanya pada kota, kapitalis turut mempengaruhi
secara menyeluruh. Perbedaan ini pun turut terlihat pada pola kepemimpinan
desa, Antlöv (2002:54) melihat gelagat orde lama tidak terlalu tertarik
menjadikan desa sebagai ajang mobilisasi politik. Sedangkan kabinet pertama
Suharto pada tahun 1967 disebut Kabinet Pembangunan.
Kabinet ini mempunyai banyak
program untuk pembangunan dalam masyarakat, walaupun agen-agen pemerintah
mengawasi penyaluran kredit dan input-input teknologi, distribusi sarana
produksi, dan harga barang (Antlöv,2002:55). Selain itu Antlöv (2002:57) juga
menyatakan bahwa pemerintahan orde baru mempunyai pola kuasa yang sangat besar
dan berpengaruh kepada masyarakat, ia menyatakan bahwa:
Pemerintah
Orde Baru secara efektif mampu melakukan monopoli terhadap semua jalur
kekuasaan tanpa mendapatkan perlawanan yang berarti. Kekuasaan yang mutlak pada
hampir segala dinas administratif bersama dengan hirarki kompleks satu sistem
pemerintahan serta pembatasan aktivitas partai politik, memberi pemerintahan
orde baru kekuasaan yang nyaris tidak terbatas untuk mengatur aktivitas
institusi maupun individu. Kerangka semacam ini memberi ruang yang amat sempit
bagi pengaruh kerakyatan terhadap kalangan birokrat dan program pembangunan.
Telaah di atas sangat menjelaskan bahwa kekuasaan
terendah masyarakat pun dikuasai oleh pemerintah pusat. Kekuasaan pimpinan
tradisional tidak mempunyai arti yang besar dibandingkan dengan kekuasaan
menyeluruh milik Suharto. Kekuasaan dan kepemimpinan yang mendarah daging pun
terlaksana dengan program-program yang wajib dilakukan. Program yang penuh
dengan dogma kuasa dari pemerintahan pusat. Kepemimpinan tradisional pun
diredup oleh kekuasaannya. Ihwal yang paling dapat dirasakan adalah banyaknya
oknum militer jawa yang menjadi kepada
daerah di sebuah daerah. Tentu ihwal ini sangat meredupkan kepemimpinan
tradisional, dan menguatkan pimpinan pusat.
Pemerintahan
Indonesia tidak berhenti di era Orde Baru, terdapat era demokrasi yang diusung
oleh para mahasiswa dalam menggulingkan kekuasaan Suharto di tahun 1998.
Terbentuknya era demokrasi nampaknya sedikit berubah dengan sistem
kepemimpinan. Pada saat itu rentetan tuntutan yang pada ahirnya membawa pelaku
politik dalam pertarungan sengit. Munculnya tuntutan yang pada satu sisi
berisikan jaminan bagi kebebasan kelompok dan individu sedang pada sisi lain,
menuntut pertanggung-jawaban kekuasaan sebelumnya telah memaksa penguasa
transisi untuk diharuskan memberi respon (Patria dan Arief,1999:vi). Dari
telaah barusan, bahwa suara terkekang semakin muncul ke permukaan, dan merunut
dua ihwal yang sebelumnya tidak didapat di era orba, kebebasan bersuara dan
pertanggung-jawaban atas masa lalu.
Selain itu ideologi yang
diinginkan masyarakat adalah otonomi, putra daerah pun mulai bermunculan walau
terasa sangat masif tanpa adanya filter yang ideal. Demokrasi memberikan
masyarakat bersuara, ihwal ini tidak terjadi pada era sebelumnya, era orde
baru. Era demokrasi pun berganti wajah kepemimpinan, namun nampaknya kita belum
benar mengetahui maksud demokrasi itu sendiri. Sistem pemerintah menjadi sangat
terbuka tanpa adanya kurasi yang baik. Walaupun demikian adapun ihwal yang
disukuri, beberapa putra daerah muncul secara serius dan mulai memimpin
daerahnya masing-masing. Seperti pada beberapa putra daerah yang menjabat gubernur,
Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, Basuki Tjahja Purnama, Ganjar Pranowo, dan
beberapa lainnya. Tidak hanya itu, bahkan belakangan ini pemimpin daerah yang
bersinar pun turut dipercaya memimpin negara.
Tidak dapat ditampik bahwa kita
akan selalu mencari formulasi ideal, seorang pemimpin terpusat layaknya Sukarno
dan Suharto, hingga pemimpin daerah yang menjadi pusat layaknya Joko Widodo,
semua dapat dinilai berdasarkan atas kontekstual dari konstelasi yang terjadi. Pada
dasarnya Joko Widodo merupakan wujud pengejewantahan atas pemimpin teritori yang
berhasil dalam melancarkan kekuasaannya dengan baik. Alhasil pemimpin teritori
yang lebih kecil dapat menstimulasi masyarakat yang lebih besar untuk
memintanya menjadi pemimpin dalam teritori yang lebih besar. Ihwal tersebut
memang sangat tidak asing dengan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo
merupakan contoh sukses dari bertolaknya kepemimpinan lokal ke kepemimpinan
nasional.
