Wayang Hip-Hop Hibriditas Sebagai Media Konstruksi Masyarakat Urban

00.57


Michael HB Raditya

Abstract
Nowadays, Modernity joined into every culture in life. Many peoples leave traditional cultures because they believed traditional cultrures wasn’t work anymore. Modern Culture that has instant and more advanced are preferred. Become on several aspects, such as art itself. Some art performance was left, but the fact the art itself has intrinsic value in of existance. This article will disscus about the problems of existance traditional art and try to find the solution. “Wayang Hip Hop” is a new solution in art perspective. Cultured hybridity did to maintain the traditional art, and creating a new art performance and maintain the stabilty on cultural values. “Wayang Hip Hop” created the wayang to keep exist and adapt with a moder culture, Hip Hop. “Wayang Hip Hop” is solution to build character of society in the modern world. “Wayang Hip Hop” accommoodate both cultural values and build a new performance that is more favored by society. “Wayang Hip Hop” still show the performance that provide guidance and establish arrangements for wider society.

Keywords: Wayang Hip Hop, Hybridity, Character Construction, Urban Society

Abstrak
Dewasa ini, modernitas merasuk ke setiap insan kebudayaan dalam kehidupan. Budaya-budaya lama dianggap usang dan mulai ditinggalkan. Budaya baru yang lebih instan dan dianggap maju lebih diutamakan. Tak luput pada beberapa aspek, seperti kesenian salah satunya. Beberapa kesenian mulai ditinggalkan, padahal mempunyai nilai yang hakiki dalam keberadaannya. Artikel ini akan menguak permasalahan eksistensi kesenian lama dan solusi untuk dapat bertahan. “Wayang Hip Hop” merupakan sebuah terobosan baru di ranah kesenian. Hibriditas kebudayaan dilakukan dalam menjaga eksistensi kesenian lama, menciptakan kesenian baru dan menjaga stabliltas nilai pada kebudayaan. Adanya “Wayang Hip Hop” membentuk wayang untuk tetap dapat bertahan dan beradaptasi dengan kebudayaan baru yakni Hip Hop. “Wayang Hip Hop” merupakan solusi dalam membentuk karakter kolektif masyarakat di dunia yang serba modern. “Wayang Hip Hop” mengakomodasi kedua nilai budaya dan membentuk sebuah pertunjukan baru yang lebih disenangi masyarakat. “Wayang Hip Hop” tetap menjadi tontonan yang menjadi tuntunan dan membentuk tatanan untuk masyarakat luas.

Kata Kunci: Wayang Hip Hop, Hibriditas, Konstruksi Karakter, Masyarakat Urban


I.       PENDAHULUAN

Sejak awal abad ke 19 para pengamat asing agaknya telah menaruh perhatian terhadap wayang Jawa. Mereka menganggapnya suatu unsur dalam kebudayaan Jawa, sebagai suatu compelling religious mythology, yang menyatukan masyarakat Jawa secara menyeluruh, secara horizontal meliputi seluruh daerah geografi di Jawa, dan secara vertical meliputi semua golongan sosial masyarakat Jawa. Anderson[1]

            Dalam telaahnya, secara eksplisit Anderson menjelaskan bahwa abad 19 ketika Indonesia menjadi komoditas objek penelitian para peneliti asing, wayang mendapat perhatian yang cukup besar karena berkaitan dengan esensinya terhadap religi masyarakat Jawa. Wayang dianggap sebagai media dalam menyatukan masyarakat yang tidak terbatas pada jumlah masyarakat, tetapi pada unsur yang lebih mendalam, yakni klasifikasi sosial masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan ketika sebuah pergelaran[2] wayang digelar, di mana seluruh masyarakat menyaksikan tanpa terkecuali. Secara implisit, konstelasi ini mengungkap bahwa pergelaran wayang membebaskan individu dari sekelumit sistem yang dibentuk oleh masyarakat, seperti jenis kelamin, umur, profesi, kedudukan dan kekayaan. Wayang merupakan sebuah pergelaran yang bercerita tentang mitologi Ramayana, Mahabrata, Panji dan beberapa mitologi lainnya. Cerita-cerita inilah yang membuat masyarakat melebur dalam pergelarannya
            Pada dasarnya, pergelaran wayang mempunyai esensi yang kuat terhadap masyarakat, karena keberadaannya tidak hanya menjadi tontonan semata, tetapi juga menjadi tuntunan bagi masyarakat dan membentuk tatanan dalam berkehidupan. Selain itu ketertarikan para peneliti asing atas wayang karena wayang dianggap “Compelling Religious Mythology”. Wayang mempunyai kekuatan cerita yang religius, sehingga Wayang mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat luas. Baik secara disadari ataupun tidak disadari, wayang membentuk karakter masyarakat penontonnya. Secara implisit wayang mempunyai nilai hegemonik yang kuat dalam pola pikir baik individu, juga masyarakat. Wayang mengandung nilai-nilai agama dan falsafah hidup yang baik, dan secara tidak langsung  wayang menjadi salah satu media pembentukan karakter baik secara individu, maupun kolektif. 
            Kembali pada telaah Anderson, pernyataan bahwa “wayang menyatukan masyarakat” dapat dilihat beberapa dekade lalu. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingkat antusias penonton yang tinggi dalam tiap pertunjukannya. Peristiwa ini tidak hanya terjadi di lingkup pedesaan, tetapi juga perkotaan. Selain itu, menanggap wayang pada acara-acara tertentu mempunyai prestige tersendiri bagi para penanggapnya. Keberadaan nilai-nilai yang esensial tidak hanya pada bentuk pertunjukannya, tetapi juga pada nilai yang terkandung dalam setiap pertunjukannya. Menilik pernyataan Anderson di atas, pada dewasa ini pernyataan Anderson sudah tidak dapat diacu lagi, dalam dunia yang lebih modern dan majemuk wayang kini mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya. Para penonton yang terbiasa menonton wayang disuguhkan oleh beberapa kesenian lain, seperti Ronggeng, Tayub, dangdut dan televisi. Muncul kesenian-kesenian baru seiring dengan kemajuan zaman, kondisional yang semakin berubah dan permintaan masyarakat yang semakin majemuk. Pengaruh globalisasi, modernisasi dan westernisasi telah merasuk ke dalam segala wujud budaya. Perkembangan yang masif membentuk kesenian-kesenian baru yang lebih menghibur. Tatanan nilai mulai ditinggalkan, tuntunan mulai dilupakan, dan tontonan lebih diutamakan.
Alhasil kesenian tradisi harus mempertahankan eksistensinya agar tidak hilang. Menilik keberadaannya kini, wayang merupakan wujud kesenian tradisi yang terjaga eksistensinya hingga kini. Dalam menjaga eksistensinya, kesenian tradisi harus melakukan usaha adaptasi jika ingin terus bertahan. Terkait dengan usaha seni tradisi itu sendiri, Umar Kayam menjelaskan sebagai berikut:
Sebagai seni pertunjukan, seni teater tradisional jelas tidak dapat bersaing dengan bentuk-bentuk seni modern, karena seni tradisional berproduksi dalam jumlah dan jangkauan penonton yang terbatas, sedangkan seni modern seperti film, video, dan sebagainya berproduksi dalam jumlah dan jangkauan penonton yang massal. [3]

