Kontestasi Kekuasaan dan Keteladanan Semu di Indonesia

00.40


Michael H.B. Raditya


Abstrak
            Kepemimpinan di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk ditelaah. Jika bertolak dari tataran diakronis, secara kronologis Indonesia telah mengalami pelbagai macam fase kepemimpinan dan rezim. Ihwal ini dapat menjadi stimulan positif jika masyarakat dapat mengartikulasikan pengalaman bernegaranya dengan tepat. Kontestasi kekuasaan pun tidak dapat terhindarkan, terlebih setiap pemimpin melakukan persaingan dalam memperebutkan kekuasaan. Kontestasi ini tidak hanya merujuk pada tingkat lokal, namun hingga tingkat nasional. Berbagai aspek pun turut menjadi faktor utama dari kontestasi tersebut, seperti tipe kepemimpinan aristokrasi dan demokrasi, hingga perbedaan gender pemimpinnya. Ihwal tersebut turut mengejewantahkan bahwa keteladanan yang didasarkan atas beberapa kontekstual, bersifat pseudo, atau semu. Dalam mengupas ihwal tersebut, telaah yang digunakan merujuk pada pemahaman Barker akan agen, dan Gramsci akan hegemoni. Tidak hanya itu, Kouzes dan Posner digunakan untuk menilik parameter keteladanan. Asumsi penulis, keteladanan merupakan unsur yang tercipta untuk menghegomoni agen di dalamnya. Bertolak dari mempertanyakan keteladanan, maka pembahasan akan lebih mempertimbangkan aspek agen, hegemoni dan kuasa. Penulis menyadari bahwa tidak mungkin meneliti semua pola kepemimpinan yang ada di Indonesia, maka rujukan contoh kepemimpinan didasarkan pada beberapa contoh di era kolonial, orde lama, orde baru, dan pemerintahan kini. Penelitian ini mencoba untuk mengupas persoalan keteladanan dalam kepemimpinan yang kerap diunggulkan kepemimpinan yang ada di Indonesia.

Kata kunci: Kontestasi Kuasa, Keteladanan, Hegemoni, Agent, Pemimpin

Abstract
Leadership in Indonesia is an interesting issue to be discussed. If starting from the diachronic things, chronologically of Indonesia has experienced various kinds of phases of leadership and regime. These particulars are a positive stimulant if the society realizes the experiences of their nation. Any contestation of power cannot be avoided; especially every leader did competition for gaining power. This contestation does not only refer to the local level, but to the national level. The type of leadership, such as:  democracy and aristocracy; gender differences leaders; etc, was stimulating as a main factor of contestation. This discussion realized the 'representative' is pseudo, or fake. In this article, i used concept agent (Barker), hegemonic (Gramsci). Then, concept from Kouzes and Posner used to discuss about leadership. I assume, "representative" is elements that created to hegemonic every agent. The discussion will consider the aspects of agents, hegemony and power. I recognized that leadership pattern in Indonesia is too huge and impossible to research. The example of leadhership based on, colonial era, orde lama, orde baru, and now. This article attempt to explore the issue of leadership that often favored to discussed.

Keywords: Power Contestation, Representative, Hegemnoy, Agent, Leadership.


PENDAHULUAN
Perihal tentang pemimpin merupakan sebuah tema yang menarik untuk dibahas secara mendalam. Setiap lingkup yang didasarkan pada pelbagai faktor seperti: teritori, sosial, agama, politik, budaya, keamanan, yang terdiferensiasikan atas komunitas kecil dan besar, turut membentuk mekanisme kepemimpinan. Dalam ihwal ini, pemimpin menjadi sosok yang sentral, yakni: mengatur, mengorganisir, dan mempunyai kuasa dalam mengolah komunitasnya sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan. Setiap komunitas dalam bingkai apa pun membutuhkan pemimpin sebagai pengatur kuasa. Mengamini ihwal tersebut, Kartakusuma (2006:5) menyatakan bahwa para pemimpin senantiasa muncul dan tetap dibutuhkan oleh masyarakat di setiap tempat, waktu, serta dalam segala situasi dan kondisi. Setiap pemimpin akan memimpin masyarakat dari komunitasnya masing-masing, dan batas kepemimpinan dari sebuah komunitas adalah komunitas lainnya.
Keberadaan antara satu komunitas dengan komunitas lainnya tidaklah pasif. Mereka saling berkelindan, berhimpitan, hingga bersaing satu sama lain. Kekuasaan komunitas tidaklah bersifat absolut atau tunggal, kekuasaan mereka adalah pseudo. Pseudo di sini bermakna bahwa kekuasaan pemimpin terbatas akan kepemimpinan lainnya. Ihwal ini dapat dilihat dari kontestasi partai politik yang saling memperebutkan kekuasaan politik mereka di masyarakat, contoh: pemilihan umum Presiden 2014 yang lalu, di mana kekuasaan setiap partai terbatas akan partai lainnya. Dalam ihwal ini Sangaji (2014:228) menjelaskan batas politik Jokowi ada pada rivalnya, Prabowo. Alhasil sebuah komunitas sadar atas keliyanan mereka, terlebih jika dikomparasikan. Keliyanan yang dikonstruksi, baik secara individual dari pemimpin, maupun kolektif atas partisipatoris anggota di dalamnya –contoh paling dekat adalah pada era pemilihan presiden untuk Jokowi–, menjadi daya pesona sebuah komunitas. Keliyanan dari komunitas turut membentuk eksistensi sebuah komunitas semakin melonjak tinggi.
Selain ihwal tersebut, lazimnya popularitas dari sebuah komunitas tidak hanya merujuk pada komunitas itu sendiri, namun pada keberadaan pemimpin dari komunitas. Ihwal yang paling kentara terkait pentingnya pemimpin adalah ketika pemilu presiden 2014 kemarin, di mana setiap partai mencari nama beken untuk menjadi calon presiden mereka. Seperti pada partai Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang turut mempromosikan penyanyi dangdut kenamaan Hj. Rhoma Irama, dan pencalonan yang paling fenomenal, Jokowi oleh PDI Perjuangan. Menurut pernyataan Jokowi sendiri, bahkan dirinya turut dipinang tiga partai, baik sebagai calon presiden maupun wakil presiden.[1] Ihwal ini menandakan bahwa sosok pemimpin turut diperlukan dalam sebuah kontestasi kepemimpinan.
Jika seorang pemimpin terpilih, keberhasilan sebuah komunitas turut dikaitkan pada otoritas pemimpin. Dalih “keteladanan” kerap menjadi efek popularitas dari seorang pemimpin dalam mengatur komunitasnya. Teladan diartikan sebagai implikasi positif yang kerap terjadi ketika seorang pemimpin berhasil. Kecenderungan yang kerap kita temui adalah keberhasilan acapkali dikaitkan dengan sebuah keteladanan, terlebih patut dijadikan contoh untuk pemimpin selanjutnya. Namun apakah benar keteladanan merupakan terma yang representatif dalam mengasosiasikan keberhasilan seorang pemimpin?
Hipotesa yang terbangun adalah persoalan atas keteladanan dalam kepemimpinan inilah yang acapkali kita temui. Secara praksis masyarakat mendaulat seorang pemimpin mempunyai jiwa teladan yang perlu ditiru. Pembahasannya pun kerap kali hanya mempersoalkan kepemimpinan yang berujung pada sifat dasar dan psikologi pemimpin. Padahal, perihal kepemimpinan tidak hanya dilihat sebagai wujud moral atau pembagian dari jenis sifat dasar manusia semata, terdapat pemahaman yang lebih mendalam terkait kepemimpinan itu sendiri. Sebagai pertimbangan, kenyataannya setiap geo-kultur mempunyai pola pikir dan pemahaman tersendiri atas pengertian dan ihwal ideal dari kepemimpinan.
Alasan konkret dari persoalan ini adalah negara merupakan komunitas besar yang mengakomodasi kepentingan komunitas kecil (lokal), hingga komunitas terkecil (basis masyarakat). Tidak dapat dipungkiri bahwa di bawah kepemimpinan negara terdapat kepemimpinan-kepemimpinan yang lebih kecil dalam cakupan kelompok, baik bersifat teritori ataupun kepentingan. Tidak berhenti sampai tataran tersebut, lalu bagaimana kita mengklasifikasikan kepemimpinan lokal dengan basis mandiri? Apakah kepemimpinan hanya diartikan secara harafiah? Bagaimana seorang pemimpin yang melingkupi masyarakat dalam sebuah tradisi tertentu? Sudah barang tentu jika pelbagai daerah memiliki pola dan mekanisme kepemimpinan yang bertolak dari konstelasi sekitar. Bertolak dari ihwal ini, kontekstual dari kekuasaan sebuah kelompok merujuk pada pola-pola kehidupan, seperti kelompok agama, cendekia, sosial, politik, budaya, dan pendidik. Kelompok tersebut mempunyai pola dan mekanismenya masing-masing.
Jika seperti itu, apakah konstelasi yang beragam tidak dikategorikan sebagai faktor dalam kepemimpinan pada saat itu? Memang jika kita mengurai kembali perihal kepemimpinanan dalam diakronis waktu tertentu akan terlihat sangat paradoks. Acapkali kepemimpinan kerap menjadi akomodasi politik kekuasaan dalam sebuah teritori. Terbetik dari ihwal di atas, penulis akan turut mengkomparasi beberapa contoh yang tujuannya menjadi pemantik dalam mencermati kepemimpinan baik secara lokal, maupun lingkup yang lebih luas. Contoh terapan yang bertolak di Indonesia akan memberikan pemahaman yang setidaknya sudah teralami dan ketahui baik secara menyeluruh ataupun perbagian. Alhasil dari ihwal tersebut, logika yang ingin ditawarkan adalah pemetaan atas kepemimpinan yang terdapat di sekitar kita. Penelusuran yang akan penulis lakukan adalah wacana alternatif dalam melihat posisi kepemimpinan, sekaligus mempertanyakan kepemimpinan.