Kepemimpinan berbasis teritori
memang menjadi peluang yang paling koheren dalam memimpin teritori lainnya. Jika
kita telaah lebih dalam, ihwal tersebut merupakan wujud nyata dari kontestasi
kekuasaan antara pemimpin yang satu dengan yang lain. Kontestasi menjadi ihwal
yang lazim diterapkan dalam pelbagai pemililihan kepemimpinan.
Mengurai
Pola Kepemimpinan
Perbincangan pola kepemimpinan
tidak serta merta mengartikan segala bentuk kepemimpinan sebagai sesuatu yang
terpola dan tidak terurai. Nyatanya, kepemimpinan merupakan sebuah dialog yang
perlu diurai dan didialogkan, karena secara otomatis, pola kepemimpinan turut
membentuk atau terbentuk atas sistem dan mekanisme kepemimpinan. Pola tidak
diartikan sebagai sebuah tindakan yang mati, namun terus berjalan ketika
terdapat sistem dan mekanisme di dalamnya. Oleh karena itu, kepemimpinan tidak
dapat dimaknai sebagai kepemimpinan semata, namun terdapat alasan kontekstual
kepemimpinan menjadi “teladan”. Setidaknya terdapat pelbagai faktor dalam
mengurai pola kepemimpinan, tetapi penulis hanya merujuk pada beberapa pola
saja dalam mengejewantahkan keberagaman tersebut. Keberagaman pola yang diurai
akan mempelihatkan bahwa kepemimpinan sangat kontekstual dalam
keberlangsungannya.
Pola pertama yang terjadi dalam
kepemimpinan di Indonesia adalah pola yang terbentuk dari kontekstual kebudayaan
dan gender, yakni kepemimpinan berdasarkan keturunan. Jika ingin merunut lebih
jauh, kita akan berkaca dari terapannya, seperti: bagaimana memposisikan sistem
kepemimpinan yang dibedakan atas sistem keturunan seperti matrilineal,
patrilineal, bilineal, ambilineal, dan bilateral (Koentjaraningrat, 2007:149). Sistem
keturunan tersebut terbentuk berdasarkan konstelasi yang terjadi di tiap
teritori yang berbeda. Di Indonesia sendiri, dalam teritori kedaerahan, sistem
keturunan kepemimpinan yang kerap kita jumpai adalah patrilineal, sistem
keturunan yang didasarkan dari garis ayah. Namun, sistem keturunan yang
didasarkan garis keturunan ibu, matrilineal, pun turut berkembang di beberapa
teritori di Indonesia, salah satu contohnya adalah Minangkabau. Beberapa daerah
lainnya, terlebih mereka yang sudah menganut globalisasi dan kultur urban,
lebih mengarah pada bilineal. Ihwal lain yang terbetik dari sistem kepemimpinan
garis keturunan adalah, proses pematangan seorang pemimpin lokal (baca:daerah)
dalam memimpin kelompok yang didasarkan pada kriteria dengan konsensus yang
disepakati masyarakat. Di mana seorang pemimpin mempunyai garis keturunan, atau
paling tidak memiliki gender yang sama dengan pemimpin sebelumnya.
Salah satu terapan yang tidak
habis diperbincangkan adalah sistem aristokrasi kesultanan Yogyakarta. Kota
keraton ini bertalian dengan kedudukan raja dan para keturunannya
(Surjomihardjo, 2008:1). Seperti pergantian raja dari Hamengkubuana I hingga
10, bahkan terdapat kabar miring tentang dilantiknya Hamengkubuana yang ke-11
oleh Paguyubuan Trah Ki Ageng Giring[6].
Pergantian Hamengkubuana 1 hingga ke-10 didasarkan oleh sistem keturunan atau
darah dari penguasa sebelumnya. Ihwal ini cukup menarik untuk ditelusuri,
terlebih posisi aristokrasi di Yogyakarta diaplikasikan di sebuah negara merdeka
yang kini menganut sistem demokrasi. Walaupun sistem raja Yogyakarta dialihkan
menjadi sistem kekuasaan gubernur, sistem Hamengkubuana tetap berjalan hingga
kini –termasuk sistem aristokrasinya. Alhasil turut terbentuk sistem
stratifikasi sosial antara raja dan masyarakat. Stratifikasi ini memberikan
perbedaan yang signifikan dalam kekuasaan dan pengaruh di teritorialnya. Di
mana setiap masyarakat dalam teritori raja harus tunduk pada kekasaan dari
Hamengkubuana.