Pernyataan Kayam di atas menguatkan bahwasanya seni modern ditujukan kepada tataran yang luas, dan itu menjadi persoalan yang kompleks bagi seni tradisional jikalau ingin terus terjaga eksistensinya. Dalam tulisannya, Kayam juga memberikan solusi dalam keberlangsungan seni tradisional itu sendiri. Kayam menyatakan untuk mengatasi hal ini, terdapat dua jalan (1) menghapuskan eksistensinya sebagai seni panggung, (2) memberikan kepada penonton hal-hal yang tidak dapat diberikan oleh seni modern.[4] Melihat solusi yang dilontarkan oleh Kayam, menghapuskan esksitensinya sebagai seni panggung merupakan solusi terakhir jikalau sudah tidak terdapat cara lain. Memberikan hal yang tidak diberikan seni modern merupakan jalan keluar yang lebih visioner untuk menjaga stabilitas dari eksistensi kesenian tradisi. Kesenian yang beradaptasi dengan keadaan merupakan salah satu usaha dalam menjaga eksistensinya.
Dalam perkembangannya, pergelaran wayang sebenarnya sudah melakukan adaptasi. Hal ini dapat dilihat semisal dari pergelaran wayang oleh Ki Gondo Suharno yang memadukan wayang kulit dan wayang golek, tidak hanya itu Ki Gondo Suharno juga mengkreasikan tokoh-tokoh wayang baru yang masih berkorelasi dengan cerita terkait mitologi yang dibawakan. Contoh lainnya adalah dari pergelaran Kelompok Wayang Kampung Sebelah (WKS) yang sedang naik daun. WKS memainkan tokoh-tokoh baru dalam cerita pewayangannya, seperti halnya Rhoma Irama, Inul Daratista, dsbnya. Hal ini merupakan wujud adaptasi dari pelaku pergelaran wayang terhadap kemajuan zaman yang semakin majemuk.
            Usaha-usaha seperti yang dilakukan oleh Ki Gondo Suharno, WKS, dan beberapa penggiat wayang lainnya merupakan solusi yang baik dalam menjaga eksistensinya. Tetapi dalam perfomanya tetap mengikuti pola dan aturan pergelaran wayang yang konvensional. Mereka melakukan kreasi pada tokoh dan cerita pewayangan, tetapi bentuk pertunjukan tetap mengarah pada pergelaran wayang yang semestinya. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh “Wayang Hip Hop”. “Wayang Hip Hop” merupakan perpaduan antara wayang dan Hip Hop dalam pertunjukannya. Dalam hal ini tulisan akan  mengarah  pada “Wayang Hip Hop” sebagai studi kasus dari pembahasan, karena “Wayang Hip Hop” tidak hanya merupakan wujud adaptasi, tetapi juga wujud hibriditas budaya yang ada. Perpaduan budaya antara nilai lokal dan nilai global, dengan tidak menanggalkan salah satu kebudayaan, tetapi lebih pada mengkombinasikan kebudayaan yang ada.
II.    “WAYANG HIP-HOP” = WAYANG + HIP HOP
A.     Wayang Dalam Keberlangsungan
            Salah satu alasan wayang masih diacu dalam pertunjukan karena eksistensinya yang masih terjaga hingga kini karena wayang masih mempunyai masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang terbagi atas patron, maecenas[5] dan penikmat itu sendiri membentuk stabilitas pada kuantitas wayang semakin terjaga. Selain alasan kultural, sebenarnya bukan tanpa alasan mengapa eksistensi wayang masih terjaga. Pergelaran wayang mempunyai esensi yang lebih dalam artiannya, seperti yang diungkap oleh Koentjaraningrat bahwa  kesenian wayang kulit—sebagaimana suatu kebudayaan, adalah ciptaan dari segala pikiran dan prilaku manusia yang estetis, fungsional dan mengandung nilai-nilai (makna) yang dapat dinikmati dengan pancaindera.[6] Dalam artian ini, Koentjaraningrat menegaskan bahwasanya wayang kulit merupakan wujud estetis yang terkait dengan fungsi dan makna dari pertunjukannya. Wayang merupakan bentuk kreasi dari manusia yang mempunyai implikasi nilai berdasarkan makna dan filosofi hidup. Secara implisit, Sunarto menyatakan artian yang lebih mendalam terkait dengan wayang. Sunarto menyatakan bahwa:
Wayang bukanlah sekedar bentuk yang indah dan menyenangkan, tetapi mempunyai nilai khusus bagi bangsa Indonesia umumnya dan masyarakat Jawa pada khususnya, atau mengandung maksud-maksud yang lebih mendalam, yaitu memberikan suatu gambaran tentang hidup dan kehidupan. Wayang merupakan karya seni rupa yang mempunyai makna atau merupakan lambang, simbol bagi falsafah hidup bagi anggota-anggota masyarakat pendukungnya.[7]

Sunarto menegaskan terdapat nilai-nilai tentang kehidupan yang bisa diacu oleh masyarakat. Wayang merupakan representasi simbol dari filosofi hidup manusia. Sehingga dalam pergelarannya, banyak masyarakat yang menantikan pertunjukannya tidak hanya berdasarkan tontonannya saja, tetapi nilai tuntunan dan tatanan yang dikedepankan. Senada dengan Sunarto, Walujo juga menyatakan bahwa cerita wayang masyarakat Jawa memberi gambaran kehidupan mengenai bagaimana hidup sesungguhnya (das sein) dan bagaimana hidup itu seharusnya (das sollen).[8] Pergelaran wayang merupakan tuntunan masyarakat dalam bersikap karena terkandung pesan edukasi dalam setiap pergelarannya. Secara lebih mendalam, Mulyono menyatakan bahwa Wayang dipandang sebagai suatu bahasa simbol dari hidup dan kehidupan yang lebih bersifat rohaniah daripada lahiriah. Orang melihat wayang seperti melihat kaca rias.[9]
Dari beberapa pernyataan di atas, dapat ditarik sebuah asumsi, bahwa nilai wayang berfokus pada unsur batiniah dari para penonton, seperti halnya wayang mengajarkan hal-hal baik sebagai pembelajaran nilai untuk masyarakat. Dalam artian lain, wayang merupakan representasi makna dari bentuk keteraturan sikap, tingkah laku dan kelakuan yang lebih bersahaja.
            Dalam mengakomodasi nilai tuntunan dan tatanan terhadap masyarakat, wayang sebagai tontonan menjadi hal yang menarik untuk ditilik kembali. Merunut kembali bentuk wayang menjadi hal yang penting dalam melihat permasalahan wayang yang lebih kompleks. Pada beberapa telaah tentang wayang, beragam persepsi dan asumsi terbentuk berdasarkan bentuk dari wayang itu sendiri. Mulyono menyatakan bahwa:
Wayang adalah sebuah kata bahasa Indonesia (Jawa) asli, yang berarti bayang-bayang, atau bayang yang berasal dari akar kata “yang” mendapat tambahan “wa” yang menjadi wayang. Kata wayang di dalam bahasa Indonesia mempunyai akar kata ‘yang’. Akar ini bervariasi dengan yung, yong, antara lain terdapat dalam kata”layang” atau terbang, “doyong” atau miring, tidak stabil, “royong” yang berarti selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain, “Poyang payingan” ”berjalan sempoyongan tidak tenang”, dan lainnya.[10]

