Kaset Kini: Memutar Kembali, Merangkai Memori, dan Mencari Makna Baru

00.39


Michael H.B. Raditya
(michael.raditya@gmail.com)
LARAS – Studies of Music in Society


            Masih lekat diingatan khalayak terkait sebuah benda berbentuk segi empat; dengan dua buah lubang pada bagian tengah, dan berjarak simetris; diputar pada sebuah alat pemutar (tape); dan memproduksi suara, nada, alunan, serta lagu. Sungguh tidak asing di ingatan dengan aktivitas mendengarkan musik melalui media kaset berserta mekanismenya. Alih-alih terpuaskan dengan sebuah benda bersegi empat tersebut, kita malah memilikinya lebih dari satu, mungkin puluhan, bahkan ratusan. Juga tidak benam diingatan bahwa aktvitas mengkoleksi kaset bukan menjadi persoalan besar di kala itu. Bahkan masyarakat berlomba-lomba untuk mendapatkan kaset dari penyanyi kesayangan, atau penyanyi yang sedang naik daun.
            Namun pada medio 2000-an industri kaset harus dibuat patah hati oleh media lain yang lebih simpel, mp3. Mp3 menjanjikan sebuah cita-cita akan media musik tanpa nilai kebendaan layaknya seperangkat kaset dan pemutarnya. Hal ini tidak terhindari oleh setiap khalayak untuk turut mencoba dan menggunakannya. Masyarakat terlena, kaset semakin tenggelam, dan yang tertinggal hanya kenangan. Bermuara dari ingatan –atau kerap kita sebut romantisme–, industri kaset kini kembali merebak. Memang tidak masif, hanya beberapa kalangan mulai menggalakan. Namun ia hadir tidak hanya dengan modal ingatan lama, ia hadir dengan tawaran akan makna baru.
           