Masih pada pembahasan
kesultanan Yogyakarta, persoalan kepemimpinan tidak serta merta hanya
memperdebatkan tentang sistem keturunan, tetapi juga gender dari pemimpin
tersebut. Akhir-akhir ini, Yogyakarta dilanda pergolakan kekuasaan terkait
pergantian sultan yang mengarah pada anak perempuan Sultan HB ke-10. GKR
Mangkubumi diarahkan Sultan HB ke-10 untuk menggantikan dirinya sewaktu-waktu,
namun para adik sultan menolak dengan alasan jika anak sultan perempuan maka
penerusnya adalah adik laki-laki sultan.[7]
Ihwal ini turut mengundang pro dan kontra, baik dari kalangan keluarga, maupun
masyarakat umum. Beberapa kalangan menolak dengan dalih melanggar aturan dan
tradisi, beberapa kalangan pun membela dengan dalih emansipasi. Ihwal ini tentu
turut berkorelasi dengan kekuasaan yang didasarkan pada gender. Di mana
terdapat penolakan pengangkatan dari GKR Mangkubumi menjadi putri Mahkota[8]
yang nantinya akan menjadi pemimpin selanjutnya. Walaupun perkara sultan dan
putrinya sangat problematic, namun setidaknya ihwal ini turut memperlihatkan
bahwa masih sulitnya masyarakat menerima pemimpin yang didasarkan pada gender,
terlebih perempuan.
Melanjutkan ihwal di atas,
kepemimpinan yang didasarkan pada gender juga kerap menjadi problematika
tersendiri. Sebuah penelitian posisi perempuan dalam ruang legislatif dilakukan
oleh Siti Maryam, ia menjelaskan bahwa:
Pemisahan peran antara
laki-laki dan perempuan, secara individual disebabkan karena kedudukan seksnya.
Perempuan sebagai pelahir dan pengasuh anak, menempatkan kedudukan mereka
selalu menjadi urutan kedua setelah laki-laki (Maryam, 2003:164).
Dari telaah Siti Maryam dapat disimpulkan bahwa
ihwal tersebut sangat didasarkan pada kontekstual atas keberadaan patriarki.
Ihwal tersebut pun terjadi pada konstelasi yang terjadi kini, keberlangsungan
konstruksi gender-sentris dalam kehidupan. Memang tidak dapat dipungkiri jika
perkara gender masih menjadi persoalan dalam pemilihan kepemimpinan. Kesetaraan
gender terbentuk karena kekuasaan patriarkis yang kuat. Perempuan diposisikan sebagai
liyan, dan laki-laki sebagai laki-laki. Kekuasaan patriarki membentuk sebuah
posisi laki-laki lebih dominan dibandingkan perempuan. Kekuasaan patriarkis
turut membentuk sebuah dogma kultural akan posisi perempuan yang semakin
termarginalkan. Tidak heran jika muncul feminisme dalam beberapa dekade
belakangan.
Ihwal lainnya yang dapat
menjadi pemantik kita dalam mencermati kepemimpinan adalah bertolak dari
revolusi Perancis yang tertuang pada lukisan Liberty Leading The People karya Eugene Delacroix. Konstelasi yang
dituangkan pada lukisan tersebut bertolak dari perubahan pola kepemimpinan yang
berasal dari kaum aristocrat dengan sistem feodalisme sebagai pimpinan
tertinggi, menjadi masyarakat madani yang mengidamkan demokrasi sebagai paham
negara. Revolusi ini turut
membuahkan prinsip baru Perancis menjadi liberte,
egalite, fraternite (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Ihwal ini
turut membuat pemimpin-pemimpin lokal mulai dipercaya menjadi panutan negara
selanjutnya.
Pada
dasarnya, perbedaan sistem keturunan yang terbagi atas pelbagai pemahaman
mempunyai esensi yang kuat terhadap kontekstual masyarakatnya. Ihwal ini patut
dipikirkan lebih lanjut, karena perbedaan sistem kepemimpinan yang didasarkan
pada teritori, gender, kekuasaan kaum, dan sebagainya, terjadi tidak secara
praxis semata, terdapat ideologi yang dikonstruksi dalam mendukung kontekstual
dari kepemimpinan. Kontekstual turut membentuk kepemimpinan terus berlanjut dan
dianut. Terlebih di Indonesia yang memiliki sistem tradisi dan adat istiadat
yang masih kental. Dogma tetap mengikat pada konsepsi pikiran masyarakat.
Alhasil setiap kepemimpinan dalam pelbagai latar belakang tetap dianut oleh
masyarakat setempat. Namun apakah ihwal tersebut dapat secara mudah diartikan
sebagai wujud tunduk kepada adat. Adat mempunyai efek hegemoni yang kuat kepada
masyarakat adat di dalamnya.