Berbeda dengan telaah Mulyono yang mengartikan wayang sebagai bentuk dari wayang dan bentuk penyajiannya, Sunarto menyatakan bahwa Wayang adalah bayangan angan-angan, yaitu menggambarkan nenek moyang (leluhur) menurut angan-angan, karena terciptanya segala bentuk wayang disesuaikan dengan adat kelakukan tokoh yang dibayangkan dalam angan-angan.[11] Pernyataan lebih gamblang diutarakan oleh Kusumajadi, beliau menyatakan bahwa Wayang ialah bayangan orang yang sudah meninggal, jadi orang yang digambar itu sudah meninggal. Kata wayang tadi dari suku kata wa dan yang. Wa = trah yang berarti turunan, yang = hyang yang berarti eyang kakek, atau leluhur yang telah meninggal.[12] Jika Sunarto dan Kusumajadi mengartikan wayang sebagai representasi dan komunikasi terhadap leluhur. Suharyoso mengartikan wayang sebagai “bayangan” yang jika ditinjau dari arti filsafatnya “wayang” dapat diartikan sebagai bayangan atau merupakan pencerminan dari sifat-sifat yang ada dalam jiwa manusia, seperti angkara murka, kebajikan, serakah dan lain-lain.[13] Pada artian yang telah diungkap oleh beberapa peneliti sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penamaan wayang didasarkan dari pelbagai perspektif, seperti halnya bentuk wayang, bentuk penyajian, bentuk representasi dan makna dari pertunjukan yang dikaitkan dengan falsafah kehidupan manusia.
Dalam konten pertunjukannya,  pergelaran wayang, seorang dalang bertugas memimpin pertunjukan secara keseluruhan. Secara lebih jelas, segala kendali dalam pertunjukan ada pada kuasa dalang. Tanpa ada Dalang, pertunjukan ini tidaklah menjadi sebuah pergelaran wayang. Dalang seperti halnya conductor dalam sebuah concert music classic, yang bertugas memimpin, menghentikan, memanjakan telinga dan pikiran para audience. Menilik artian dalang itu sendiri, Groenendael menyatakan bahwa:
Dalang ialah tokoh utama dalam semua bentuk teater wayang. Dia adalah penutur kisah, penyanyi lagu (suluk), yang mengajak memahami suasana pada saat tertentu, pemimpin suara gamelan yang mengiringi, dan di atas segalanya, dia adalah pemberi jiwa pada boneka atau pelaku-pelaku manusianya itu.[14]

Dalang merupakan pemeran utama dalam pertunjukannya, Dalang adalah orang yang mempunyai kiprah paling besar dalam pergelaran wayang. Implikasi yang terjadi pada kehidupan sosial dari Dalang itu sendiri, Dalang mempunyai posisi penting dalam bermasyarakat karena dianggap sebagai seorang yang bijaksana dan dapat menuntun masyarakat. Masyarakat terkonstruksi dengan profesi Dalang yang mempunyai esensi yang kompleks. Pernyataan Groenendael terkait pemberi jiwa terwujud karena mitologi serta pertunjukan wayang (tekstual) dan hegemoni Dalang di kehidupan bermasyarakat (kontekstual), sehingga jiwa pada pergelaran semakin kuat. Senada dengan Groenendael, Suharyoso menyatakan bahwa:
Dalang mengatur jalannya pertunjukan secara keseluruhan. Dia memimpin semua crewnya untuk luluh dalam alur ceritera yang disajikan. Bahkan sampai pada adegan yang kecil-kecilpun harus ada kekompakan di antara semua crew kesenian tersebut. Dengan demikian, di samping dituntut untuk bisa menghayati masing-masing karakter dari tokoh-tokoh yang ada dalam pewayangan, seorang dalang juga harus mengerti tentang gending (lagu).[15]

Dari pernyataan Suharyoso di atas, secara implisit menjelaskan bahwa kerja Dalang pada pergelaran wayang telah berintegrasi dengan beberapa unsur lain seperti halnya karawitan yang memainkan alunan musik, dan sindhen yang menyanyikan beberapa repertoar. Alunan karawitan pada pergelaran wayang digunakan untuk mengiringi secara keseluruhan dari pertunjukan. Alunan karawitan berasal dari gamelan Jawa baik pelog dan slendro. Sinden yang menyanyikan biasanya disebut waranggono untuk perempuan dan penggerong atau wirasuara[16] untuk laki-laki. Integrasi antara Dalang, karawitan dan penyanyi ini membentuk satu keutuhan dalam pergelaran wayang. Pergelaran wayang dalam pertunjukannya bisa dilakukan pada siang ataupun malam hari, tetapi tak jarang pergelaran digelar semalam suntuk. Biasanya sebuah pergelaran wayang digelar dengan durasi tujuh hingga delapan jam.
            Pada dasarnya sebuah pergelaran wayang digelar dalam konstelasi tertentu, dalam pertunjukannya,  pergelaran wayang mempertimbangkan konteks acara yang akan digelar. Selain pada lingkup audience dari pertunjukan, adapun penentuan sebuah lakon oleh seorang Dalang. Pada dasarnya seorang Dalang tidak secara random memilih sebuah tema, Dalang menentukan lakon yang akan disajikan. Faktor-faktor yang menjadi pemikiran seorang Dalang dalam memilih tema, adalah (1) jenis wayang yang dipergunakan sebagai alat peragaan; (2) kepercayaan masyarakat sekitarnya dan (3) keperluan diadakannya pertunjukan tersebut. Jenis wayang akan mempengaruhi lakon yang bisa disajikan lewat wayang­-wayang tersebut.[17] Secara eksplisit pernyataan Suharyoso menegaskan bahwa faktor konteksutal sangat penting dalam sebuah pergelaran, yakni kesediaan alat dan konteks pergelaran digelar. Hal tersebut dilakukan agar sebuah lakon tepat sasaran, serta pesan dan makna dapat tersampaikan kepada khalayak umum. Wayang merupakan media pembentukan karakter masyarakat yang efektif.
B.     Hip Hop dan Perkembangannya
            Dalam perkembangannya, terdapat jenis kesenian yang tertuang pada musik yang diacu tidak hanya pada lingkup penikmat musik Indonesia, tetapi juga penikmat musik dunia. Konstelasi ini dibuktikan dengan berlomba-lombanya para composer kini menciptakan sebuah lagu dengan genre tertentu, genre tersebut adalah Hip Hop. Hip Hop diadopsi sedemikian rupa dan dipadukan dengan unsur lokal yang ada, seperti halnya bahasa, budaya, jenis beat, isi, makna lagu, dan beberapa unsur lainnya. Hip Hop semakin berintegrasi dengan masyarakat, dan secara implisit integritas tersebut membentuk sebuah jalur dan arah yang diacu oleh khalayak umum. Hip Hop merupakan kebudayaan asing yang membentuk negosiasi penyesuaian dengan unsur lokal di seluruh macam kebudayaan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Forman yang menyatakan bahwa:
 Hip Hop sebagai budaya yang pertama kali berkembang di Amerika Serikat khususnya di daerah Bronx meluas ke seluruh dunia. Meskipun daya tarik dan perkembangan Hip Hop melintasi batasan budaya dan ras, Hip Hop merupakan fenomena cultural dari kebudayaan Afrika-Amerika yang muncul bersamaan dengan kompleksitas campuran dari pengaruh sosial hybrid.[18]