Mengartikan Musik Lewat Kaset
Pada dasarnya kaset dan masyarakat Indonesia mempunyai hubungan yang cukup akrab. Di masanya, kaset menjadi media untuk mendengarkan musik yang paling mudah diakses oleh masyarakat luas (baca:tanpa stratifikasi sosial)[1], terlebih jika dibandingkan dengan distribusi piringan hitam. Selain harga yang lebih murah, penggunaannya pun lebih simpel dan sederhana. Industri pembuat piringan hitam, macam Lokananta di Surakarta, serta Irama dan Remaco di Jakarta pun turut goyah terkena imbas atas kehadiran kaset.[2] Mereka akhirnya turut mengkonversi piringan hitam ke format kaset, dan setelahnya turut berkonsentrasi pada produksi kaset dan compact disk (CD). Di tengah maraknya penggunaan kaset, walkman (pemutar kaset portable) muncul sebagai sebuah fitur pemutar yang dapat digunakan tanpa mengenal waktu dan tempat. Praksisnya, seorang individu dapat mendengarkan musik di tengah jalan sekalipun. Dalam hal ini Burnett[3], turut mengartikulasikan bahwa terdapat pola perubahan pada aktivitas mendengar dan membeli.
Hanya bermodalkan dua hingga empat buah batu baterai, kita dapat mendengarkan sebuah kaset yang berdurasi 60 atau 90 menit, lebih dari sekali. Tidak hanya itu, memutar sesuka hati lagu-lagu hits dari penyanyi, ikut menyanyikannya, memberhentikan di bagian yang tidak disuka, mengulang-ulang refrain lagu kegemaran, menjadi privilege yang dimiliki oleh pemilik kaset dan pemutarnya. Hal ini pun berlaku untuk segala jenis genre yang ada. Bertolak dari hal ini, aktivitas mengoleksi kaset merupakan aktivitas mainstream, dan  menjadi kebiasaan perilaku masyarakat yang terjadi tidak hanya di Indonesia, namun juga di Dunia. Memandang puluhan kaset bertumpuk rapih di salah satu sudut ruang atau sebaliknya, telah menimbulkan sebuah perasaan yang berbeda. Berganti-ganti kaset dengan menyesuaikan suasana hati pendengar pun menciptakan sebuah perasaan yang nyaman untuk pendengar. Lantas persasaan apakah itu, mungkin dalam hal ini, terma terpuaskan yang bisa mengartikulasikan gelagat-gelagat penggunaan kaset. Terpuaskan karena kaset telah memuaskan ego pendengar akan kebutuhan auditif. Secara lebih spesifik, ego pendengar dan kebutuhan auditif merujuk pada relasi telinga dan musik.
Namun dalam hal ini, media yang mengantarkan musik kepada telinga tidak dapat diindahkan begitu saja. Dalam menstimulasi kesadaran tersebut maka saya turut memunculkan pertanyaan, bagaimana seorang individu dapat mengartikulasikan musik lewat media, yang dalam hal ini kaset? Tatkala kita mengartikan hanya sebagai benda saja, namun sejatinya para pendengar turut menyadari bahwa kaset bukanlah sekedar benda semata, kaset merupakan media ‘ril’ yang mengakomodasi kebutuhan auditif mereka. Tanpa kaset seorang individu kehilangan kepemilikan akan lagu. Kepemilikan akan suara dan kebutuhan auditif mereka. Alhasil kaset dapat diartikan lebih dari perihal kebendaan, namun sebagai sebuah nilai pertemuan antara telinga dan suara yang dipilih oleh individu secara langsung. Dalam hal ini kaset tidak terpisah dari musik, dan secara tersirat kaset menjadi bagian penting dari para pendengar.
Jika menilik lebih dalam terkait kaset dan aktivitas mengoleksi, kaset menjadi media yang dapat mengakomodasi kepemilikan dari seorang individu terhadap lagu –barisan lirik dan untaian suara dari penyanyi. Namun hal ini tidak dapat diartikan secara gegabah sebagai transaksi ekonomi yang mencari keuntungan semata, namun merujuk pada konsep komoditas milik Arjun Appadurai (1986), komoditas yang didasarkan pada nilai kontekstual, dan terdapat nilai dalam sebuah pertukaran. Alhasil, setidaknya terdapat dua poin penting yang dapat kita anggap sebagai ejawantah dari relasi individu dan kaset. Pertama, harga kaset yang relatif terjangkau membuat sebuah kaset dapat diakses secara masif. Dengan persebaran yang dilakukan, kaset menjadi media penyebaran yang paling cemerlang di saat itu. Penyebaran yang cukup luas, dengan kepemilikan akan pendengaran yang cukup baik untuk masyarakat. Dalam hal ini kaset telah membuat pendengar terpuaskan karena kebutuhan auditif, dan membuat bertambahnya penggemar untuk seorang penyanyi. Kedua, aktivitas mendengarkan melalui media kaset menjadi aktivitas rutin masyarakat,[4] mendengarkan musik menjadi bagian dari aktivitas keseharian masyarakat. Ketiga, sebenarnya, tanpa kaset masyarakat pun dapat mendengarkan musik, baik lewat radio, atau televisi. Namun apalah arti musik jika ia tidak dapat dimiliki secara personal dan emosional.
Dari ketiga hal ini menandakan bahwa peran kaset sangat signifikan, tidak lagi pada praktek kebendaan semata, namun lebih pada kepemilikian. Kepemilikan tidak dapat diartikan hanya sebagai aktivitas memiliki, tetapi mempunyai kuasa yang lebih dalam terhadap lagu tersebut. Kuasa tersebut menghadirkan ruang nilai personal dan emosional bagi si pendengar. Dalam hal ini kaset dengan media pemutarnya, walkman, telah menjadi media yang dapat mengakomodasi segala perasaan pendengar atas dirinya sendiri. Ruang baru bagi individu, yakni ruang privat dalam jagad publik ini, atau semacam ruang kontemplatif.