Kepemimpinan: Agen dan Hegemoni
Pada bagian sebelumnya merupakan rangkaian
kepemimpinan yang didasarkan atas diakronik dan studi kasus pola kepemimpinan
yang ada. Perubahan pola kepemimpinan dari satu masa ke masa lain didasarkan
pada kontekstual yang terjadi di sekelilingnya. Beberapa terapan yang sudah
dikemukakan menjadi sebuah model dalam melihat pola kepemimpinan tradisional
dan kepemimpinan pusat. Sebenarnya, kepemimpinan baik dalam kategori
tradisional, daerah, ataupun pusat, merupakan agen kuasa atas agen lain yang
minim kuasa. Pada ihwal ini, tanpa tendensi berlebihan, agen yang minim kuasa
dapat disebut sebagai kaum marginal atau subordinant. Marginal
atau subordinant tidak meruijuk pada pemahaman yang teralineasikan, atau
orang-orang tersingkir. Penyebutan marginal dilakukan untuk menyebutkan para
agen yang tidak terlalu mempunyai kuasa, atau tunduk pada kuasa yang lebih
besar.
Penyebutan individu atau kelompok
menjadi agen dilakukan karena asosiasi yang sama. Agen memang kerap
dipergunakan dalam konteks kuasa dan negara, atau kerap digunakan dalam
perebutan sumber daya. Namun pada kali ini, agen yang dimaksud merujuk pada
konsep agen melalui pemahaman Barker. Agen menurut Barker (2000:182) adalah:
Konsep agency kerap berhubungan dengan gagasan
kebebasan, kehendak bebas, tindakan, kreativitas, orisinalitas, dan kemungkinan
perubahan melalui tindakan agen bebas. Pada ihwal ini, gagasan keagenan merupakan sesuatu
yang diciptakan secara sosial dan dimungkinkan oleh sumber sosial yang
terdistribusikan secara berbeda-beda sehingga melahirkan berbagai derajat
kemungkinan untuk bertindak dalam ruang tertentu.
Dari telaah Barker, agensi memang dikembalikan
pada artian harafiah sebagai individu atau kelompok yang mempunyai pola
tindakan yang orisinal. Kebebasan menjadi wacana utama dari seorang agen,
tetapi agen turut diciptakan secara sosial dan ditempatkan pada ruang yang
berbeda-beda. Perbedaan sumber atau
modal sosial inilah yang membedakan antara satu agen berbeda dengan agen
lainnya. Kebebasan atas agen yang berbeda ruang sosialnya pun turut berbeda.
Persoalan atas agen dalam
kepemimpinan sangat merujuk pada konsep kekuasaan. Dapat dikatakan bahwa seoran
agen yang notabene pemimpin merupakan seorang agen yang mempunyai kuasa dan
terlegitimasikan oleh agen-agen disekitarnya. Tidak berhenti pada ihwal tersebut,
agen yang terlegitimasi oleh agen lainnya akan memberikan kepatuhannya dalam
bentuk konsensus. Konsensus yang terbentuk tidak terbentuk begitu saja,
terdapat dogma yang turut mengatur seorang agen lainnya untuk patuh. Dogma yang
diciptakan pun beragam, dari dogma atas kekuasaan, atas kuasa artistokrat,
ningrat, dan sebagainya. Dari ihwal ini sangat terbukti bahwasanya kekuasaan
menjadi modal agen tertinggi dalam sebuah kelompok. Setiap kelompok mikro pun
tetap tunduk pada kekuasaan kelompok makro dan seterusnya. Kelompok makro pun
tunduk dengan kelompok yang lebih besar, baik di lingkup teritori seperti daerah
ataupun negara, maupun pola masyarakat rural ataupun urban, dan sebagainya
Pada
sebuah lingkup kelompok terbesar di era kekinian, negara merupakan kelompok
makro terbesar yang mempunyai kuasa tertinggi atas agen yang berada di
teritorinya. Pembicaraan atas negara dan kuasa secara spesifik dilakukan oleh
Antonio Gramsci. Gramsci (via Patria dan Arief, 1999:23) menyatakan bahwa:
Pada tingkat kesadaran individual, negara baru
dirasakan keberadaannya manakala ia berbenturan dengan kekuasaan. Bahwa ada
sebuah realitas kekuasaan di luar dirinya, yang berada pada atmosfir publik
namun ternyata cukup berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Dari optic
kekuasaan dan legitimasi dalam wacana politik, kenyataan itu kita sebut sebagai
realitas kekuasaan negara dalam masyarakat.