Hip Hop tidak mempunyai batasan terhadap massanya, bahkan melewati budaya dan ras. Hip Hop membentuk pembauran kebudayaan dalam menjaga eksistensinya. Sebenarnya eksistensi Hip Hop dapat terjaga karena terdapat modal sosial pada Hip Hop itu sendiri. Pada awalnya Hip Hop merupakan sebuah gerakan, Rabaka menyatakan bahwa:
HopHH
Hip Hop generation is employed to conceptually capture not only black popular culture and black popular music after the Black Arts and Feminist Art movements, but also African American sociopolitical traditions and movements after the Civil Rights, Black Power, Women’s Liberation, and Homophile movements of the 1960s and 1970s.[19]

Dalam telaahnya, Rabaka menjelaskan bahwa, musik Hip Hop terbentuk secara kontekstual. Kontekstual di sini terbentuk berdasarkan semangat perjuangan atas kekuasaan, perlawanan dan pergerakan melawan dominasi kuasa. Senada dengan Rabaka, Watkins menyatakan bahwa:
Hip hop movement was beginning to come to terms with itself: its rise and the enormous influence it wielded in America and beyond. In his assessment of the power of the moment, the music, and the movement, John Forte, a successful rap producer, explained that hip hop has endure so many thing, from being spit at by mainstream media and musicians to the deaths of Eazy-E, TuPac, Scott La Rock, and Biggie. And here it is, still standing, still powerful, having even more influence.[20]

Dari pernyataan di atas, secara implisit Watkins menegaskan bahwa Hip Hop merupakan musik percampuran yang terbentuk berdasarkan semangat dalam melawan, menentang dan memberontak. Modal sosial yang sama inilah yang menciptakan rasa solidaritas dan menjadi representasi dari perlawanan. Terlebih setiap tempat terdapat pola kuasa, dominasi dan perlawanan.
            Hip Hop itu sendiri membentuk satu integritas dengan beberapa unsur lain yang membentuk satu keutuhan dalam pertunjukannya. Terkait dengan integritas tersebut, Androutsopoulos menyatakan bahwa:
Hip Hop traditional “four elements”- breaking, dj-ing, rapping, and writing – a rely on performance modes that go well beyond language, such as visual representation, sound, movement, and technical manipulation of objects.[21]

Dalam telaah di atas, terdapat empat element yang berintegrasi dalam satu integritas Hip Hop, yakni, breaking (pada pergerakan tubuh seperti salto, dan lain-lainnya), DJ-ing (musik yang tercipta dari piringan hitam), Rapping (mengisi lagu dengan bertutur) dan Writing (menuliskan pesan-pesan pada tembok dan beberapa media lain). Keempat hal ini yang membentuk Hip Hop sebagai satu kesatuan identitas. Pada alunan musiknya, Rap merupakan entitas yang paling dominan dari  Hip Hop, Hoch menyatakan bahwa Rap adalah gaya menyanyi yang digunakan dalam seni bercerita dan hadir di dalam situasi peperangan, kerusuhan. Gaya Rap digunakan juga untuk berbicara tentang panggilan hati dan bagaimana menjawab panggilan tersebut.[22] Rap merupakan kekuataan dari Hip Hop itu sendiri. Dengan bercerita tentang hal yang melanda dan berkaca pada realitas, seorang rapper menggambarkan kegelisahannya dalam sebuah teks. Rap merupakan representasi gerakan dengan ideologi dari konteks sosial politik yang melanda.
            Dalam keberlangsungannya Hip Hop dan Rap merupakan musik yang digandrungi oleh pendengarnya, pengalaman empiris penulis juga muncul ketika Eminem seorang rapper kebangsaan Amerika dengan kritikannya terhadap sosial politik pada saat itu merajalela di blantika musik dunia. Terkait dengan eksistensi dari rap itu sendiri. Watkins pun turut menyatakan bahwa:
Rap was the biggest story of the year in the music industry. Though the genre’s journey toward the mainstream began as far back as the middle 1980’s, its most important and impressive gains came in the late nineties. In 1998 proved to be a great year in hip hop. It was the year that rap music’s ongoing flirtation with the mainstream became real and undeniable for the players that really matter, the executives who run the major music groups.[23]
Pernyataan Watkins di atas menjelaskan bahwa Rap merupakan musik yang diacu oleh indsutri musik dunia. Dimulai sejak pertengahan 1980 dan terjaga eksistensinya hingga kini. Musik Hip Hop dengan beat-beat statis dan tempo yang cepat, dirasa mempunyai kesesuaian selera dengan para pendengar. Hal lain yang mendukung Hip Hop tak asing didengar adalah Hip Hop yang sedang mengalami titik puncak pada musik industri. Hip Hop menjadi musik yang paling sering didengar, dan secara tidak sadar realitas itu menstimulasi seorang individu mengalami pembiasaan dan menubuh (menyatu dalam tubuh).
            Kebiasaan yang terbentuk berdasarkan kuantitas dan frekuensi yang tinggi menjadikan potensi penerimaan semakin besar. Terlebih pada sebuah genre lagu yang membawa kesamaan modal sosial atau budaya untuk proses penerimaan yang lebih mudah. Proses resepsi oleh para pendengar tidak akan sulit dibanding kesenian yang belum didengar sebelumnya. Pada hal ini “Wayang Hip Hop” merupakan gabungan dari wayang dan musik Hip Hop yang sedang melonjak tingkat kegemarannya.
C. “Wayang Hip Hop” dan Pertunjukannya
            Perjumpaan penulis dengan pertunjukan “Wayang Hip Hop” adalah di sebuah acara musik di bilangan kota Yogyakarta. Masyarakat yang didominasi anak muda berkumpul di sebuah tempat dengan panggung di bagian depan. Beberapa menit kemudian “Wayang Hip Hop” muncul dan mulai mempertunjukkan performance-nya. Para penonton ikut bernyanyi dan menyerukan “Wayang Hip Hop”. Penonton juga turut menikmati pertunjukan yang disajikan, balutan pergelaran wayang yang berpadu dengan alunan Hip Hop dengan nada rapping, membuat decak kagum para penonton. Inilah sebuah wujud kesenian tradisi yang telah terelaborasi dengan kesenian global.
            “Wayang Hip Hop” merupakan perpaduan antara kedua bentuk kesenian barat (Hip Hop) dan timur (Wayang). Pada dasarnya jenis percampuran ini merupakan hal yang baru, baik pada dunia pewayangan, juga dunia musik. “Wayang Hip Hop” adalah wujud percampuran budaya lokal dan global yang menjadi satu keutuhan dalam pertunjukan. Sesuai dengan namanya, pertunjukan “Wayang Hip Hop” juga mempertunjukkan pergerlaran wayang. Biasanya gelaran pewayangan yang diambil adalah adegan “gara-gara” dalam pementasan wayang kulit. Sosok yang ditampilkan adalah tokoh Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong.[24] Dalam penyampaiannya kepada masyarakat, “Wayang Hip Hop” menggunakan beberapa bahasa, biasanya Indonesia dan Jawa, tetapi sesekali bahasa Inggris juga digunakan. Pertunjukan dibawakan dengan balutan komedi. Cerita dalam “Wayang Hip Hop” berbeda dengan wayang konvensional lainnya. Alur cerita wayang di sini disesuaikan dengan isu-isu yang hangat dalam ranah sosial politik yang sedang melanda dan menjadi perbincangan khalayak umum. Perbincangan tersebut didasarkan pada isu-isu terkait problem kehidupan, yang direpresentasikan pada permasalahan-permasalahan sehari-hari. Seperti halnya perbincangan terkait kelonjakan ekonomi yang membahas kelonjakan harga cabai, permasalahan politik seperti tidurnya pada rapat oleh para anggota DPR, dan beberapa isu lainnya. Penyampaian cerita disampaikan secara jenaka, dengan sedikit lelucon santai nan segar. Dalam perbincangan dengan Dalang “Wayang Hip Hop”, Ki Dalang Catur Kuncoro, beliau menyerukan bahwa:
Wayang Hiphop hanya merupakan kanalisasi dari keresahan rakyat kecil atas ulah elit yang kadang sulit dipahami. Karena hanya merupakan ‘gerutu’ dari rakyat, Catur mengatakan, pentas  “Wayang Hip Hop” tidak berpretensi memberikan solusi bagi persoalan sosial yang sedang diangkat. Pentas sekadar ingin mengajak penonton tertawa, menertawakan semua peristiwa yang ternyata hanyalah dagelan hidup.