METODE PENELITIAN
Dalam mengurai kepemimpinan lokal secara artikulatif, metode yang diterapkan dalam artikel ini adalah kajian pustaka. Kajian pustaka dianggap tepat dalam membantu penulis menganalisis konstelasi yang terjadi. Lazimnya kajian pustaka disertai dengan data deskripsi yang rinci dan sistematis. Data ini dapat membantu penulis dalam mengkonstruksi kembali tajuk penelitian. Elaborasi dari kajian pustaka dapat membantu penulis dalam mempertajam data yang didapat. Data kajian pustaka yang digunakan adalah data historis, baik yang bersifat deskriptif, maupun analitik. Alhasil pemahaman berbeda dengan telaah mendalam menjadi tawaran pada artikel dalam mencermati pola dan mekanisme kepemimpinan di Indonesia.
Pada artikel ini, tujuan dari pembahasan adalah artikulasi dari pola-pola kepemimpinan yang ada. Pandangan dari sub bab tersebut adalah artikel akan diarahkan pada beberapa contoh terapan dari kepemimpinan yang dirangkum dalam satu sub bab. Setelah menegetahui berbagai macam pola kepemimpinan yang ada, maka analisa selanjutnya adalah mengurai pola dari berbagai macam kepemimpinan. Tidak berhenti sampai pola kepemimpinan, penulis mencoba mengintepretasikan kepemimpinan dengan konsep agen dari Barker, konsep hegemoni pada negara dari Antonio Gramsci, dan Kouzes dan Posner terkait praktik keteladanan. Telaah ini akan mengejewantahkan bahwa keteladanan perlu disikapi dengan cermat, serta dikritisi secara cakap.

PEMBAHASAN
Jika pembahasan tentang kepemimpinan mengarah pada pengertian secara harafiah dan typical dari kepemimpinan, sudah barang tentu pembahasan akan bersifat sangat monoton. Oleh karena itu, penulis akan mengantarkan pada pembahasan atas kepemimpinan dan polemiknya di Indonesia. Pembahasan dengan contoh terapan merupakan wujud pengejewantahan atas pemahaman kepemimpinan yang holistik.