Telaah Gramsci
langsung merujuk pada kesadaran kekuasaan oleh agen atas kekuasaan pada
atmosfir publik dan berpegaruh pada realitas sehari-hari, baik disadari maupun
sebaliknya. Walaupun Gramsci bertolak dari analisa Marx, tetapi Gramsci mengisi
kekosongan pada telaah Marx, Gramsci secara jeli menitikberatkan pada hegemoni.
Pada ihwal ini kepemimpinan
membutuhkan hegemoni dalam mensahihkan sebuah kekuasaan. Negara secara jelas
membuat hegemoni untuk masyarakat. Hegemoni negara atau pemimpin membuat agen
di sekitarnya –di bawah atau sejajar– dapat patuh kepada kuasa dari pemimpin. Tidak
hanya pada lingkup yang paling makro, pada lingkup mikro pun hegemoni menjadi
perangkat generatif masyarakat yang paling kerap digunakan. Lantas jika ternyata
semua perkara hegemoni dan kuasa, masih adakah keteladanan dari seorang
pemimpin? Pada ihwal ini terma “kepemimpinan” dapat disamakan dengan hegemoni
yang mempengaruhi agen yang dimarginalkan, sehingga teladan itu dapat dikatakan
sebagai terma penuh doxa dan hegemoni. Ihwal ini merupakan sebuah kritik untuk
terma “keteladanan” dari seorang tokoh atau pemimpin. Oleh karena itu, sangat
memungkinkan jika agen yang tersubordinasi menganggap hegemoni dari agen
lainnya sebagai wujud keteladanan dari kepemimpinan.
Secara lebih jelas, Gramsci pun
turut menelaah Hegemoni secara spesifik. Menurut Gramsci (via Patria dan Arief,
1999:32), hegemoni diartikan sebagai:
Pada pengertian tentang situasi sosial-politik, dalam
terminologinya disebut momen dimana filsafat dan praktek sosial masyarakat
menyatu dalam keadaan seimbang: dominasi merupakan konsep dari realitas yang
menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perorangan.
Hegemoni dapat
merujuk pada praktek dominasi antara satu agen dengan agen lainnya. Dominasi
pemimpin memang tidak dapat ditampik jika melihat perkembangan dari
kepemimpinan secara umum. Lebih rinci, Gramsci (via Patria dan Arief, 1999:116)
menyatakan bahwa hegemoni menunjukan sebuah kepemimpinan dari suatu negara
tertentu yang bukan hanya sebuah negara kota terhadap negara-negara lain yang
berhubungan secara longgar maupun secara ketat terintegrasi dalam negara
“pemimpin”. Telaah Gramsci merupakan sebuah formulasi kekuasaan dalam lingkup
besar yang dinaungi oleh hegemoni. Memang secara nyata setiap penguasa
membutuhkan dominasi atas agen di bawahnya.
Jika
ditarik pada terapan yang terwujud, ihwal ini merujuk pada kepemimpinan di
Indonesia sejak era sebelum kolonialisasi hingga kini, baik dalam tataran
masyarakat mikro maupun makro. Seperti pada masyarakat kerajaan di seluruh
Indonesia saling membagi teritori antar kerajaan. Setiap kerajaan mempunyai
agen penguasa dan agen rakyat jelata. Rakyat menjadi agen yang terhegemoni atas
kekuasaan raja. Tidak berhenti pada era kerajaan, ketika kolonialisasi masuk ke
Indonesia merupakan wujud hegemoni yang lebih besar. Penyatuan beberapa
teritori di bawah bayang-bayang penjajah pun dilakukan. Hegemoni yang dilakukan
pihak kolonial pun sangat politis, dimulai dari mendekati penguasa setempat, hingga
menjadi penguasa utama.
Setelah
masa kolonialisasi, perasaan dan solidaritas yang terbayang layaknya konsep Ben
Anderson dengan Imagined Communitiesnya (2008) terjalin. Ketejalinan ini
membentuk perasaan perlawanan bersama yang dipimpin agen lokal dengan kuasa
yang besar, Sukarno. Tidak hanya pada era orde lama, era-era setelahnya pun
mengikuti pola yang sama atas kekuasaan. Bahkan di era orde baru, hegemoni dan
kuasa semakin kuat tertuju pada penguasa tertinggi, yakni Suharto. Hegemoni
terbesar yang dibalut dengan kekerasan pun dibentuk. Memang jika dipandang dari
sudut pandang kekuasaan, hegemoni dan kekerasan turut membentuk kekuasaan yang
besar. Agen di orde baru mungkin mengalami marginalisasi yang sama kuatnya
dengan kolonialisasi. Agen terendah ditentukan pola kehidupan seperti,
produksi, distribusi, konsumsi, dan the
way of life mereka.