Secara eksplisit dapat diketahui bahwa stimulant munculnya “Wayang Hip Hop” adalah kegelisahan terhadap elit atas rakyat kecil. Kemunculan yang terbentuk berdasarkan kebosanan dan kegelisahan terhadap wujud ketidakadilan. Tetapi di sisi lain dalang mengatakan keresahan yang dituangkan pada lagu tidak mempunyai implikasi yang besar dalam menyelesaikan perkara sosial yang ada.
Secara implisit tetapi akan berbeda walaupun dalang hanya berkeinginan mengajak penonton mentertawakan keadaan sendiri, dikarenakan setelah menyaksikan pertunjukan, tontonan akan menjadi stimulasi emosi dalam pergerakan baik dimulai secara individu maupun kolektif.  Pada iringan musik, “Wayang Hip Hop” didominasi dengan alunan musik Hip Hop, tetapi tidak jarang lagu jawa, pop, tembang kenangan dan dangdut juga dibawakan. Dalam pertunjukannya, “Wayang Hip Hop” terdiri dari seorang dalang, tiga orang pemusik (yang memainkan keyboard, laptop, gitar akustik, siter dan perkusi seperti terbang, rebana, dll), tiga orang penyanyi dan seorang teknisi yang mengkordinir alat musik dan sound control. Para pemain tersebut mempunyai tugasnya masing-masing, seorang Dalang memainkan lakon dan bernyanyi. Para pemusik memainkan alat musik dan membuat alunan  hip hop semakin terasa. Tiga orang penyanyi lainnya terbagi atas dua rapper dan seorang sinden. Dalam pertunjukannya, biasa juga membutuhkan beberapa talent untuk memainkan lakon wayang orang.
            Bentuk pertunjukannya, layaknya sebuah pergelaran wayang, “Wayang Hip Hop” selalu diawali oleh Dalang dengan memainkan sebuah lakon. Kehadiran dalang seperti halnya intro dalam sebuah lagu. Lakon yang dibawakan dalang biasanya memakan waktu tiga hingga lima menit. Setelah itu dilanjutkan oleh alunan musik hip hop dan para penyanyi. Para penyanyi akan melakukan rapping pada bagian verse lagu, terkadang sinden dan dalang ikut menyanyikan. Pada bagian chorus semua penyanyi ikut menyanyi. Biasanya setelah chorus, bagian intro kedua diisi kembali oleh dalang yang melanjutkan lakonnya. Setelah intro kedua, verse dan chorus kembali diulang dan diakhiri dengan outro. Busana dalam pertunjukan disesuaikan dengan tema yang diangkat, dan tak jarang para penyanyi mengenakan busana wayang.
Selain dalam jenis musik dan alur cerita, hal yang membedakan antara “Wayang Hip Hop” dengan wayang dan pertunjukan lainnya adalah pada pergelarannya. Pergelaran yang dimaksud ada pada teks “Wayang Hip Hop” dan alur drama cerita mereka. Seperti pada salah satu contoh syair yang dibawakan oleh “Wayang Hip Hop” dalam tembang jawa dan syair yang berbahasa Indonesia dan berbahasa jawa, ngelmu iku (berilmu itu)[25], sebagai berikut:
Ela-elo si kebo numpak sekute-er,
Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinte-er.                                          
Ela-elo si kebo numpak sekute-er,                        Nah ,mulane dadi bocah sing sregep sinau, Ben pin? Pinter
Sapa bodho dadi pangane wong pinter.                               Ning nek wis pinter yo aja terus nggo minteri kancane ya?
                                                                                          Kudu tetep nyekel piwulang luhur lan budi pekerti
Ela-elo si kebo numpak sekute-er,                          Supaya pinter ning ora keblinger
Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinte-er.
Ela-elo si kebo numpak sekute-er,                         
Belajarlah engkau sampai ke negri cina
Sapa bodho dadi pangane wong pinter.                              
Menuntut ilmu tak terbatas ruang dan usia.
                                                                                         
Gantungkan cita - cita mu setinggi langit,
                                                                                         
Jangan pernah menyerah walau berawal pahit.
Ela-elo si kebo numpak sekute-er,                         
Slagi muda hey kawan jangan sia-siakan waktumu.
Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinte-er.      
Teruslah brusaha kejar impianmu jangan ragu.
Ela-elo si kebo numpak sekute-er,                         
Singsingkan lengan baju yo terus maju,
Sapa bodho dadi pangane wong pinter.                              
Dunia berharap cemas masa depan menunggu.

Aja gelem kaya kebo thela-thelo merga bodho,
Ora kasil gampang nglokro ngalor ngidul di plekotho,  Ela-elo si kebo numpak sekuter,
Jamane saya maju, kudu banter le mlayu,                              Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinter.
Jamane saya canggih aja ingah ingih.                                                    Ela-elo si kebo numpak sekuter,
Bocah enom kudu sing wani waton bener ra usah wedi,   Sapa bodho dadi pangane wong pinter
Kendel bandel tur mrantasi,
Nanging aja ninggal marang piwulang budi pekerti.      Jangan pernah menyerah hapuskan rumus kalah,
                                                                                                            Tiada kata akhir meski semua mencibir.
                                                                                                            Katakan Juara meski semua menatap hina
Ela-elo si kebo numpak sekuter,                                                ku sang pemenang Semua rintangan ku terjang.
Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinter.                            Ngelmu iku kelakone kanthi laku.
Ela-elo si kebo numpak sekuter,                                                Lekase lawan kas.
Sapa bodho dadi pangane wong pinter.                               Tegese kas nyantosani.
Ela-elo si kebo numpak sekuter,                                                Setya budya pangekese dur angkara.
Uwong bodho mbok aja sok ngaku pinter.
Ela-elo si kebo numpak sekuter,
Sapa bodho dadi pangane wong pinter