Beberapa Kepemimpinan di Indonesia
            Pembicaraan mengenai kepemimpinan Indonesia sebenarnya persoalan yang sangat kompleks. Jika merujuk pada tataran diakornis, Indonesia terbagi atas beberapa rangkaian waktu. Rangkaian waktu yang paling nampak didasarkan pada sistem kepemimpinan negara –atau disebut Pontoh sebagai rejim (2012:215)–, seperti: masa kolonial Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, Demokrasi, dan sebagainya. Rangkaian waktu yang lebih spesifik dapat didasarkan oleh pemimpin negara di kala itu. Pengelempokan kepemimpinan berdasarkan kepala negara sebenarnya merupakan ihwal yang cukup mudah untuk dilacak, alasannya setiap kepala negara mempunyai sistem baru dalam pemerintahannya. Seperti pada zaman Soekarno dengan rejim nasionalis-populisnya, lalu Suharto dengan rejim orde barunya, dan setelah Orba tumbang muncul rejim electrical regime (Pontoh, ibid).
Jika beranjak pada beberapa dekade sebelumnya, persoalan kepemimpinan turut menjadi persoalan yang menarik untuk dikaji. Sistematika persoalan pun berbeda dengan kini, walaupun jika dibayangkan dalam tataran yang terwujud sebagai pola permainan beberapa agen kuasa dalam memperebutkan teritori dan sumber daya, baik alam maupun manusia. Contoh perang suadara antar Kerajaan Jawa, hingga perang antara masyarakat Indonesia melawan kolonial layaknya yang diungkapkan Charles Brooke (2013:137). Bertolak dari ihwal tersebut, persoalan kepemimpinan pada konstelasi yang berkembang beberapa saat lalu berbeda dengan konstelasi yang terjadi kini. Jika dibedakan sebagai “homogen” dan “heterogen”, ihwal ini mungkin dapat mewakili dalam melihat persoalan secara instan. Dapat dibayangkan bersama jika zaman kolonial perebutan kepemimpinan diperebutkan oleh masyarakat yang heterogen–didasarkan pada ras dan bangsa. Masyarakat lokal bersaing dengan masyarakat barat. Berbeda dengan sebelum masa kolonial dan kini yang diperebutkan oleh masyarakat homogen–diartikan sebagai kesamaan jenis ras dan bangsa.
Walaupun demikian perbedaan tersebut tidak menentukan kerumitan yang terjadi dalam memperebutkan kekuasaan, bahkan lebih terasa rumit jika perebutan kekuasaan dilakukan oleh sesama saudara (baca: masyarakat). Seperti ihwalnya pada perang suci antara Aceh dan Batak pada tahun 1539 yang memperebutkan kekuasaan (Pinto, 2010:39). Dalam ihwal ini, Aceh dan Batak tidak mempunyai perbedaan ras yang signifikan jika dikomparasikan dengan penjajah. Tidak hanya itu, gelagat perang saudara pun turut terjadi di beberapa tempat, seperti perang Padri di Sumatera Barat[2] pada tahun 1821, perang antar suku di papua yang masih kerap terjadi hingga kini, dan beberapa perang saudara lainnya.
            Bertolak dari perang se-ras atau saudara, berikut merupakan pemetaan kekuasaan dari sebelum masa kolonial hingga kini. Pada dasarnya, era sebelum kolonial merupakan era kepemimpinan dari kerajaan-kerajaan lokal yang didasarkan atas luas teritori kekuasaan. Merujuk Hans Antlöv, ia menyatakan bahwa,
Jawa Tengah dan Timur mendirikan kerajaan yang menyatu, sedangkan Jawa Barat tidak pernah mendirikan satu kerajaan Sunda yang menyatu. Kerajaan Sunda terakhir Pajajaran, menguasai Priangan pada abad ke 15 dan ke 17, hanya merupakan kerajaan simbolik di suatu lingkup wilayah yang luas. Negara-negara vassal yang mengelilinginya merupakan negara-negara otonom yang dipimpin oleh para bangsawan setempat sebagai ‘kepala-kepala wilayah yang mandiri’ dan para ‘panglima perang’ (Antlöv, 2002:26).
Telaah Antlöv pada masyarakat pra-kolonial telah membentuk sistem komunal yang kuat. Sistem komunal yang dipimpin oleh Raja membentuk sebuah kekuasaan otonom didasarkan pada luas teritori yang menjadi konsensus antar kerajaan. Tidak hanya di Jawa, beberapa teritori di tempat lain mengalami ihwal serupa. Seperti pada beberapa tempat di Gayo di Sumatera[3], Jawa[4], Tolaki di Sulawesi[5] pun mempunyai pola kepemimpinan teritori yang serupa.
            Setelah masuknya Belanda lewat jalur perdagangan dengan VOC-nya, sistem kekuasaan sedikit demi sedikit turut berubah. Perubahan pun tidak serta merta terjadi secara drastis, pihak VOC mulai memasuki dengan perlahan. Antlöv (2002:27) menyatakan bahwa:
Pada tahun 1677 setelah penaklukan Belanda, para bangsawan Sunda tetap memegang monopoli kekuasaan mereka. Bahkan kekuasaan tersebut diperkuat oleh Belanda yang memerintah Priangan melalui sistem pemerintah tidak langsung. Para penjajah ini memerintah melalui para penguasa lokal (Bupati) yang memberi perintah lebih lanjut lewat para bangsawan birokrat.
Dari telaah sejarah yang dilakukan Antlöv, pihak kolonial memasuki kepemimpinan Indonesia secara perlahan. Setelah para bangsawan semakin diuntungkan oleh pihak kolonial, lalu mereka menyusun sebuah skema atas kolonialisasi yang lebih besar. Pihak kolonial menyatakan kepada penduduk bahwa kepala desa dan bangsawan lokal merupakan wakil pemerintah (Antlöv, 2002:30). Pada dasarnya Antlöv pun telah menyadari bahwa ihwal tersebut merupakan wujud kekuasaan seseorang kepala desa  merupakan kekuasaan yang bergantung terutama pada kekuasaan dari luar, dan pada ihwal ini adalah kekuasaan kolonial. Pada era tersebut muncul sistem tanam paksa yang merugikan masyarakat lokal, dan menguntungkan para kepala daerah yang ditunjuk, bangsawan, dan pihak kolonial itu sendiri.
            Tidak hanya di pulau Jawa, konstelasi kolonial turut terjadi pada kepemimpinan masyarakat Minahasa, Godée Molsbergen dalam Schouten (1998:44) menyatakan bahwa:
VOC officials made several efforts to reorganize indigenous leadership. The fragmentation of Minahasa into many political units, and the lengthy deliberations that had to be held within each walak before any decision could be taken, hindered the VOC in its communications. The Company thought it had found a solution at the end of the seventeenth century when it placed the leaders of a handful of walak above their colleagues in the other walak; these more highly placed men were to act as representatives and spokesmen for the whole of the Minahasan people, and were given the authority to settle legal matters themselves, as long as they informed the Resident in advance.
Telaah Schouten menunjukan bahwa yang dilakukan oleh pihak VOC kepada masyarakat Minahasa pun sangat politis. Mereka memberikan sebuah sistem atas kepemimpinan pedalaman/tradisional (merujuk artian indigenous). Dari ihwal tersebut dapat dipetakan bahwa kepemimpinan tradisional diatur oleh pihak kolonial. Schouten pun turut menelaah pola yang terjadi pada konstelasi kolonial dan setelahnya. Schouten (1998:271) dalam penelitian tentang masyarakat Minahasa-nya menyatakan bahwa:
In later generations district chiefs were further integrated into the colonial administrative system. Their functioning, however, also showed paradoxes. While assuming more and more of the features of bureaucrats, they still cherished their hereditary privileges.
Kuasa kolonial yang membentuk sistem administratif menjadi perangkat generatif yang sangat kuat dan berimplikasi pada sistem masyarakat lokal.
Pada era selanjutnya, kepemimpinan di era penjajahan Jepang tidak berubah banyak, bahkan lebih parah dibanding kolonial Belanda. Jepang lebih berkonsentrasi pada penyusunan kekuataan perang mereka. Alhasil pemerintahan Indonesia pada saat itu turut porak poranda. Ihwal ini pun turut diperjelas oleh K’tut Tantri (2012:137), ia menyatakan bahwa:
Jepang sudah sangat dibenci di sini (Bali), jauh lebih dibenci daripada Belanda pada masa-masa kekuasaan mereka. Mereka arogan dan sombong. Baik di Jawa maupun Bali mereka telah mengumpulkan ribuan orang Indonesia –laki-laki dan perempuan dari kampung-kampung dan mengirim mereka sebagai budak pekerja bagi negara lain. sejumlah besar telah pergi ke Malaya dan Burma. Dan ada pertanyaan mengenai makanan. Di setiap tempat, Jepang menyita beras dan mengirimkannya untuk menyokong pasukan mereka di penjuru Asia Tenggara. Penduduk Indonesia mulai kelaparang. Lebih Jauh lagi, Jepang telah menutup semua hotel terbaik untuk orang Indonesia, memperlakukan bahkan pejabat tinggi Indonesia seolah mereka rendah.
Gambaran dari Tantri pun turut menjelaskan keadaan yang terjadi di kala itu. Secara etnografis Tantri telah mengemukakan ihwal yang sebenarnya ketika itu, di mana Indonesia semakin menderita dalam kolonial Jepang. Indonesia tidak mempunyai posisi tawar dalam keberadaannya. Sekali lagi, masyarakat Indonesia menempati tingkatan stratifikasi yang paling rendah.
Beranjak dari masa kolonialisasi, kemerdekaan Republik Indonesia pun terjadi. Antlöv (2002:49) turut berpendapat bahwa pada dekade ini desa sudah tersatukan sebagai lapis administrasi terbawah negara Indonesia. Tugas utama mereka adalah menjalankan urusan-urusan setempat. Menguasai teritori dan bermuara di pusat negara, ibukota. Namun, tidak sejalannya pemikiran revolusi terhadap birokrasi Indonesia menjadikan sistem kepemimpinan bergerak statis. Tidak terjadi perubahan yang signifikan atas sistem pemerintahan. Pola-pola yang ditanamkan dari era kolonial dalam mengontrol masyarakat dalam teritori terkecil turut digunakan. Walaupun dalam ihwal ini Soekarno turut mengapropriasi konsep kolonial pada negara buatannya, namun beberapa kepentingan (Pontoh, 2012:215) turut membuat kepemimpinan Soekarno lengser.
Pada era selanjutnya merupakan era Suharto dengan Orde Barunya. Barisan militer turut mengisi pos-pos kekuasaan di lingkup masyarakat. Berbeda dengan Sukarno yang membawa ideologi revolusi pada pemerintahan Orde Lama-nya, Suharto membawa ideologi pembangunan pada pemerintahan Orde Baru-nya. Pontoh (2012), turut menyatakan bahwa Rejim Orde Baru bergandeng mesra dengan negara, yang oleh Robinson, dikatakan, ‘negara Orba menjadi bagian integral dari perkembangan kapitalisme dan kelas kapitalis Indonesia’. Tidak hanya pada kota, kapitalis turut mempengaruhi secara menyeluruh. Perbedaan ini pun turut terlihat pada pola kepemimpinan desa, Antlöv (2002:54) melihat gelagat orde lama tidak terlalu tertarik menjadikan desa sebagai ajang mobilisasi politik. Sedangkan kabinet pertama Suharto pada tahun 1967 disebut Kabinet Pembangunan.
Kabinet ini mempunyai banyak program untuk pembangunan dalam masyarakat, walaupun agen-agen pemerintah mengawasi penyaluran kredit dan input-input teknologi, distribusi sarana produksi, dan harga barang (Antlöv,2002:55). Selain itu Antlöv (2002:57) juga menyatakan bahwa pemerintahan orde baru mempunyai pola kuasa yang sangat besar dan berpengaruh kepada masyarakat, ia menyatakan bahwa:
Pemerintah Orde Baru secara efektif mampu melakukan monopoli terhadap semua jalur kekuasaan tanpa mendapatkan perlawanan yang berarti. Kekuasaan yang mutlak pada hampir segala dinas administratif bersama dengan hirarki kompleks satu sistem pemerintahan serta pembatasan aktivitas partai politik, memberi pemerintahan orde baru kekuasaan yang nyaris tidak terbatas untuk mengatur aktivitas institusi maupun individu. Kerangka semacam ini memberi ruang yang amat sempit bagi pengaruh kerakyatan terhadap kalangan birokrat dan program pembangunan.
Telaah di atas sangat menjelaskan bahwa kekuasaan terendah masyarakat pun dikuasai oleh pemerintah pusat. Kekuasaan pimpinan tradisional tidak mempunyai arti yang besar dibandingkan dengan kekuasaan menyeluruh milik Suharto. Kekuasaan dan kepemimpinan yang mendarah daging pun terlaksana dengan program-program yang wajib dilakukan. Program yang penuh dengan dogma kuasa dari pemerintahan pusat. Kepemimpinan tradisional pun diredup oleh kekuasaannya. Ihwal yang paling dapat dirasakan adalah banyaknya oknum militer  jawa yang menjadi kepada daerah di sebuah daerah. Tentu ihwal ini sangat meredupkan kepemimpinan tradisional, dan menguatkan pimpinan pusat.
            Pemerintahan Indonesia tidak berhenti di era Orde Baru, terdapat era demokrasi yang diusung oleh para mahasiswa dalam menggulingkan kekuasaan Suharto di tahun 1998. Terbentuknya era demokrasi nampaknya sedikit berubah dengan sistem kepemimpinan. Pada saat itu rentetan tuntutan yang pada ahirnya membawa pelaku politik dalam pertarungan sengit. Munculnya tuntutan yang pada satu sisi berisikan jaminan bagi kebebasan kelompok dan individu sedang pada sisi lain, menuntut pertanggung-jawaban kekuasaan sebelumnya telah memaksa penguasa transisi untuk diharuskan memberi respon (Patria dan Arief,1999:vi). Dari telaah barusan, bahwa suara terkekang semakin muncul ke permukaan, dan merunut dua ihwal yang sebelumnya tidak didapat di era orba, kebebasan bersuara dan pertanggung-jawaban atas masa lalu.
Selain itu ideologi yang diinginkan masyarakat adalah otonomi, putra daerah pun mulai bermunculan walau terasa sangat masif tanpa adanya filter yang ideal. Demokrasi memberikan masyarakat bersuara, ihwal ini tidak terjadi pada era sebelumnya, era orde baru. Era demokrasi pun berganti wajah kepemimpinan, namun nampaknya kita belum benar mengetahui maksud demokrasi itu sendiri. Sistem pemerintah menjadi sangat terbuka tanpa adanya kurasi yang baik. Walaupun demikian adapun ihwal yang disukuri, beberapa putra daerah muncul secara serius dan mulai memimpin daerahnya masing-masing. Seperti pada beberapa putra daerah yang menjabat gubernur, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, Basuki Tjahja Purnama, Ganjar Pranowo, dan beberapa lainnya. Tidak hanya itu, bahkan belakangan ini pemimpin daerah yang bersinar pun turut dipercaya memimpin negara.
Tidak dapat ditampik bahwa kita akan selalu mencari formulasi ideal, seorang pemimpin terpusat layaknya Sukarno dan Suharto, hingga pemimpin daerah yang menjadi pusat layaknya Joko Widodo, semua dapat dinilai berdasarkan atas kontekstual dari konstelasi yang terjadi. Pada dasarnya Joko Widodo merupakan wujud pengejewantahan atas pemimpin teritori yang berhasil dalam melancarkan kekuasaannya dengan baik. Alhasil pemimpin teritori yang lebih kecil dapat menstimulasi masyarakat yang lebih besar untuk memintanya menjadi pemimpin dalam teritori yang lebih besar. Ihwal tersebut memang sangat tidak asing dengan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo merupakan contoh sukses dari bertolaknya kepemimpinan lokal ke kepemimpinan nasional.
Kepemimpinan berbasis teritori memang menjadi peluang yang paling koheren dalam memimpin teritori lainnya. Jika kita telaah lebih dalam, ihwal tersebut merupakan wujud nyata dari kontestasi kekuasaan antara pemimpin yang satu dengan yang lain. Kontestasi menjadi ihwal yang lazim diterapkan dalam pelbagai pemililihan kepemimpinan.