Tidak
hanya pada konstelasi yang baku layaknya tataran diakronis Indonesia, hegemoni
turut terjadi pada segala pola kepemimpinan. Baik secara turun-temurun, gender,
ataupun perubahan kaum. Pola kebudayaan yang merujuk pada laku kepemimpinan
yang didasarkan pada patrilineal, matrilineal, dan sebagainya, merupakan wujud
dogmatik dari sebuah hegemoni. Namun hegemoni turut dielaborasi dengan alasan
kultural setempat dalam mengkonstruksi kekuasaan. Wujud seterusnya adalah pada
pemilihan pemimpin yang didasarkan pada gender, di mana efek hegemonik pada
pola pikir masyarakat turut menciptakan jurang pemisah bagi para perempuan yang
bercita-cita menjadi pemimpin. Ihwal ini turut terjadi pada R.A. Kartini. R.A.
Kartini merupakan wujud sukses dari emansipasi gender dalam mengakses dunia
yang lebih luas. Namun ada ihwal lain yang membentuk dirinya dapat
berkontestasi dengan dogma yang ada, sistem keturunan dan modal (Pane, 1945:2).
Jika diamati secara mendalam, perkara kekuasaan merupakan wujud kontestasi dari
kuasa seorang agen dengan agen lainnya. Ketika seorang agen mempunyai
aksesibilitas pada ihwal yang lebih kuat, maka seorang agen dapat berkuasa dan
mengembangkan hegemoni pada agen lainnya.
Dalam ihwal ini Taylor membuktikan kontestasi kekuasaan pada masyarakat pabrik,
di mana terdapat pemilik pabrik yang notabene pemegang kuasa menghegemoni para
pekerja (dalam Patria dan Arief,
1999:130).
Kendati demikian, hegemoni penguasa
pun dapat tidak terjalin ketika tindakan tidak populer kelas penguasa (melalui
Negara), atau meningkatnya aktivisme politik oleh massa yang sebelumnya pasif
(Patria dan Arief, 1999:168). Contoh dari ihwal ini adalah ketika revolusi
Perancis, di mana perubahan kepemimpinan dari kaum aristokrat
menjadi demokrat. Selain itu, Indonesia pun pernah mengalami ihwal
serupa, yakni pada era keruntuhan kekuasaan politik Suharto pada Mei 1998. Atas
ihwal ini Gramsci menyatakan bahwa disposisi ini sebagai krisis hegemoni.
Krisis hegemoni akan membuka peluang bagi pemimpin lokal untuk bangkit dan
menunjukan hegemoni baru. Hegemoni baru akan bertarung dalam trayektori (baca:
jalur) dengan hegemoni penguasa lama. Ruang pertarungan hegemoni ini akan
membagi masyarakat dalam perbedaan ideologi dan kelas. Ihwal ini terjadi pada
tahun 1998, dimana kerajaan Suharto runtuh dan kehilangan hegemoni
“terwujud”nya. Walaupun hegemoni nirwujudnya acapkali tidak dapat dilepaskan
setelahnya, tetapi hegemoni baru mulai bermunculan. Kontestasi agen-agen lokal
dalam memperebutkan kuasa pun selalu dan terus terjadi.
Lantas atas apa yang bisa dilakukan? Jika merujuk pola
pikir Foucault atas kekuasaan yang membuat perubahan paradigm berpikir dari
“siapa yang memiliki kekuasaan” menjadi “proses-proses yang membentuk subjek
sebagai hasil pengaruh kekuasaan” (Sarup, 2011:112), yang bisa kita pikirkan
adalah meletakan keteladanan pimpinan sebagai hegemoni sekaligus prasyarat atas
kepemimpinan seperti yang dirujuk oleh Kouzes dan Posner. Dalam konteks
keteladanan pemimpin, Kouzes dan Posner (2007) menyatakan ada lima praktik
keteladanan, yaitu mencontohkan cara (Model the Way), menginspirasi
visi bersama (Inspire a Shared Vision), menantang proses (Challenge
the Process), memampukan orang lain untuk bertindak (Enable
Others to Act), dan menyemangati jiwa (Encourage the Heart).
Telaah Kouzes dan Posner nyatanya merujuk pada terma
keteladanan yang diacu dan dianut oleh agen lainnya.
Keteladanan
merujuk pada sosok percontohan yang inspiratif. Alhasil, jika ihwal tersebut
dipantulkan dari kepemimpinan yang ada di Indonesia, setidaknya beberapa model
keteladanan sudah terbentuk pada mekanisme pola kepemimpinan yang dimiliki oleh
bapak Proklamator Indonesia, Soekarno. Soekarno dalam kepemimpinannya telah
menginspirasi visi bersama, terutama lewat pidato dogmatiknya. Soekarno pun
turut menantang proses pembentukan Indonesia dengan visi revolusi. Lewat pidato
dogmatik dan laku karismatik ia mampu menstimulasi semangat jiwa masyarakat,
dan menginspirasi khalayak untuk bergerak bersama. Laku tersebut terpantul dari
kepemimpinan agen yang memiliki kuasa yang cukup besar. Prasyarat keteladanan kepemimpinan di atas merupakan
wahana dalam menjalin hegemoni yang cukup kuat. Secara eksplisit, telaah ideal Kouzes dan Posner akan
keteladanan tidak dapat diterapkan di Indonesia secara sempurna. Namun tidak
dapat secara praktis jika kita mengatakan tidak ada keteladanan kepemimpinan di
Indonesia, karena nyatanya keteladanan tidak hanya tercipta dari sikap, namun
kontekstual setempat, seperti politik, budaya, atau sosial.