Pada teks di atas berisikan pesan terkait moral pendidikan masyarakat, di mana masyarakat harus mengenyam pendidikan agar tidak “dibodohi”. Teks secara eksplisit menjelaskan bahwa masyarakat harus mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, dan jikalau sudah mengenyam setidaknya saling menghormati kepada seluruh masyarakat tanpa memandang status pendidikan. Secara berulang-ulang mereka memberikan pesan untuk terus belajar dan berusaha, tanpa terkecuali. Terdapat pesan sosial untuk masyarakat dalam lagu di atas. Terkait dengan teks, lakon yang dibawakan Dalang juga berisikan tentang pendidikan, semisal seorang guru dan murid. Busana para penyanyi juga mengikuti, bila halnya terkait pendidikan, mereka akan mengenakan pakaian seragam. Pertunjukan yang disajikan akan didasarkan pada kontekstual yang mengikat.
Dalam keberlangsungannya, pesan dan makna pada lagu tidak hanya tertera pada lagu di atas saja, pada lagu-lagu lain juga tetap tersurat dan tersirat makna dan pesan-pesan yang baik. Hal ini merupakan bentuk adaptasi dari pergelaran wayang yang tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga menjadi tuntunan dan membentuk tatanan untuk menghadapi tantangan. “Wayang Hip Hop” menarik satu garis kesamaan pada pergerlaran wayang dan pertunjukan Hip Hop, yakni menyampaikan pesan. Wayang yang tetap menjadi tuntunan dalam setiap pergelarannya, mempunyai kesamaan dengan Rapping Hip Hop yang berisikan kritik dan pesan terhadap keadaan yang ada untuk segenap masyarakat.
D.     Hibriditas sebagai Jalan Keluar
            Pada telaah di atas, dapat ditarik asumsi bahwa percampuran pada “Wayang Hip Hop” merupakan sebuah bentuk hibriditas kebudayaan. Terjadi percampuran antara satu kebudayaan dan kebudayaan lain. Pada dasarnya, perpaduan merupakan wujud pembentukan budaya yang berintegrasi menciptakan sesuatu yang baru. HB Raditya menyatakan bahwa:
Global dan lokal bercampur menjadi satu kesatuan membentuk nilai baru yang tidak meninggalkan kedua nilai percampuran, tetapi memperkaya. Hibriditas atas semua unsur musikal membuat kekuata pertunjukan semakin kuat.[26]
Perpaduan pada “Wayang Hip Hop” merupakan sebuah solusi dalam memanfaatkan setiap unsur  untuk berintegarsi dan saling berkorelasi. Hasil perpaduan menjadi variatif dan menawarkan pembaruan. Pembaruan yang terjadi sangat memperkaya musik Hip Hop, dan wayang sebagai sebuah kesenian yang adiluhung.
Menilik hibriditas itu sendiri, pada dasarnya hibriditas adalah sebuah proses penciptaan identitas kultural menjadi jelas. Hibriditas lebih mengarah kepada perubahan identitas yang berujung pada perubahan subjektif.[27] Telaah Bhaba tersebut merupakan pendeskripsian terhadap bercampurnya dua bentuk budaya yang memunculkan entitas-entitas tertentu dari tiap kebudayaan yang bercampur. Percampuran entitas baru tersebut merupakan perpaduan dari sifat keduanya. Senada dengan Bhabha, Young menekankan bahwa:
The use of the term ‘hybridity’ to describe the offspring of humans of different races implied, by contrast, that the different races were different species: if the hybrid issue was successful through several generations, then it was taken to prove that humans were all one species, with the different races merely subgroups or varieties—which meant that technically it was no longer hybridity at all.[28]

