Mode[a]rn: Pemanfaatan Teknologi dalam Pertunjukan Musik
00.37
Michael H.B. Raditya
Ketika kini
banyak orang menyalahkan akan peran teknologi karena beragam implikasi yang
muncul di masyarakat, maka hal tersebut tidak berlaku untuk seorang Jay
Afrisando. Komposer yang kerap dipanggil Jay ini malah memaksimalkan pelbagai
macam teknologi pada delapan (hari-1) dan sembilan (hari-2) repertoar yang dipertunjukan.
Dari penggunaan aplikasi Skype hingga
Twitter, dari alat perekam digital
hingga angklung, dan dari pemainan improvisasi hingga pertunjukan partisipasi,
menjadi pesona tersendiri dalam pertunjukan bertajuk Mode[a]rn, pada (25-26/4) di Auditorium IFI-LIP, Yogyakarta.
Pada malam
itu, pertunjukan terasa sangat beragam, ada beberapa repertoar yang menggunakan
teknologi aplikasi, teknologi media yang kini digandrungi semacam Skype dan Twitter, dan beberapa repertoar yang menggunakan teknologi perekam.
Pada dua repertoar awal, Jay menghadirkan pertunjukan musik berbasis internet,
yakni penggunaan Skype. Dimulai
dengan pertunjukan kolaborasi dari pemusik lintas negara, TIGAtrio, yang
terdiri dari Ng Chor Guan (Malaysia) pada theremin dan elektronik, Daniel de
Mendoza (Colombia) pada double bass, dan Jay Afrisando (Indonesia) pada alat
musik tiup, dapat terhubung dan menjalin sebuah sajian kolaborasi yang menarik.
Kendati kolaborasi karya tiga musisi ini hanya dipertunjukan sebagai pembuka
pertunjukan, namun kolaborasi lintas negara ini telah memukau penonton atas ide
kreatif akan pertunjukan musik yang ingin disampaikan oleh Jay selaku
konseptor.
Pada
repertoar selanjutnya menghadirkan formasi lengkap dari band Jay & Gatra
Wardaya, a.l: Jay, Okvan, Made, Bawien, dan Lani. Salah seorang personel yang
juga adalah penyanyi sekaligus pianis dengan nama panggung: Frau, Lani, yang
sedang meneruskan studinya di Jerman, turut tampil dengan pemanfaatan teknologi.
Malam itu Jay & Gatra Wardaya dapat tampil dengan formasi lengkap. Tampil
dengan repertoar yang berjudul “Melipat Jarak, Memelihara Dekat”, penonton
disuguhkan pertunjukan interaktif. Alih-alih audiens hanya menjadi penonton pasif,
pada repertoar ini penonton dapat berinteraksi langsung dengan pemusik,
seperti: ikut bernyanyi, bersenandung, bahkan bertepuk tangan di pelbagai
bagian dalam lagu.
Selanjutnya
pada repertoar ketiga, salah satu puisi dari penulis juga sutradara, Gunawan
Maryanto, dilafalkan dengan nada. Dengan terma-terma puitis, terjalin menjadi
sebuah teks dengan arti mendalam. Jay & Gatra Wardaya lantas merespon puisi
tersebut tidak hanya menjadi kata berbaris, namun menjadi syair lagu yang enak
didengar. Dilanjutkan dengan repertoar berikutnya, “Tumpuk-Undung”, Jay
mengajak beberapa penonton untuk menciptakan suara dan merekamnya. Hingga sekitar
sepuluh orang penonton menciptakan suara yang berbeda-beda, lalu Jay
menggabungkan semua suara menjadi satu kesatuan. Setelahnya, Jay dan band
merespon gabungan suara tersebut menjadi sebuah alunan yang mengasyikan. Kesan
responsif menjadi sangat kental.