Lantas apakah kelima model praktik
keteladanan yang dikemukakan Kouzes dan Posner menjadi model harafiah di
Indonesia ? Sayangnya, telaah Kouzes dan Posner hanya menjadi artian
keteladanan yang harafiah. Untuk mencapai kelima artian tersebut bagi seorang
pemimpin mempunyai liku-liku laku yang rumit. Tidak semua pemimpin berhasil
melaksanakan kelima poin penting syarat keteladanan dari kepemimpinan. Terlebih
dalam pembahasan sebelumnya, semua ihwal didasarkan pada tindakan hegemoni
seorang agen kuasa.
Ihwal lainnya yang kerap terjadi
pada keteladanan dari kepemimpinan adalah, lazimnya keteladanan seorang
pemimpin tidak terbentuk secara alamiah. Sekelompok orang yang menjadi
pengikutnyalah yang mengusahakan seorang pemimpin dianggap sebagai teladan.
Salah satu contoh nyata adalah ketika pemilu presiden 2014, di mana Prabowo
Subianto –salah satu kandidat presiden– memberikan ide untuk menjadikan Suharto
sebagai pahlawan nasional.[9]
Kendati secara spontan ditolak oleh berbagai kalangan, dan tidak terealisasi.
Namun ihwal ini merupakan upaya dari beberapa pihak untuk menjadikan seorang
pemimpin menjadi teladan, walau berkebalikan dengan kenyataan sebenarnya.
Pemimpin yang teladan memang menjadi
cita-cita bersama setiap masyarakat. Mendamba seorang pemimpin yang teladan dan
berjiwa besar merupakan impian dari setiap warga. Namun keteladanan
kepemimpinan pada pemimpin Indonesia masih mengalami kesulitan karena berbagai
alasan kontekstual, dan ihwal tersebut turut terbentuk di setiap tataran
diakronis pemimpin Indonesia. Beberapa contoh
yang digunakan seperti pada pembagian
kekuasaan berdasarkan rezim, dan mengurai pola kepemimpinan yang didasarkan
pada beberapa perihal kontekstual, telah mengejewantahkan bahwasanya keteladanan
bersifat pseudo, atau semu.
PENUTUP
Persoalan
atas kepemimpinan dan keteladanan memang perlu dibahas secara mendalam. Sejatinya
keteladanan bukan hanya wacana ideal dari seorang pemimpin, dan perlu diurai
secara jeli di tiap kepemimpinan dari seorang pemimpin. Dapat diibaratkan bahwa
perosalan kepemimpinan merupakan pembicaraan yang fragile nan sensitif. Lazimnya kekuasaan seorang pemimpin tidak
memberikan ruang yang pantas untuk ditelaah secara mendalam. Alhasil dari
telaah dalam artikel ini dapat dilihat bahwa di dalam rezim yang terjadi di
Indonesia, keteladanan merupakan sebuah terma utopis semata. Keteladanan tidak
bersifat generik, keteladanan didasarkan pada kontekstual.
Tidak
hanya itu, mengurai kepemimpian dalam pelbagai aspek menunjukan adanya
kontestasi kekuasaan yang minim keteladanan. Kontestasi pun turut terjadi antar
pemimpin yang berkuasa. Kekuasaan yang terbesar menjadi pemimpin yang lebih
besar, dan seterusnya. Beberapa aspek seperti keturunan dan gender menjadi
contoh dari pola kontestasi kepemimpinan. Terlebih kepemimpinan merupakan
wacana kekuasaan dan dominasi atas kelompok serta individu. Kekuasaan pun sarat
akan hegemoni dan dogma. Tanpa hegemoni, penguasaan akan agen akan terasa
sulit. Merujuk pada konsep
keteladanan (ideal), idealistik dari kepemimpinan pun terasa nisbi. Keteladanan
menjadi wahana hegemoni atas sebuah wacana kuasa yang lebih besar.