Young secara eksplisit menjelaskan adanya perbedaan ras yang berbeda menyatu dengan proses perpaduan. Perpaduan antara satu unsur dengan unsur lain menjadi kunci terjadinya hibriditas.
Pada pengaplikasiannya, hibriditas dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yakni percampuran dua budaya karena adanya pemaksaan seperti halnya penjajahan yang menciptakan dominasi terhadap yang dijajah, hibriditas yang terealisasi tanpa paksaan dan tekanan akibat dialektika antar budaya, dan hibriditas yang terbentuk sebagai sebuah perlawanan.[29] Pada cara pemaksaan karena kolonialisme, terjadi hibriditas antara budaya setempat dan budaya kolonial. Pada cara tanpa paksaan, hibriditas berlaku secara sendirinya, sedangkan pada bentuk perlawanan, hibriditas terbentuk dengan reaksi budaya dalam melawan yang terkadang menciptakan hal yang baru.
            Dalam penerapannya, langkah-langkah yang dilakukan dalam proses perpaduan (baca: hibriditas). Langkah tersebut dimulai dengan adanya proses mimesis. Proses mimikri menjadi proses dalam penerapan hibriditas. Bhabha menyatakan bahwa mimikri adalah proses peniruan yang terjadi antara dua identitas berbeda dan juga tanda dari yang tidak teraproproasi, dan mimikri merupakan suatu tindakan yang sengaja atau tanpa sadar dilakukan pada interaksi atau hubungan sosial dalam pertahankan dominasi.[30] Proses imitasi yang terjadi pada percampurannya. Mimikri teraplikasikan dengan dua cara, yakni tanpa sadar dan disengaja. Secara implisit menjelaskan bahwa mimikri dapat terjadi secara tidak sengaja ketika ‘penubuhan’ atas sebuah budaya sudah menghegemoni. Proses imitasi akan berpadu dengan intepretasi dan penubuhan yang sudah ada, dan bercampur dengan kebudayaan lainnya. Imitasi inilah yang mengawali terjadinya proses hibriditas. Setelah itu, budaya yang diimitasi berbaur dengan budaya lain dan membentuk sebuah kebudayaan baru yang mempunyai entitas dari kedua kebudayaan.
Secara implisit, hibriditas memunculkan sebuah ruang baru. Hibriditas menstimulasi peluang hadirnya ruang ketiga (the third space) dari dua budaya. Dalam proses hibriditas asal budaya tidak menjadi permasalahan, yang menjadi penting adalah ruang ketiga peleburan budaya. Ruang ketiga ini merupakan ranah kesempatan pembentukan budaya baru yang mempunyai peluang tidak sesuai dengan budaya asli. Bhabha mengungkap bahwasanya Proses hibriditas budaya memungkinkan terbentuknya sesuatu yang berbeda, baru, bahkan belum dikenal sebelumnya, yang merupakan area baru tempat terjadi negosiasi makna dan representasi.[31] Dalam hal ini, hibriditas merupakan ranah di mana kelak terjadinya negosiasi kebudayaan dalam pembentukan budaya baru yang diacu secara kolektif.
            Dalam hal ini “Wayang Hip Hop” merupakan hasil dari hibriditas kebudayaan. Lagi Terlebih jikalau kita menilik dari namanya, “Wayang Hip Hop” merupakan perpaduan kebudayaan lokal yakni wayang, dan kebudayaan asing yakni Hip Hop. Perpaduan sebuah kebudayaan yang sangat berbeda jauh dalam bentuk dan performancenya. Terhibridasinya sebuah kebudayaan bisa terlaksana jikalau ada suatu nilai yang dapat dinegosiasikan. Nilai tersebut setidaknya berbentuk nilai, makna, fungsi ataupun guna dari kesenian. Ada suatu hal yang mempunyai kesamaan dalam keberlangsungannya. Dalam hal ini “Wayang Hip Hop” tetap menjunjung sifat hakiki dari wayang sebagai tontonan, tuntunan dan tatanan, sedangkan Hip Hop sebagai media berekspresi dalam menyampaikan kritik, saran dan kenyataan untuk menuntun. Kesamaan nilai ini yang mengakomodir sekaligus merepresentasikan “Wayang Hip Hop” sebagai agen dalam nilai tuntunan masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada teks dari lagu “Wayang Hip Hop” yang berisikan pesan dan makna yang mengandung tuntunan dan tatanan. Terlebih dalam keberlangsungan masyarakat urban yang tingkat kebosanannya tinggi.
            “Wayang Hip Hop” merupakan bentuk budaya baru yang tetap mempertahankan kesenian adiluhung dan memunculkan cara penyebaran yang baru. Hal ini baik karena wayang dapat tetap dikenal luas di masyarakat, serta dilestarikan. Menilik masyarakat urban yang mempunyai tingkat ketertarikan terhadap Hip Hop, maka hal ini merupakan hal yang tepat untuk tetap menjadikan wayang sebagai acuan. Dalam dunia yang modern, “Wayang Hip Hop” menjadi pembentukan karakter anak-anak bangsa dengan cara yang lebih modern. Dengan demikian, tidak ada kata bosan, ketinggalan zaman, atau kampungan pada nilai budaya lama. Budaya bisa bernegosiasi dalam menjaga kelestariannya. “Wayang Hip Hop” merupakan wujud hibriditas kebudayaan yang menghasilkan sebuah terobosan baru dalam pelestarian dan pengembangan pada kesenian, serta penciptaan, pembentukan dan pengkonstruksian karakter bangsa dalam menjalani hidup yang lebih modern.
E.          PENUTUP
            Masyarakat urban kini mengacu pada modernitas karena dianggap sebagai lumbung kemajuan. Kebudayaan tradisional dianggap ketinggalan zaman dan mulai dilupakan. Sebuah kesenian yang adiluhung “Wayang”, merupakan sebuah kesenian yang tidak hanya memberikan tontonan, tetapi memberikan tuntunan dan terdapat tatanan dalam setiap pergelarannya. Pergelaran Wayang setidaknya merupakan tontonan yang cerdas dalam pembentukan masyarakat pada beberapa dekade lalu. Kemajuan zaman yang begitu pesat tidak dapat dielakkan, tontonan semakin tidak terkontrol dan tidak sedikit yang mengandung pesan moril. Hal yang profan dianggap lebih menyenangkan dan ditonton. Dalam dunia modern, muncul sebuah wujud seni baru milik barat, Hip Hop. Masyarakat menggandrungi jenis musik tersebut. Pada Hip Hop terdapat sebuah pesan kritik dan moril yang terkandung. Untuk mengakomodasi kesenian lama untuk dapat lestari, munculah sebuah wujud kesenian baru, “Wayang Hip Hop”. Perpaduan wayang dengan musik Hip Hop menjadi solusi dalam menjaga kelestarian kesenian tradisi di era modern, dan tak lupa tetap memberikan pesan tuntunan dan tatanan kepada masyarakat, tidak hanya tontonan semata.
            “Wayang Hip Hop” merupakan wujud hibriditas kebudayaan, percampuran dua kesenian yang berbeda asal. Adanya “Wayang Hip Hop” dapat menjadi model untuk kesenian tradisi lainnya untuk tetap menjaga eksistensinya. Dengan tetap menjunjung nilai kedua kebudayaan yang dilebur dengan menciptakan sebuah kebudayaan baru yang lebih efektif dalam pertunjukannya, sehingga karakter masyarakat yang modern tetap dapat terakomodasi pada nilai tuntunan dan tatanan dari hakikinya kesenian wayang. Secara Implisit, “Wayang Hip Hop” merupakan tempat pembentukan karakter masyarakat muda oleh sebuah kesenian tradisi dengan gaya baru. “Wayang Hip Hop” menjadi media baru yang tidak membosankan, mengikuti zaman, dan memegang teguh nilai tradisi. Oleh karena itu, dengan kemunculan “Wayang Hip Hop”, kesenian dapat turut menentukan pembentukan karakter bangsa di tengah kemajemukan modernitas yang semakin masif.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, dalam Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. 1994.
Androutsopoulos, J., 2009. Global, Linguistic Flows: Hip Hop Cultures, Youth Identities, and the politics of language. New York: Routledge.
Bhaba, Homi. K., 2007. The Location of Culture. Cetakan ke-5. London, New York: Routledge.
Forman, M., 2002. The Hood Comes Fisrt: Race Space, and Place in Rap and Hip Hop. Middletown, CT: Wesleyan University Press.
Groenendael, Victoria M. Clara van, 1987. Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Pustaka Utama Grafis.
HB Raditya, Michael,  2013. “Hibriditas Musik Dangdut dalam Masyarakat Urban,” dalam Journal of Urban Society’s Arts. Vol. 13. No.1 April 2013, hlm. 1-14.
Hoch, Danny, 2006. Journal Towards A Hip-Hop Aesthetic: A Manifesto for the Hip Hop Arts Movement. New York: Routledge.
Kayam, Umar,  2000. “Pertunjukan Rakyat Tradisional Jawa dan Perubahan,” dalam Heddy Shri Ahimsa Putra (Ed.), Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galangpress.
Koentjaraningrat,  1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat,  2005. Pengantar Antropologi II: Pokok-pokok Etnografi. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Kusumajadi, 1970. “Wayang Kulit Buto Terong Gaya Yogyakarta,” dalam Majalah Mahasiswa SANI, Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta.
Mulyono, Sri, 1979. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: Gunung Agung.
Rabaka, Reiland, 1972.  Hip Hop’s Inheritance: From the Harlem Renaissance to the Hip Hop Feminist Movement. Maryland: Lexington Books.
Suharyoso SK, 2000. “Teater Tradisional di Sleman, Yogyakarta: Jenis dan Persebarannya,” dalam Heddy Shri Ahimsa Putra (Ed.), Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galangpress.
Sunarto, 1989. Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta: Sebuah Tinjauan  tentang Bentuk, Ukiran, Sunggingan. Jakarta: Balai Pustaka.
Watkins, Craig S., 2005. Hip Hop Matters. Boston: Beacon Press.
Young, Robert J.C., 1995. Hybridity in Theory, Culture and Race. London, Routledge.