Mengurai Pola Kepemimpinan
Perbincangan pola kepemimpinan tidak serta merta mengartikan segala bentuk kepemimpinan sebagai sesuatu yang terpola dan tidak terurai. Nyatanya, kepemimpinan merupakan sebuah dialog yang perlu diurai dan didialogkan, karena secara otomatis, pola kepemimpinan turut membentuk atau terbentuk atas sistem dan mekanisme kepemimpinan. Pola tidak diartikan sebagai sebuah tindakan yang mati, namun terus berjalan ketika terdapat sistem dan mekanisme di dalamnya. Oleh karena itu, kepemimpinan tidak dapat dimaknai sebagai kepemimpinan semata, namun terdapat alasan kontekstual kepemimpinan menjadi “teladan”. Setidaknya terdapat pelbagai faktor dalam mengurai pola kepemimpinan, tetapi penulis hanya merujuk pada beberapa pola saja dalam mengejewantahkan keberagaman tersebut. Keberagaman pola yang diurai akan mempelihatkan bahwa kepemimpinan sangat kontekstual dalam keberlangsungannya.
Pola pertama yang terjadi dalam kepemimpinan di Indonesia adalah pola yang terbentuk dari kontekstual kebudayaan dan gender, yakni kepemimpinan berdasarkan keturunan. Jika ingin merunut lebih jauh, kita akan berkaca dari terapannya, seperti: bagaimana memposisikan sistem kepemimpinan yang dibedakan atas sistem keturunan seperti matrilineal, patrilineal, bilineal, ambilineal, dan bilateral (Koentjaraningrat, 2007:149). Sistem keturunan tersebut terbentuk berdasarkan konstelasi yang terjadi di tiap teritori yang berbeda. Di Indonesia sendiri, dalam teritori kedaerahan, sistem keturunan kepemimpinan yang kerap kita jumpai adalah patrilineal, sistem keturunan yang didasarkan dari garis ayah. Namun, sistem keturunan yang didasarkan garis keturunan ibu, matrilineal, pun turut berkembang di beberapa teritori di Indonesia, salah satu contohnya adalah Minangkabau. Beberapa daerah lainnya, terlebih mereka yang sudah menganut globalisasi dan kultur urban, lebih mengarah pada bilineal. Ihwal lain yang terbetik dari sistem kepemimpinan garis keturunan adalah, proses pematangan seorang pemimpin lokal (baca:daerah) dalam memimpin kelompok yang didasarkan pada kriteria dengan konsensus yang disepakati masyarakat. Di mana seorang pemimpin mempunyai garis keturunan, atau paling tidak memiliki gender yang sama dengan pemimpin sebelumnya.
Salah satu terapan yang tidak habis diperbincangkan adalah sistem aristokrasi kesultanan Yogyakarta. Kota keraton ini bertalian dengan kedudukan raja dan para keturunannya (Surjomihardjo, 2008:1). Seperti pergantian raja dari Hamengkubuana I hingga 10, bahkan terdapat kabar miring tentang dilantiknya Hamengkubuana yang ke-11 oleh Paguyubuan Trah Ki Ageng Giring[6]. Pergantian Hamengkubuana 1 hingga ke-10 didasarkan oleh sistem keturunan atau darah dari penguasa sebelumnya. Ihwal ini cukup menarik untuk ditelusuri, terlebih posisi aristokrasi di Yogyakarta diaplikasikan di sebuah negara merdeka yang kini menganut sistem demokrasi. Walaupun sistem raja Yogyakarta dialihkan menjadi sistem kekuasaan gubernur, sistem Hamengkubuana tetap berjalan hingga kini –termasuk sistem aristokrasinya. Alhasil turut terbentuk sistem stratifikasi sosial antara raja dan masyarakat. Stratifikasi ini memberikan perbedaan yang signifikan dalam kekuasaan dan pengaruh di teritorialnya. Di mana setiap masyarakat dalam teritori raja harus tunduk pada kekasaan dari Hamengkubuana.
Masih pada pembahasan kesultanan Yogyakarta, persoalan kepemimpinan tidak serta merta hanya memperdebatkan tentang sistem keturunan, tetapi juga gender dari pemimpin tersebut. Akhir-akhir ini, Yogyakarta dilanda pergolakan kekuasaan terkait pergantian sultan yang mengarah pada anak perempuan Sultan HB ke-10. GKR Mangkubumi diarahkan Sultan HB ke-10 untuk menggantikan dirinya sewaktu-waktu, namun para adik sultan menolak dengan alasan jika anak sultan perempuan maka penerusnya adalah adik laki-laki sultan.[7] Ihwal ini turut mengundang pro dan kontra, baik dari kalangan keluarga, maupun masyarakat umum. Beberapa kalangan menolak dengan dalih melanggar aturan dan tradisi, beberapa kalangan pun membela dengan dalih emansipasi. Ihwal ini tentu turut berkorelasi dengan kekuasaan yang didasarkan pada gender. Di mana terdapat penolakan pengangkatan dari GKR Mangkubumi menjadi putri Mahkota[8] yang nantinya akan menjadi pemimpin selanjutnya. Walaupun perkara sultan dan putrinya sangat problematic, namun setidaknya ihwal ini turut memperlihatkan bahwa masih sulitnya masyarakat menerima pemimpin yang didasarkan pada gender, terlebih perempuan.
Melanjutkan ihwal di atas, kepemimpinan yang didasarkan pada gender juga kerap menjadi problematika tersendiri. Sebuah penelitian posisi perempuan dalam ruang legislatif dilakukan oleh Siti Maryam, ia  menjelaskan bahwa:
Pemisahan peran antara laki-laki dan perempuan, secara individual disebabkan karena kedudukan seksnya. Perempuan sebagai pelahir dan pengasuh anak, menempatkan kedudukan mereka selalu menjadi urutan kedua setelah laki-laki (Maryam, 2003:164).
Dari telaah Siti Maryam dapat disimpulkan bahwa ihwal tersebut sangat didasarkan pada kontekstual atas keberadaan patriarki. Ihwal tersebut pun terjadi pada konstelasi yang terjadi kini, keberlangsungan konstruksi gender-sentris dalam kehidupan. Memang tidak dapat dipungkiri jika perkara gender masih menjadi persoalan dalam pemilihan kepemimpinan. Kesetaraan gender terbentuk karena kekuasaan patriarkis yang kuat. Perempuan diposisikan sebagai liyan, dan laki-laki sebagai laki-laki. Kekuasaan patriarki membentuk sebuah posisi laki-laki lebih dominan dibandingkan perempuan. Kekuasaan patriarkis turut membentuk sebuah dogma kultural akan posisi perempuan yang semakin termarginalkan. Tidak heran jika muncul feminisme dalam beberapa dekade belakangan.
Ihwal lainnya yang dapat menjadi pemantik kita dalam mencermati kepemimpinan adalah bertolak dari revolusi Perancis yang tertuang pada lukisan Liberty Leading The People karya Eugene Delacroix. Konstelasi yang dituangkan pada lukisan tersebut bertolak dari perubahan pola kepemimpinan yang berasal dari kaum aristocrat dengan sistem feodalisme sebagai pimpinan tertinggi, menjadi masyarakat madani yang mengidamkan demokrasi sebagai paham negara. Revolusi ini turut membuahkan prinsip baru Perancis menjadi liberte, egalite, fraternite (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Ihwal ini turut membuat pemimpin-pemimpin lokal mulai dipercaya menjadi panutan negara selanjutnya.
Pada dasarnya, perbedaan sistem keturunan yang terbagi atas pelbagai pemahaman mempunyai esensi yang kuat terhadap kontekstual masyarakatnya. Ihwal ini patut dipikirkan lebih lanjut, karena perbedaan sistem kepemimpinan yang didasarkan pada teritori, gender, kekuasaan kaum, dan sebagainya, terjadi tidak secara praxis semata, terdapat ideologi yang dikonstruksi dalam mendukung kontekstual dari kepemimpinan. Kontekstual turut membentuk kepemimpinan terus berlanjut dan dianut. Terlebih di Indonesia yang memiliki sistem tradisi dan adat istiadat yang masih kental. Dogma tetap mengikat pada konsepsi pikiran masyarakat. Alhasil setiap kepemimpinan dalam pelbagai latar belakang tetap dianut oleh masyarakat setempat. Namun apakah ihwal tersebut dapat secara mudah diartikan sebagai wujud tunduk kepada adat. Adat mempunyai efek hegemoni yang kuat kepada masyarakat adat di dalamnya.