Keteladanan
hanya merujuk pada implikasi kronologis dari seorang pemimpin, ihwal itupun
terealisasi ketika ada beberapa kalangan yang meneguhkan tersebut. Alhasil
keteladanan lebih kerap bersifat rekayasa, atau berusaha dikorelasikan. Keteladanan
adalah nilai, dan nilai-nilai positif dari pemimpin menjadi perbendaharaan atas
sikap yang mendukung seorang pemimpin dikatakan teladan. Ya, ihwal ini memang dapat dikatakan sebagai hegemoni
dan perebutan kuasa, tapi ihwal ini pun jangan terlalu cepat dianggap negatif,
karena penelaahan ini merupakan wujud dari kontestasi kuasa para pemimpin. Beberapa
contoh terapan atas konstelasi yang terjadi di beberapa daerah memberikan
gambaran bahwa kekuasaan dan kepemimpinan bersifat semu, terlebih keteladanan.
Keteladanan bukanlah terma tegas untuk seorang pemimpin, karena terma tersebut
bersifat pseudo, bahkan diferensial –bisa dinegosiasikan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,
Benedict. 2008. Imagined Communities.
Yogyakarta: Insist Press.
Antlöv,
Hans. 2002. Negara Dalam Desa.
Yogyakarta: LAPPERA Pustaka Utama.
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Theory and Practice.
London: SAGE Publications.
Brooke,
Robert. 2013. “Ekspedisi Melawan Dayak Laut (Iban) yang Gemar Berperang di
Saribas”, dalam Kalimantan Tempo Doeloe,
oleh Victor T King. Depok: Komunitas Bambu.
Kartakusumah, Berliana. 2006. Pemimpin
Adiluhung: Genealogi Kepemimpinan Kontemporer. Jakarta: Mizan Publika.
Kartini, R.A. 1945. Habis
Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat,
2007. Sejarah Teori Antropologi II.
Jakarta: UI-Press.
______________.
1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai
Pustaka.
Kouzes, J.M. dan B.Z. Posner.
2007. The Leadership Challenge.
San Francisco: John Wiley & Sons Inc.
Maryam,
Siti. 2003. “Perempuan dalam Politik di Sulawesi Selatan”. Dalam Budi Susanto, Politik & Postkolonialitas di Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius.
Melalatoa,
M.J. 1982. Kebudayaan Gayo. Jakarta:
Balai Pustaka.
Patria,
Nezar dan Andi Arief. 1999. Antonio
Gramsci, Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pinto,
Fernao Mendes. 2010. “Perang Suci Aceh Melawan Batak, 1539”, pada Sumatera Tempo Doeloe, Anthony Reid
(ed). Jakarta: Komunitas Bambu.
Pontoh,
Coen Husain. 2012. “Negara Bukanlah Kita”, dalam Merayakan Perbedaan. IndoProgress
edisi II Januari 2012. Yogyakarta: Resist Book.
Sangaji, Anto. 2014. “Kapitalisme sebagai Problem Pokok:
Menimbang Nasionalisme Sumber Daya Alam dan Korupsi di Pertambangan”, dalam Membedah Tantangan Jokowi JK. Tanggerang
Selatan: Marjin Kiri.
Sarup,
Madan. 2011. Poststukturalisme dan
Posmodernisme. Yogyakarta: Jalasutra.
Schouten,
M.J.C. 1998. Leadership and Social
Mobility in a Southeast Asian Society. Leiden: KITLV Press.
Surjomihardjo,
Abdurrachman. 2008. Kota Yogyakarta Tempo
Doeloe. Jakarta: Komunitas Bambu.
Tantri,
K’Tut. 2012. “Bali Zaman Jepang”, dalam Bali
Tempo Doeloe oleh Adrian Vickers. Jakarta: Komunitas Bambu.
Tarimana,
Abdurrauf. 1993. Kebudayaan Tolaki.
Jakarta: Balai Pustaka.
Webtografi
[3] M.J. Melalatoa
menyatakan bahwa pada era hindu, Gayo pun membentuk kekuasaan kerajaan hindu,
salah satu kerajaan bernama Kerajaan Serule. M.J. Melalatoa, M.J. Kebudayaan Gayo. (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hlm. 40.
[4] Jawa, tidak dapat dipungkiri bahwasanya
kerajaan di Jawa tersebar di setiap sudut teritori pulau Jawa. Koentjaraningrat
pun menyatakan bahwa konsep raja sebagai penjelmaan dewa memungkinkan bahwa
seorang raja dalam suatu kerajaan kuno dapat memantapkan pemerintahan
kerajaannya atas dasar keyakinan keagamaan rakyatnya. Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. (Jakarta: Balai
Pustaka, 1984), hlm. 41.
[5] Sulawesi, khususnya pada teritori
Tolaki. Abdurrauf Tarimana menyatakan bahwa terdapat kerajaan Tolaki dan
beberapa kerajaan kecil lainnya. Abdurrauf Tarimana. Kebudayaan Tolaki. (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 54.
0 komentar