Memaknai Kembali Kehadiran Kaset Kini
Sebenarnya kita menyadari bahwa keberadaan piringan hitam hingga aplikasi music streaming yang baru-baru ini keluar, merupakan upaya teknologi untuk membuat aktivitas mendengar menjadi lebih mudah. Dalih simpel dan praktis menjadi tawaran yang cukup menggiurkan untuk khalayak dalam memilikinya. Hal ini selalu dan melulu, terulang setiap waktu, dan kita –masyarakat konsumtif– kerapkali menjadi parameter keberhasilan dari media baru tersebut. Sebenarnya hal tersebut tidak salah ketika mempunyai tujuan kemajuan yang baik, namun jika perubahan tersebut dilakukan hanya untuk motif ekonomi, hal tersebutlah yang perlu dicermati secara mendalam. Belum lagi, dengan adanya pengaturan selera musik yang dilakukan oleh beberapa major label untuk para pendengar. Sehingga para pemusik dengan genre di luar dari penyanyi yang sedang tenar akan diindahkan. Implikasinya adalah setiap pemusik ‘harus’ menciptakan musik sesuai dengan selera major lebel, tidak berdasarkan selera mereka.
Namun saya cukup girang mendengar beberapa band turut memproduksi kembali rilisan fisik, dengan format kaset. Adalah Risky Summerbee and The Honeythief (RSTH) yang pada tahun ini turut merilis album terbaru mereka dalam bentuk kaset. Selain itu beberapa upaya anak muda Indonesia yang turut menggalakan Cassette Store Day di kotanya masing-masing. Realisasinya pun cukup jelas dan terang, “menilai dan menyadari ulang tentang makna penting dari rilisan fisik”[5], dengan menggalakan kembali produksi musik melalui media kaset, yang seperti tahun 2013 lalu turut dilakukan oleh band asal Jakarta, The Sastro.
            Dari realitas ini, terbetik dua poin penting dari kehadiran kembali akan format kaset kini. Pertama, pada dasarnya pergantian bentuk dan format musik merujuk pada praktek alih wahana. Sejatinya semua nilai hanyalah satu, namun mekanismenya yang kerap berubah. Dalam hal ini, sastrawan kita, Sapardi Djoko Damono lah yang memahami betul terkait alih wahana dan tetek bengeknya. Baginya, alih wahana merupakan perpindahan ke satu medium ke medium lain dengan segala sesuatu mekanisme yang baru.[6] Hal ini sangat merujuk pada perpindahan medium musik, dari piringan hitam, kaset, hingga aplikasi music streaming sekalipun. Dalam hal ini perpindahan yang terus menerus ini dapat disikapi sebagai upaya kreativitas dalam merubah bentuk namun tidak meninggalkan gagasan lama.[7] Namun kreativitas tersebut nampaknya tidak selalu diimbangi dengan pemahaman yang tepat. Acapkali pemahaman tersebut malah membuat kekeliruan, dan kekeliruan tersebut turut menghasilkan “kreativitas yang nyeleneh”[8].
Hal ini persis dengan tipikal masyarakat Indonesia yang dirundung romantisme berlebih pada sebuah hal, atau dalam bahasa gaulnya, tidak bisa move on. Acapkali dalam perubahan yang masif tetap membuat pola masyarakat dalam penggunaan akan sebuah hal tidak berubah, bahkan kembali ke medium sebelumnya. Namun secara logika hal ini bukanlah romantisme belaka, karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang ambivalen, yang tidak serta merta dapat menerima satu hal secara sempurna. Alhasil terdapat negosiasi di kepala masing-masing masyarakat. Dan negosiasi tersebut membentuk sebuah cara baru yang dimiliki masyarakat, yang dapat diartikan sebagai pemaknaan kembali atas barang tersebut. Hal ini tentu merujuk pada apa yang telah dilakukan oleh RSTH dan beberapa band Indie yang memproduksi musiknya dalam format kaset, serta semangat yang digalakan pada Cassette Store Day ini. Dalam hal ini penggunaan media kaset di era music streaming merupakan wujud dari kesadaran baru akan penggunaan sebuah media, yang dalam hal ini adalah kaset.
Kedua, agen-agen layaknya RSTH, The Sastro, dan beberapa band lain merupakan agen yang tepat dalam memperjuangkan semangat rilisan fisik. Mereka adalah indie, tidak terbawa arus pasar, dan mempunyai kekuatan dalam melawan.[9] Mereka tidak berkontestasi pada format yang sama dengan major label, namun berkontestasi dengan format lainnya, yakni kaset. Perbedaan format produksi kaset (beberapa band Indie) dan mp3 (Major Label) ini turut membuat desakan yang signifikan. Dalam hal ini, semangat band Indie merupakan asa dari masyarakat dalam menilik kembali perubahan yang masif. Melalui musik, band Indie telah memberikan sebuah perlawanan terhadap sistem general yang ada.[10] Kehadiran format kaset ini pun terasa lengkap dengan adanya Cassette Store Day. Kegiatan monumental tersebut bukanlah sebagai kegiatan selebratif belaka, namun kontemplatif dalam menilai ulang dan mengartikulasikan makna dari rilisan fisik. Hal ini turut bermakna ganda, secara tersurat, kehadiran produksi kaset yang dilakukan oleh teman-teman Indie merupakan sebuah sindiran hebat bagi major label yang memproduksi musik secara masif dan tanpa filtrasi. Secara tersirat, produksi kaset dalam jagad maya ini merupakan sindiran hebat bagi para konsumer yang selalu mendukung perubahan format, tanpa mengkritisi terlebih dahulu perubahan tersebut.