Webtografi

Biodata Lengkap
Michael HB Raditya, seorang penikmat seni dan budaya yang lahir pada tahun 1988. Ia seorang penulis yang berlatarbelakang pendidikan Kesarjanaan di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada, dan Master di Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada. Kini ia mengelola JURNAL KAJIAN SENI, Universitas Gadjah Mada. Ia bergabung dengan Komunitas LARAS, sebuah komunitas yang membahas Musik dan Masyarakat dengan menghelat sekali dalam sebulan sebuah diskusi tentang musik dan terapannya di PKKH, UGM. Ia tergabung dengan komunitas SENREPITA, sebuah komunitas kritik tari kontemporer yang turut menghelat tari-tari kontemporer di kediaman Sal Murgiyanto. Ia tergabung dengan kelompok CCMP yang terseleksi dari setiap Universitas di Indonesia, Kelompok CCMP ini adalah kelompok kritik dan menuliskan seni pertunjukan di Indonesia, besutan Sal Murgiyanto, dkk. Ia juga kerap menjadi pembicara, moderator dan penghelat acara seni di Yogyakarta.
Tulisan-tulisan yang sudah diterbitkan adalah: “Dinamika Persawahan” dalam Rumah Tangga Petani di Tengah Arus Pasar Dunia yang diterbitkan oleh Antroplogi Budaya, UGM pada tahun 2007. “Potret Pendidikan Nek Sawak” dalam Penelitian Producing Wealth and Poverty in Indonesia’s New Rural Economies diterbitkan oleh Antropologi Budaya, UGM, diterbitkan 2010. “Komunitas Model United Nations di UGM, Sebuah Studi Organisasi Sosial lingkup Mahasiswa”, dalam Skripsi Jurusan Antropologi Budaya, UGM pada tahun 2011. “Strategi Masyarakat Gambut dalam Bertahan Hidup di Sungai Kampar dan Bukit Batu” untuk Fakultas Kehutanan UGM dan LSM MITRA Insani, Riau, pada tahun 2013. “Inventarisasi dan Kajian Komunitas Adat ‘Sedulur Sikep’ Desa Sumber Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora”. Diterbitkan oleh BPNB Yogyakarta, pada tahun 2013. “Esensi Senggakan Pada Dangdut Koplo Sebagai Identitas Musikal” dalam Tesis Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM, 2013. “Hibriditas Musik Dangdut dalam Masyarakat Urban”, dalam Journal of Urban Society’s Arts vol 13 no. 1 April 2013 (1-14). “Komik: Estetika, Komoditisasi, dan Eksistensi”, dalam Majalah Mata Jendela Seni Budaya Yogyakarta. Volume IX Nomor 2/2014, Taman Budaya Yogyakarta. “Mengolah Danais Seni Dengan Tepat”, Opini dalam Koran Cetak Kedaulatan Rakyat Tanggal 18 September 2014. “Musik sebagai wujud Eksistensi dalam Gelaran World Cup”, dalam Jurnal Resital Juni 2014. “Antara Rasa dan Estetika, Komodifikasi Nilai Konsumsi pada Pangan Sebagai Wujud Eksistensi”, dalam Jurnal Kawistara Oktober 2014. “S.Sudjojono, Representasi Revolusi Pemikiran Seni terhadap Pembentukan Identitas Budaya”, dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah: Pemikiran Budaya Tokoh-Tokoh Di Indonesia, dan menjadi Nominasi Pertama pada 28 Juli 2014. “Mengkaji Ulang Estetika pada Pendidikan Seni: Estetika Nusantara Sebagai Haluan Pendidikan Seni Indonesia Masa Depan”, dalam Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Seni #2, Reorientasi Pendidikan Seni di Indonesia. Jurusan Pendidikan Seni Rupa FBS UNESA 2014.. “Analisis Hibriditas dalam Seni Pertunjukan Dangdut Sebagai Representasi Perkembangan Seni”, dalam Prosiding Seminar Pendidikan Seni Pertunjukan Indonesia Masa Kini. Jurusan Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni, UNESA 2014.
Kontak: 08568780707, michael.raditya@gmail.com





[1] Anderson dalam Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. (Jakarta: Balai Pustaka,1994), hlm. 288.
[2] Penggunaan kata Pergelaran ditujukan pada pergelaran wayang. Oleh karena itu, setiap kata pergelaran selalu diikuti kata wayang. Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas pertunjukan wayang atau memperlihatkan view yang lebih spesifik, sedangkan kata pertunjukan ditujukan untuk pergelaran wayang secara umum sebagai sebuah kesenian-kesenian pada umumnya. Pertunjukan mengarah ke arah nilai pertunjukan umum.
[3] Umar Kayam, “Pertunjukan Rakyat Tradisional Jawa dan Perubahan,” dalam Heddy Shri Ahimsa Putra, Ketika Orang Jawa Nyeni. (Yogyakarta: Galangpress, 2000), hlm. 390.
[4] Umar Kayam, Ibid.,  hlm. 390.
[5] Maecenas adalah seseorang yang mempunyai kedermawanan terhadap seni.
[6] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi II: Pokok-pokok Etnografi. Cetakan Ketiga. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hlm. 19.
[7] Sunarto,  Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta: Sebuah Tinjauan  tentang Bentuk, Ukiran, Sunggingan. (Jakarta: Balai Pustaka, 1989,) hlm. 13.
[8] Kanti Walujo, Dunia Wayang: Nilai Estetis, Sakralitas dan Ajaran Hidup. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 6-7.
[9] Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. (Jakarta: Gunung Agung,1979), hlm. 15-16.
[10] Sri Mulyono,  Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. (Jakarta: Gunung Agung, 1979), 9.
[11] Sunarto, Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta: Sebuah Tinjauan  tentang Bentuk, Ukiran, Sunggingan. (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 15.
[12] Kusumajadi, “Wayang Kulit Buto Terong Gaya Yogyakarta,” dalam Majalah Mahasiswa SANI. (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta, 1970), hlm. 49.
[13] Suharyoso SK, “Teater Tradisional di Sleman, Yogyakarta: Jenis dan Persebarannya,” dalam Heddy Shri Ahimsa Putra (ed.),  Ketika Orang Jawa Nyeni. (Yogyakarta: Galangpress, 2000), 49.
[14] Victoria M. Clara van Groenendael, Dalang di Balik Wayang. (Jakarta: Pustaka Utama Grafis,1987),  hlm. 6.
[15] Suharyoso SK, Op. cit.
[16] Suharyoso SK, Op. cit., hlm. 50.
[17] Ibid.
[18] Murray Forman, The Hood Comes Fisrt: Race Space, and Place in Rap and Hip Hop. (Middletown, CT: Wesleyan University Press, 2002),  hlm. 9.
[19] Reiland Rabaka, Hip Hop’s Inheritance: From the Harlem Renaissance to the Hip Hop Feminist Movement. (Maryland: Lexington Books, 1972), hlm. 5.
[20] Craig Sm Watkins, Hip Hop Matters. (Boston: Beacon Press, 2005), hlm. 62.
[21] Janis Androutsopoulos, Global, Linguistic Flows: Hip Hop Cultures, Youth Identities, and the politics of language. (New York: Routledge, 2009), hlm. 43.
[22] Dany Hoch, Journal Towards A Hip-Hop Aesthetic: A Manifesto for the Hip Hop Arts Movement. (New York: Routledge,  2006), hlm. 3.
[23] Craig S Watkins, Hip Hop Matters. (Boston: Beacon Press, 2005), hlm. 61.
[26] Michael HB Raditya, “Hibriditas Musik Dangdut dalam Masyarakat Urban,” dalam Journal of Urban Society’s Arts. Vol. 13. No. 1 April 2013, hlm. 13.
[27] Homi K. Bhaba, The Location of Culture. (London, New York: Routledge, 2007), hm. 124-126.
[28] Robert J.C.Young, Hybridity in Theory, Culture and Race. (London: Routledge, 1995), hlm. 9.
[29] Homi K. Bhaba, The Location of Culture. (New York: Routledge, 2007), hlm. 4.
[30] Homi K Bhaba, The Location of Culture. (London, New York: Routledge, 2007), hlm. 126.
[31] Homi K Bhaba, The Location of Culture. (London, New York: Routledge,  2007), hlm. 112-115.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images