Pada dua
pertunjukan berikutnya, Jay tidak hanya menyuguhkan sajian berbalut teknologi
nan modern, namun turut mempertunjukan etnisitas dan lokalitas. Berjudul “Serat
Kalatidha”, teks dari Ronggo Warsito direspon dengan pelbagai nada dan instrumen
Barat. Menghadirkan sebuah interpretasi yang berbeda dari sebelumnya, sebagai
sebuah serat. Setelah itu, pada repertoar “Angklung 3D”, para penonton diacak
menyebar menempati posisi di setiap sisi dengan memegang angklung pelbagai
nada. Dengan sistem kerja responsif, seorang instruktur berdiri di tengah
menggunakan sebuah senter sebagai tanda untuk membunyikan salah satu nada
tertunjuk. Penonton menjadi partisipan aktif dalam menciptakan suara, layaknya
bermain nada.
Repertoar berikutnya,
Jay mengajak kembali penonton pada penggunaan teknologi. Pada repertoar yang
berjudul “Apa kamu Ingat yang Terlupa?”, Jay mengajak tiga penonton untuk
menggunakan aplikasi yang telah dirancang oleh seorang programmer, Banu Antoro.
Sebuah aplikasi dengan fitur akan suara-suara yang bernuansakan malam hari,
seperti: suara jangkrik, suara kodok, dan sebagainya, dapat ditekan sesuka
hati. Repertoar berikutnya, Jay dan Gatra merespon suara-suara tersebut. Masih
dalam lingkup pemanfaatan teknologi, pada repertoar berikutnya, “Twitsick”,
para penonton diminta untuk memperbarui status dengan menuliskan apa saja di
laman twitter-nya. Setelah itu, Jay
dan band menyeleksi status penonton secara random, dan melagukan beberapa
status yang ada dengan metode improvisasi. Pada repertoar terakhir “Mode[a]rn
2”, penonton disuguhi sebuah repertoar layaknya medley dari genre dan
kecenderungan musik yang digemari penonton. Tampil prima, pertunjukan musik
karya Jay Afrisando yang didukung oleh Hibah Seni Kelola ini, agaknya dapat
dikatakan berhasil dalam memberikan pengalaman musikal baru.
Keterlibatan Penonton
Setelah
pertunjukan Retetet Ndona-Ndona di awal tahun, Jay kembali memberikan
pertunjukan yang menarik dengan basis partisipatif. Pada pertunjukan Mode[a]rn
ini, Jay turut memanfaatkan penggunaan teknologi dengan cermat. Dibuat sebagai counter akan ke’blinger’an masyarakat
akan modernitas dengan pelbagai penggunaan teknologi yang kerap menenggelamkan
pada penggunaan yang tidak terkontrol, Jay ingin menyampaikan pesan bahwa
manusia seharusnya mendapatkan sesuatu dan belajar dari kehidupan modern ini,
serta bukan hanya menjadi konsumen, atau bahkan menjadi korban atas kemajuan
teknologi. Berdasarkan semangat tersebutlah, Jay merancang pertunjukan musik berbasis
teknologi.
Hal penting
lainnya dalam pertunjukan Jay adalah unsur keterlibatan dari penonton. Lazimnya
pertunjukan Indonesia kebanyakan memposisikan penonton terpisah dari penampil,
sehingga pertunjukan diciptakan satu arah, diproduksi penampil dan dikonsumsi
oleh penonton. Pada pertunjukan Jay, hal tersebut berlaku sebaliknya, di mana keterlibatan
penonton menjadi yang utama. Penonton dapat merespon secara langsung dan
terlibat pada repertoar yang dimainkan, dan penampil merespon segala sesuatunya
dengan improvisasi musikal.
Senada dengan hal tersebut, agaknya
pendapat Martin Suryajaya yang menyatakan bahwa seniman tak lagi dipandang
sebagai ‘pencipta’, tetapi sebagai organisator yang berkerja di tengah
masyarakat, dapat dianalogikan dalam pertunjukan Mode[a]rn ini. Dalam hal ini,
penonton tidak lagi mengkonsumsi atas apa yang ditampilkan, namun penonton dan
penampil mencipta pertunjukan secara bersama. Jay mengajak penonton untuk
menciptakan pengalaman secara kolektif, mengorganisir penonton untuk terlibat
aktif. Karena dengan keterlibatan penonton di dalam sebuah pertunjukan akan
memunculkan rasa dan kesan estetis yang berbeda, dari kesan estetis presentasi
menjadi partisipasi. Estetika Partisipatoris.[]
Foto: Terry
Perdanawati
0 komentar