Kepemimpinan: Agen dan Hegemoni
            Pada bagian sebelumnya merupakan rangkaian kepemimpinan yang didasarkan atas diakronik dan studi kasus pola kepemimpinan yang ada. Perubahan pola kepemimpinan dari satu masa ke masa lain didasarkan pada kontekstual yang terjadi di sekelilingnya. Beberapa terapan yang sudah dikemukakan menjadi sebuah model dalam melihat pola kepemimpinan tradisional dan kepemimpinan pusat. Sebenarnya, kepemimpinan baik dalam kategori tradisional, daerah, ataupun pusat, merupakan agen kuasa atas agen lain yang minim kuasa. Pada ihwal ini, tanpa tendensi berlebihan, agen yang minim kuasa dapat disebut sebagai kaum marginal atau subordinant. Marginal atau subordinant tidak meruijuk pada pemahaman yang teralineasikan, atau orang-orang tersingkir. Penyebutan marginal dilakukan untuk menyebutkan para agen yang tidak terlalu mempunyai kuasa, atau tunduk pada kuasa yang lebih besar.
Penyebutan individu atau kelompok menjadi agen dilakukan karena asosiasi yang sama. Agen memang kerap dipergunakan dalam konteks kuasa dan negara, atau kerap digunakan dalam perebutan sumber daya. Namun pada kali ini, agen yang dimaksud merujuk pada konsep agen melalui pemahaman Barker. Agen menurut Barker (2000:182) adalah:
Konsep agency kerap berhubungan dengan gagasan kebebasan, kehendak bebas, tindakan, kreativitas, orisinalitas, dan kemungkinan perubahan melalui tindakan agen bebas. Pada ihwal ini, gagasan keagenan merupakan sesuatu yang diciptakan secara sosial dan dimungkinkan oleh sumber sosial yang terdistribusikan secara berbeda-beda sehingga melahirkan berbagai derajat kemungkinan untuk bertindak dalam ruang tertentu.          
Dari telaah Barker, agensi memang dikembalikan pada artian harafiah sebagai individu atau kelompok yang mempunyai pola tindakan yang orisinal. Kebebasan menjadi wacana utama dari seorang agen, tetapi agen turut diciptakan secara sosial dan ditempatkan pada ruang yang berbeda-beda. Perbedaan sumber atau modal sosial inilah yang membedakan antara satu agen berbeda dengan agen lainnya. Kebebasan atas agen yang berbeda ruang sosialnya pun turut berbeda.
            Persoalan atas agen dalam kepemimpinan sangat merujuk pada konsep kekuasaan. Dapat dikatakan bahwa seoran agen yang notabene pemimpin merupakan seorang agen yang mempunyai kuasa dan terlegitimasikan oleh agen-agen disekitarnya. Tidak berhenti pada ihwal tersebut, agen yang terlegitimasi oleh agen lainnya akan memberikan kepatuhannya dalam bentuk konsensus. Konsensus yang terbentuk tidak terbentuk begitu saja, terdapat dogma yang turut mengatur seorang agen lainnya untuk patuh. Dogma yang diciptakan pun beragam, dari dogma atas kekuasaan, atas kuasa artistokrat, ningrat, dan sebagainya. Dari ihwal ini sangat terbukti bahwasanya kekuasaan menjadi modal agen tertinggi dalam sebuah kelompok. Setiap kelompok mikro pun tetap tunduk pada kekuasaan kelompok makro dan seterusnya. Kelompok makro pun tunduk dengan kelompok yang lebih besar, baik di lingkup teritori seperti daerah ataupun negara, maupun pola masyarakat rural ataupun urban, dan sebagainya
Pada sebuah lingkup kelompok terbesar di era kekinian, negara merupakan kelompok makro terbesar yang mempunyai kuasa tertinggi atas agen yang berada di teritorinya. Pembicaraan atas negara dan kuasa secara spesifik dilakukan oleh Antonio Gramsci. Gramsci (via Patria dan Arief, 1999:23) menyatakan bahwa:
Pada tingkat kesadaran individual, negara baru dirasakan keberadaannya manakala ia berbenturan dengan kekuasaan. Bahwa ada sebuah realitas kekuasaan di luar dirinya, yang berada pada atmosfir publik namun ternyata cukup berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Dari optic kekuasaan dan legitimasi dalam wacana politik, kenyataan itu kita sebut sebagai realitas kekuasaan negara dalam masyarakat.
Telaah Gramsci langsung merujuk pada kesadaran kekuasaan oleh agen atas kekuasaan pada atmosfir publik dan berpegaruh pada realitas sehari-hari, baik disadari maupun sebaliknya. Walaupun Gramsci bertolak dari analisa Marx, tetapi Gramsci mengisi kekosongan pada telaah Marx, Gramsci secara jeli menitikberatkan pada hegemoni.
            Pada ihwal ini kepemimpinan membutuhkan hegemoni dalam mensahihkan sebuah kekuasaan. Negara secara jelas membuat hegemoni untuk masyarakat. Hegemoni negara atau pemimpin membuat agen di sekitarnya –di bawah atau sejajar– dapat patuh kepada kuasa dari pemimpin. Tidak hanya pada lingkup yang paling makro, pada lingkup mikro pun hegemoni menjadi perangkat generatif masyarakat yang paling kerap digunakan. Lantas jika ternyata semua perkara hegemoni dan kuasa, masih adakah keteladanan dari seorang pemimpin? Pada ihwal ini terma “kepemimpinan” dapat disamakan dengan hegemoni yang mempengaruhi agen yang dimarginalkan, sehingga teladan itu dapat dikatakan sebagai terma penuh doxa dan hegemoni. Ihwal ini merupakan sebuah kritik untuk terma “keteladanan” dari seorang tokoh atau pemimpin. Oleh karena itu, sangat memungkinkan jika agen yang tersubordinasi menganggap hegemoni dari agen lainnya sebagai wujud keteladanan dari kepemimpinan.
            Secara lebih jelas, Gramsci pun turut menelaah Hegemoni secara spesifik. Menurut Gramsci (via Patria dan Arief, 1999:32), hegemoni diartikan sebagai:
Pada pengertian tentang situasi sosial-politik, dalam terminologinya disebut momen dimana filsafat dan praktek sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang: dominasi merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perorangan.
Hegemoni dapat merujuk pada praktek dominasi antara satu agen dengan agen lainnya. Dominasi pemimpin memang tidak dapat ditampik jika melihat perkembangan dari kepemimpinan secara umum. Lebih rinci, Gramsci (via Patria dan Arief, 1999:116) menyatakan bahwa hegemoni menunjukan sebuah kepemimpinan dari suatu negara tertentu yang bukan hanya sebuah negara kota terhadap negara-negara lain yang berhubungan secara longgar maupun secara ketat terintegrasi dalam negara “pemimpin”. Telaah Gramsci merupakan sebuah formulasi kekuasaan dalam lingkup besar yang dinaungi oleh hegemoni. Memang secara nyata setiap penguasa membutuhkan dominasi atas agen di bawahnya.
Jika ditarik pada terapan yang terwujud, ihwal ini merujuk pada kepemimpinan di Indonesia sejak era sebelum kolonialisasi hingga kini, baik dalam tataran masyarakat mikro maupun makro. Seperti pada masyarakat kerajaan di seluruh Indonesia saling membagi teritori antar kerajaan. Setiap kerajaan mempunyai agen penguasa dan agen rakyat jelata. Rakyat menjadi agen yang terhegemoni atas kekuasaan raja. Tidak berhenti pada era kerajaan, ketika kolonialisasi masuk ke Indonesia merupakan wujud hegemoni yang lebih besar. Penyatuan beberapa teritori di bawah bayang-bayang penjajah pun dilakukan. Hegemoni yang dilakukan pihak kolonial pun sangat politis, dimulai dari mendekati penguasa setempat, hingga menjadi penguasa utama.
Setelah masa kolonialisasi, perasaan dan solidaritas yang terbayang layaknya konsep Ben Anderson dengan Imagined Communitiesnya (2008) terjalin. Ketejalinan ini membentuk perasaan perlawanan bersama yang dipimpin agen lokal dengan kuasa yang besar, Sukarno. Tidak hanya pada era orde lama, era-era setelahnya pun mengikuti pola yang sama atas kekuasaan. Bahkan di era orde baru, hegemoni dan kuasa semakin kuat tertuju pada penguasa tertinggi, yakni Suharto. Hegemoni terbesar yang dibalut dengan kekerasan pun dibentuk. Memang jika dipandang dari sudut pandang kekuasaan, hegemoni dan kekerasan turut membentuk kekuasaan yang besar. Agen di orde baru mungkin mengalami marginalisasi yang sama kuatnya dengan kolonialisasi. Agen terendah ditentukan pola kehidupan seperti, produksi, distribusi, konsumsi, dan the way of life mereka.
Tidak hanya pada konstelasi yang baku layaknya tataran diakronis Indonesia, hegemoni turut terjadi pada segala pola kepemimpinan. Baik secara turun-temurun, gender, ataupun perubahan kaum. Pola kebudayaan yang merujuk pada laku kepemimpinan yang didasarkan pada patrilineal, matrilineal, dan sebagainya, merupakan wujud dogmatik dari sebuah hegemoni. Namun hegemoni turut dielaborasi dengan alasan kultural setempat dalam mengkonstruksi kekuasaan. Wujud seterusnya adalah pada pemilihan pemimpin yang didasarkan pada gender, di mana efek hegemonik pada pola pikir masyarakat turut menciptakan jurang pemisah bagi para perempuan yang bercita-cita menjadi pemimpin. Ihwal ini turut terjadi pada R.A. Kartini. R.A. Kartini merupakan wujud sukses dari emansipasi gender dalam mengakses dunia yang lebih luas. Namun ada ihwal lain yang membentuk dirinya dapat berkontestasi dengan dogma yang ada, sistem keturunan dan modal (Pane, 1945:2). Jika diamati secara mendalam, perkara kekuasaan merupakan wujud kontestasi dari kuasa seorang agen dengan agen lainnya. Ketika seorang agen mempunyai aksesibilitas pada ihwal yang lebih kuat, maka seorang agen dapat berkuasa dan mengembangkan hegemoni pada agen lainnya. Dalam ihwal ini Taylor membuktikan kontestasi kekuasaan pada masyarakat pabrik, di mana terdapat pemilik pabrik yang notabene pemegang kuasa menghegemoni para pekerja (dalam Patria dan Arief, 1999:130).
            Kendati demikian, hegemoni penguasa pun dapat tidak terjalin ketika tindakan tidak populer kelas penguasa (melalui Negara), atau meningkatnya aktivisme politik oleh massa yang sebelumnya pasif (Patria dan Arief, 1999:168). Contoh dari ihwal ini adalah ketika revolusi Perancis, di mana perubahan kepemimpinan dari kaum aristokrat menjadi demokrat. Selain itu, Indonesia pun pernah mengalami ihwal serupa, yakni pada era keruntuhan kekuasaan politik Suharto pada Mei 1998. Atas ihwal ini Gramsci menyatakan bahwa disposisi ini sebagai krisis hegemoni. Krisis hegemoni akan membuka peluang bagi pemimpin lokal untuk bangkit dan menunjukan hegemoni baru. Hegemoni baru akan bertarung dalam trayektori (baca: jalur) dengan hegemoni penguasa lama. Ruang pertarungan hegemoni ini akan membagi masyarakat dalam perbedaan ideologi dan kelas. Ihwal ini terjadi pada tahun 1998, dimana kerajaan Suharto runtuh dan kehilangan hegemoni “terwujud”nya. Walaupun hegemoni nirwujudnya acapkali tidak dapat dilepaskan setelahnya, tetapi hegemoni baru mulai bermunculan. Kontestasi agen-agen lokal dalam memperebutkan kuasa pun selalu dan terus terjadi.
            Lantas atas apa yang bisa dilakukan? Jika merujuk pola pikir Foucault atas kekuasaan yang membuat perubahan paradigm berpikir dari “siapa yang memiliki kekuasaan” menjadi “proses-proses yang membentuk subjek sebagai hasil pengaruh kekuasaan” (Sarup, 2011:112), yang bisa kita pikirkan adalah meletakan keteladanan pimpinan sebagai hegemoni sekaligus prasyarat atas kepemimpinan seperti yang dirujuk oleh Kouzes dan Posner. Dalam konteks keteladanan pemimpin, Kouzes dan Posner (2007) menyatakan ada lima praktik keteladanan, yaitu mencontohkan cara (Model the Way), menginspirasi visi bersama (Inspire a Shared Vision), menantang proses (Challenge the Process), memampukan orang lain untuk bertindak (Enable Others to Act), dan menyemangati jiwa (Encourage the Heart). Telaah Kouzes dan Posner nyatanya merujuk pada terma keteladanan yang diacu dan dianut oleh agen lainnya.
Keteladanan merujuk pada sosok percontohan yang inspiratif. Alhasil, jika ihwal tersebut dipantulkan dari kepemimpinan yang ada di Indonesia, setidaknya beberapa model keteladanan sudah terbentuk pada mekanisme pola kepemimpinan yang dimiliki oleh bapak Proklamator Indonesia, Soekarno. Soekarno dalam kepemimpinannya telah menginspirasi visi bersama, terutama lewat pidato dogmatiknya. Soekarno pun turut menantang proses pembentukan Indonesia dengan visi revolusi. Lewat pidato dogmatik dan laku karismatik ia mampu menstimulasi semangat jiwa masyarakat, dan menginspirasi khalayak untuk bergerak bersama. Laku tersebut terpantul dari kepemimpinan agen yang memiliki kuasa yang cukup besar. Prasyarat keteladanan kepemimpinan di atas merupakan wahana dalam menjalin hegemoni yang cukup kuat. Secara eksplisit, telaah ideal Kouzes dan Posner akan keteladanan tidak dapat diterapkan di Indonesia secara sempurna. Namun tidak dapat secara praktis jika kita mengatakan tidak ada keteladanan kepemimpinan di Indonesia, karena nyatanya keteladanan tidak hanya tercipta dari sikap, namun kontekstual setempat, seperti politik, budaya, atau sosial.
            Lantas apakah kelima model praktik keteladanan yang dikemukakan Kouzes dan Posner menjadi model harafiah di Indonesia ? Sayangnya, telaah Kouzes dan Posner hanya menjadi artian keteladanan yang harafiah. Untuk mencapai kelima artian tersebut bagi seorang pemimpin mempunyai liku-liku laku yang rumit. Tidak semua pemimpin berhasil melaksanakan kelima poin penting syarat keteladanan dari kepemimpinan. Terlebih dalam pembahasan sebelumnya, semua ihwal didasarkan pada tindakan hegemoni seorang agen kuasa.
            Ihwal lainnya yang kerap terjadi pada keteladanan dari kepemimpinan adalah, lazimnya keteladanan seorang pemimpin tidak terbentuk secara alamiah. Sekelompok orang yang menjadi pengikutnyalah yang mengusahakan seorang pemimpin dianggap sebagai teladan. Salah satu contoh nyata adalah ketika pemilu presiden 2014, di mana Prabowo Subianto –salah satu kandidat presiden– memberikan ide untuk menjadikan Suharto sebagai pahlawan nasional.[9] Kendati secara spontan ditolak oleh berbagai kalangan, dan tidak terealisasi. Namun ihwal ini merupakan upaya dari beberapa pihak untuk menjadikan seorang pemimpin menjadi teladan, walau berkebalikan dengan kenyataan sebenarnya.
            Pemimpin yang teladan memang menjadi cita-cita bersama setiap masyarakat. Mendamba seorang pemimpin yang teladan dan berjiwa besar merupakan impian dari setiap warga. Namun keteladanan kepemimpinan pada pemimpin Indonesia masih mengalami kesulitan karena berbagai alasan kontekstual, dan ihwal tersebut turut terbentuk di setiap tataran diakronis pemimpin Indonesia. Beberapa contoh yang digunakan seperti pada pembagian kekuasaan berdasarkan rezim, dan mengurai pola kepemimpinan yang didasarkan pada beberapa perihal kontekstual, telah mengejewantahkan bahwasanya keteladanan bersifat pseudo, atau semu.