Penutup: Memutar Kembali, Merangkai Memori, dan Mencari Makna Baru
Kaset tidaklah hilang, ia hanya benam dalam jagad maya. Ia juga tidak lekang dalam ingatan, maka ia kembali dengan bayang-bayang memori yang ada. Kembali merangkai memori usang dan lama, namun tidak untuk mengulang makna yang dulu pernah ada. Kaset hadir kembali dengan asa, semangat, dan makna baru. Lantas makna baru apa yang akan dipetik? Sebelum beralih ke makna baru, mari kita rangkai makna lama yang tercipta dari penggunaan kaset. Setidaknya tidak lekang di ingatan, bahwa penggunaan media kaset sangatlah masif dalam beberapa dekade silam, bahkan kaset bukanlah barang yang substansial. Kaset kita anggap sebagai perantara semata, tidak lebih. Namun agaknya benar peribahasa bahwa sebuah hal akan bernilai ketika hal tersebut hilang. Dan persis, ketika kaset tenggelam dalam jagad maya, romantisme mulai muncul, merindukan kembali produksi kaset. Namun kerinduan tersebut tidak serta merta merindukan kaset secara harfiah, namun pada nilai kepemilikan yang terbentuk. Kepemilikan juga tidak terbentuk karena benda tersebut familiar atau sebaliknya, namun lebih pada seberapa jauh media itu digunakan dan diartikan. Dalam hal ini, nilai kepemilikan dapat diartikulasikan sebagai kekuasaan pendengar terhadap lagu, dan dengan kekuasaan tersebutlah musik dapat dimaknai lebih dalam.
Keberadaan kaset kini memang berbeda, hal ini terlihat dari aliran musik serta band yang mengusung, semangat berbeda, dan tujuan yang baru. Dari hal ini, agaknya kaset dan band indie merupakan kombinasi yang tepat dalam melakukan penalaran kembali terkait rilisan fisik dan musik. Dalam hal ini Cassette Store Day merupakan momentum perubahan ini terasa sangat pas, karena sebuah perubahan tidak akan pernah mengembalikan segala sesuatu serupa dengan keadaan sebelumnya, namun masyarakat di dalamnya lah yang mempunyai peran dalam menciptakan kembali dengan nilai dan makna yang baru.

Referensi
Appadurai, Arjun. 1986. “Introduction: Commodities and Politics of Value”, dalam The Social Life of Thins: Commodities in Cultural Perspective. Cambridge: Cambridge University Press.
Burnett, Robert. 1996. The Global Jukebox. London: Routledge.
Damono, Sapardi Djoko. 2012. Alih Wahana. Jakarta: Editum.
Luvaas, Brent. 2012. DIY Style: Fashion, Music and Global Digital Cultures. London dan New York: Berg.
Hermiasih, Leilani, 2015. “Les Njoged Dengan Iringan Mp3”, dalam MP3 Day Zine, oleh Anitha Silvia dan Wok The Rock (ed.). Yogyakarta dan Surabaya: Indonesia Netlabel Union.
Webtografi




[1]                Over the decade, cassette sales have tripled while the growth of the compact disc has been meteoric. In 1992 some 1.152 billion compact discs were sold compared to 260 million in 1987. Cassettes are now the most popular sound carriers worldwide with some 1.551 billion units sold in 1992 (Burnett, 1996: 45).
[2]                 http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/grid/form/advanced?q_searchfield= untuk Lokananta, Remaco dan Irama, diakses pada tanggal 23 September 2015. Penelusuran dilakukan dengan melihat produksi piringan hitam dan bergantinya ke ranah kaset.
[3]                On the level of successful consumer technology, the ‘walkman’ first introduced by Sony has changed both listening and buying patterns. Consumers apparently find attractive the increased time shifting listening possibilities afforded by walkman technology (Burnett, 1996:94).
[4]                Common sense tells us that sound recording—that is records and cassettes—is a mass medium just like newspapers, films or television. In industrialized countries, listening to records is just as much a part of everyday life as reading the newspaper or listening to the radio. (Gronow via Burnett, 1996: 38)
[5]                 Pengantar Materi Zine Cassette Store Day yang diberikan oleh saudara Bagus Anggoro melalui surel. Pengantar tersebut berisikan penjelasan terkait alasan akan diadakannya kegiatan Cassette Store Day (CSD) dan tujuan apa yang ingin ditelusuri.
[6]           Alih wahana telah memakan korban, tetapi justru harus kita syukuri karena kita telah menciptakan tata cara baru untuk menampung hal yang lama, yang sebelumnya sudah ada dalam ujud atau wahana bunyi Alih wahana memang menuntut perubahan watak, ciri atau ‘pesan’ – tidak akan pernah bisa mempertahankan hakikat yang lama ke habitat yang baru (Damono, 2012:24).
[7]                Salah satu dampak sangat penting dari beralihnya wahana yang terus-menerus iu adalah tumbuhnya kreativitas untuk melahirkan kisah-kisah baru yang sedikit bayak bersumber pada yang sebelumnya sudah ada (2012:54).
[8]                 Lipsitz via Hermiasih, 2015:22.
[9]                 To indie bands it represented power – over cultural production, over creative practice, and over the very constitution of personal taste... Being indpendent of the majors, thus, was as much an existential as practical claim. It was never reallyabout the music industry. It was about seizing control over creative expression, and by extension, forging one’s own, autonomous way of being and living in the world  (Luvaas, 2012:127).
[10]              Local as if it were a kind of default mode of resistance against the hegemonic forces of global capitalism (Burnett, 1996: 129).

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images