PENUTUP
Persoalan atas kepemimpinan dan keteladanan memang perlu dibahas secara mendalam. Sejatinya keteladanan bukan hanya wacana ideal dari seorang pemimpin, dan perlu diurai secara jeli di tiap kepemimpinan dari seorang pemimpin. Dapat diibaratkan bahwa perosalan kepemimpinan merupakan pembicaraan yang fragile nan sensitif. Lazimnya kekuasaan seorang pemimpin tidak memberikan ruang yang pantas untuk ditelaah secara mendalam. Alhasil dari telaah dalam artikel ini dapat dilihat bahwa di dalam rezim yang terjadi di Indonesia, keteladanan merupakan sebuah terma utopis semata. Keteladanan tidak bersifat generik, keteladanan didasarkan pada kontekstual.
Tidak hanya itu, mengurai kepemimpian dalam pelbagai aspek menunjukan adanya kontestasi kekuasaan yang minim keteladanan. Kontestasi pun turut terjadi antar pemimpin yang berkuasa. Kekuasaan yang terbesar menjadi pemimpin yang lebih besar, dan seterusnya. Beberapa aspek seperti keturunan dan gender menjadi contoh dari pola kontestasi kepemimpinan. Terlebih kepemimpinan merupakan wacana kekuasaan dan dominasi atas kelompok serta individu. Kekuasaan pun sarat akan hegemoni dan dogma. Tanpa hegemoni, penguasaan akan agen akan terasa sulit. Merujuk pada konsep keteladanan (ideal), idealistik dari kepemimpinan pun terasa nisbi. Keteladanan menjadi wahana hegemoni atas sebuah wacana kuasa yang lebih besar.
Keteladanan hanya merujuk pada implikasi kronologis dari seorang pemimpin, ihwal itupun terealisasi ketika ada beberapa kalangan yang meneguhkan tersebut. Alhasil keteladanan lebih kerap bersifat rekayasa, atau berusaha dikorelasikan. Keteladanan adalah nilai, dan nilai-nilai positif dari pemimpin menjadi perbendaharaan atas sikap yang mendukung seorang pemimpin dikatakan teladan. Ya, ihwal ini memang dapat dikatakan sebagai hegemoni dan perebutan kuasa, tapi ihwal ini pun jangan terlalu cepat dianggap negatif, karena penelaahan ini merupakan wujud dari kontestasi kuasa para pemimpin. Beberapa contoh terapan atas konstelasi yang terjadi di beberapa daerah memberikan gambaran bahwa kekuasaan dan kepemimpinan bersifat semu, terlebih keteladanan. Keteladanan bukanlah terma tegas untuk seorang pemimpin, karena terma tersebut bersifat pseudo, bahkan diferensial –bisa dinegosiasikan.


DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict. 2008. Imagined Communities. Yogyakarta: Insist Press.
Antlöv, Hans. 2002. Negara Dalam Desa. Yogyakarta: LAPPERA Pustaka Utama.
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Theory and Practice. London: SAGE Publications.
Brooke, Robert. 2013. “Ekspedisi Melawan Dayak Laut (Iban) yang Gemar Berperang di Saribas”, dalam Kalimantan Tempo Doeloe, oleh Victor T King. Depok: Komunitas Bambu.
Kartakusumah, Berliana. 2006. Pemimpin Adiluhung: Genealogi Kepemimpinan Kontemporer. Jakarta: Mizan Publika.
Kartini, R.A. 1945. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat, 2007. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI-Press.
______________. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kouzes, J.M. dan B.Z. Posner. 2007.  The Leadership Challenge. San Francisco: John Wiley & Sons Inc.
Maryam, Siti. 2003. “Perempuan dalam Politik di Sulawesi Selatan”. Dalam Budi Susanto, Politik & Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Melalatoa, M.J. 1982. Kebudayaan Gayo. Jakarta: Balai Pustaka.
Patria, Nezar dan Andi Arief. 1999. Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pinto, Fernao Mendes. 2010. “Perang Suci Aceh Melawan Batak, 1539”, pada Sumatera Tempo Doeloe, Anthony Reid (ed). Jakarta: Komunitas Bambu.
Pontoh, Coen Husain. 2012. “Negara Bukanlah Kita”, dalam Merayakan Perbedaan. IndoProgress edisi II Januari 2012. Yogyakarta: Resist Book.
Sangaji, Anto. 2014. “Kapitalisme sebagai Problem Pokok: Menimbang Nasionalisme Sumber Daya Alam dan Korupsi di Pertambangan”, dalam Membedah Tantangan Jokowi JK. Tanggerang Selatan: Marjin Kiri.
Sarup, Madan. 2011. Poststukturalisme dan Posmodernisme. Yogyakarta: Jalasutra.
Schouten, M.J.C. 1998. Leadership and Social Mobility in a Southeast Asian Society. Leiden: KITLV Press.
Surjomihardjo, Abdurrachman. 2008. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe. Jakarta: Komunitas Bambu.
Tantri, K’Tut. 2012. “Bali Zaman Jepang”, dalam Bali Tempo Doeloe oleh Adrian Vickers. Jakarta: Komunitas Bambu.
Tarimana, Abdurrauf. 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.

Webtografi





[3] M.J. Melalatoa menyatakan bahwa pada era hindu, Gayo pun membentuk kekuasaan kerajaan hindu, salah satu kerajaan bernama Kerajaan Serule. M.J.  Melalatoa, M.J. Kebudayaan Gayo. (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hlm. 40.
[4] Jawa, tidak dapat dipungkiri bahwasanya kerajaan di Jawa tersebar di setiap sudut teritori pulau Jawa. Koentjaraningrat pun menyatakan bahwa konsep raja sebagai penjelmaan dewa memungkinkan bahwa seorang raja dalam suatu kerajaan kuno dapat memantapkan pemerintahan kerajaannya atas dasar keyakinan keagamaan rakyatnya. Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 41.
[5] Sulawesi, khususnya pada teritori Tolaki. Abdurrauf Tarimana menyatakan bahwa terdapat kerajaan Tolaki dan beberapa kerajaan kecil lainnya. Abdurrauf Tarimana. Kebudayaan Tolaki. (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 54.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images